Hermanto Harun, Ph.D*: Penolakan Dakwah Ustadz Abdul Somad

Berita537 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bermula dari pelatihan bahasa Arab di Pondok Pesantren Hadiqatunajah, Jurang Mangu Timur, kumpulan penerima beasiswa Universitas al-Azhar Mesir, angkatan tahun 1998 sepakat untuk menamakanduf’ah ini dengan Islah yang memilki kepajangan Indonesian Student of al-Azhar University. Penamaan ini setidaknya berangkat dari kenyataan bahwa kondisi negara Indonesia waktu itu sedang mengalami sebuah perubahan fase sejarah dari Orde Baru menuju Reformasi (Ishlah) yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto dan digantikan oleh BJ Habibe. Berikutnya, penamaan Islah merupakan sebuah idealisme bersama, bahwa generasi penerima beasiswa Universitas yang telah kesohor di dunia itu, nanti akan menjadi penerus ‘ulama dan umara untuk mereformasi kondisi suram bangsa saat itu, agar lebih baik di masa menadatang.
Berkisar dua puluh tahun berlalu (1998-2018), wujud dari tabir mimpi masa itu sedikit tersibak. Sebagaian besar dari generasi Islah 1998 telah mengabdi kepada bumi pertiwi dengan beragam profesi yang mereka geluti. Dari Kiyai yang mengelola lembaga keagamaan Islam, wiraswasta, pegiat ekonomi hingga menjadi pengajar di pelbagai Perguruan Tinggi di penjuru tanah air. Namun, diantara seratusan anggota Islah yang seangkatan, Ustad Abdul Somad (UAS) agaknya lebih popular dan bahkan telah menjadi tokoh milik umat, khususnya di republik tercinta ini.
Akhir-kahir ini, UAS menjadi begitu masyhur di lintas media sosial. Selain karena tausiyah dan pengajiannya yang selalu update dan viral, penolakan UAS di pelbagai tempat, seperti di Bali, Hongkong dan PLN, menjadi hot issue yang nyaris beririsan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan. Dengan pelbagai tuduhan, yang tentunya hanya sekedar justifikasi usang, UAS dianggap tidak NKRI, Penceramah radikal, bahkan dianggap memiliki afiliasi dengan kelompok ISIS. Ragam tuduhan yang dilakukan oleh sekelompok “preman nasi bungkus”, seperti yang diistilahkan oleh UAS, tentu jauh api dari panggangnya, karena rekam jejak UAS begitu kentara, bahwa sosok UAS justru kebalikan dari semua asumsi itu. Bahkan, statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu dosen di UIN Susqo Riau sudah cukup untuk menafikan semua prasangka yang tidak jelas asal usulnya tersebut.
Namun, yang menggelitik dari fenomena ini, adalah mengapa UAS di tolak dan bahkan di persekusi? bukankah UAS dalam afiliasi pemahaman keagamaannya bagian dariAhlisunnah Waljmaah yang merupakan faham mainstream muslim di negeri ini, anggota MUI, bahkan justru menjadi anggota ‘struktural’ Bahtsul Masa’il yang berada dalam gerbong NU yang notabenenya memiliki pengikut paling banyak di tanah nusantara.
Penolakan UAS, sebagai da’i yang menyampaikan risalah Islam, dalam perspektif kodratnya, tentu sangat absah. Jangankan UAS, posisi para penyeru kebenaran dalam catatan sejarah akan selalu berhadapan dengan orang-orang yang mengingkarinya. Tabi’at kebanaran secara fitrah sudah pasti beradapan vis a vis dengan kemungkaran yang acapkali berkolaborasi dengan kekuasaan. Hal inilah yang dungkapkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, man abda shafharahu li al-haqqi halak. Seolah sudah menjadi hukum alam, bahwa siapa yang memperjuangkan kebenaran (al-haq) maka sudah pasti menemukan aral dengan ancaman kehancuran.
Sikap penolakan dengan asumsi tadi, dalam kacamata kemimanan agaknya bisa maklum. Akan tetapi, disini, penulis ingin melihat perpesktif lain dalam penolakan terhadap UAS tersebut, setidaknya oleh beberapa alasan;
Pertama, munculnya sosok UAS yang viral di pelbagai media sosial tidak bisa dilepaskan dengan realitas kontestasi politik tanah air, terutama semenjak “huru-hara” pilgub DKI Jakarta. Harus diakui, bahwa hikmah besar dalam ‘workshop’ al-Maidah 51, telah melahirkan sensitifitas keagamaan yang sangat menyadarkan pola keberagamaan umat. 
Selama ini, umat masih dininabobokkan oleh pemahaman keislaman yang parsial, diantaranya adalah pemahaman tentang Islam yang tidak boleh bersentuhan dengan politik. Anggapan bahwa agama (Islam) harus menjauh dari realitas politik begitu menggurita, yang di saat yang sama memberi peluang besar bagi pihak “out sider”untuk menguasai semua akses ruang politik negara untuk menguasai kekayaan umat. Disamping alibi lain yang justru dengan mata telanjang, sepuak tokoh yang menjual gerbong label agamanya untuk berbagi kue dalam kekuasaan. 
Dari konteks ini, UAS hadir memberi pencerahan, bahkan dengan berani dan lantang sesuai khas bahasa Melayu-nya, memberi kontra opini, bahwa umat harus menguasai ruang dan akses politik, jika ingin menegakkan kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, sosok UAS yang penuh kesederhanaannya, tidak begitu mudah di”jinak”kan. Justru acapkali menghindar dari rayuan serta godaan pemegang kekuasaan saat ini. Jalan yang terkesan berbeda arah tersebut semakin menambah magnetis umat dalam mendengar serta mengidolakan UAS. Ditambah lagi, secara personal, kedekatan UAS dengan tokoh- tokoh umat yang berada dalam barisan gerbong 212, yang secara kasat mata, memiliki selera poltik yang berbeda rasa dengan kelompok yang sedang berkuasa.
Ketiga. Tipologi dakwah UAS yang wasathiyah, bisa merangkul semua puak yang selama ini sulit untuk bersua dalam satu titik temu, dengan pendekatan ‘jadilah dai sebelum menjadi hakim’ (du’at qabla qudhat) setidaknya bisa memprakarsai arus baru kekuatan umat. Kekuatan ini dari perpsektif sosial, ekonomi, politik, jelas bukan remeh temeh, namun laik untuk menjadi ‘modal’ massa yang dapat memindahkan posisi periferal umat ke tengah gelanggang dinamika politik bernegara.
Tiga hal di atas, setidaknya bagi mazhab Machiavelis dalam politik kekuasaan, jelas menjadi ancaman. Jika jelas demikian, maka sebelum UAS menularkan misinya lebih jauh ke tengah umat, maka pengaruhnya harus di redupkan segera, atau, jika memungkinkan untuk di amputasi. Dan jalan yang lebih realistic adalah dengan cara penolakan. 
Sebab, jika sudah ada yang menolak, berarti ada hal yang segera diambil langkah demi ketertiban dan bahkan demi keutuhan berngara bangsa. Inilah justifikasi yang lebih pas, karena kekuatan negara ada dalam otoritasnya, dan otoritas itu ada dalam asumsi dan perpesptif orang yang sedang duduk di atas kekuasaan itu. Bukankah, kebenaran otoritas itu seringkali mengalahkan otoritas kebanaran? Sebagai kawan seangkatan selalu berharap, semoga UAS tetap menjadi aggota Islah seperti idealisme nama angkatan itu dahulu di tabuhkan. Amin. Wallahu’alam.
*Dosen Pascasarjana UIN STS Jambi, Ketua Organisasi Interasional Alumni al-Azhar Provinsi  Jambi     

Comment