![]() |
Irayanti.[Dok/pribadi] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pada hari Rabu, 23 Mei 2018 tepat bulan Ramadhan Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat ditangkap oleh penyidik KPK. Penangkapan Agus menambah daftar kepala daerah dari Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ditangkap KPK karena terjerat kasus korupsi dan suap (Liputan6.com,24/05/2018).
Catatan akhir tahun 2017 yang dirilis KPK menyimpulkan bahwa kasus suap mendominasi perkara korupsi. Jika pada tahun 2016 hanya 79 kasus, tahun 2017 meningkat menjadi 93 perkara suap. Wow, peningkatan yang signifikan.
Korupsi bukan saja terjadi di Sulawesi Tenggara tapi juga di beberapa daerah. Hingga 14 Februari 2018 ada beberapa kepala daerah yang berstatus tersangka yakni bupati Hulu Sungai Tengah yaitu Abdul Latif, bupati Kebumen yaitu Mohammad Yahya Fuad, bupati Jombang yaitu Nyono Suharli, bupati Ngada di Nusa Tenggara Timur yakni Marianus Sae, bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli, dan bupati Subang Imas Aryuningsih.
Siaran pers Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyebutkan bahwa 2018 tepat disebut tahun “sibuk politik” karena ada perhelatan Pilkada serentak di 171 daerah yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Juni 2018. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz ditemui di kantornya (11/1/2018) mengatakan bahwa sejumlah masalah diduga masih membayangi kontestasi politik tahun ini. Mulai dari mahar politik, kampanye berbiaya tinggi, hingga politik uang. ”Demokrasi memang pasang surut, tapi persoalannya konstan. Ada potensi pengulangan masalah yang terjadi sebelumnya.
Faktor pertama tentang korupsi tidak terlepas dari realitas politik sistem Demokrasi Liberal itu sendiri yang berasaskan kapitalisme. Jika kita selusuri, sistem demokrasi ini sejak awal memang gagal dalam mengenali praktik politik yang bersih dan jauh dari praktik money politic. Sekulerisme dan Materialisme pun jelas menjadi ruh dari setiap praktek demokrasi.
Telinga kita sudah lumrah mendengar serangan fajar sebelum pemilihan berlangsung. Jadi tidak bisa di pungkiri pilkada tahun ini pun akan sama dengan pilkada sebelumnya. Calon kepala daerah akan mengeluarkan banyak uang untuk kemenangan. Dan tidak bisa di pungkiri bahwa uang yang digunakan selama masa kampanye bukanlah dari kantong pribadi melainkan bantuan dari para kapital. Jika ia menang maka akan terjadi politik balas budi.
Menyikapi pilkada serentak Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta (12/01/2018) mengatakan proses pilkada 2018 adalah proses demokrasi. Ini harus dijalankan dengan berintegritas dan antikorupsi. Kalau kemudian proses ada mahar politik atau politik uang, itu akan mencederai proses demokrasi itu sendiri. Ini risiko buruk ke depan. Kalau biaya politik masih mahal, tentu saja kepala daerah akan berisiko melakukan korupsi kembali. Kami sudah cukup banyak menangani kasus kepala daerah, ada 78 orang proses di 92 kasus (Detiknews,12/01/2018).
Faktor kedua yakni banyak masyarakat yang masih percaya dengan imingan uang yang diberikan serta janji manis yang dilontarkan para calon kepala daerah. Padahal selama beberapa tahun pergantian pucuk kepemimpinan, kita sangat merasakan bahwa rakyat hanya dibutuhkan saat pilkada atau pemilihan, setelah pesta demokrasi itu selesai maka terabaikanlah suara rakyat. Bahkan yang sangat miris banyak terjadi pergeseran pimpinan dalam sebuah organisasi dikarenakan yang menjabat bukanlah pendukung dari kepala daerah yang terpilih. Sungguh miris.
Demokrasi memang cacat. Maka, apakah kita akan percaya pada sistem ini? Sistem yang menjadikan suara rakyat lebih tinggi dari suara Tuhan? Pilkada yang dikatakan pesta demokrasi hanya menyesakkan dada. Lihatlah, belum genap seminggu berakhirnya pilkada serentak telah terjadi pertengkaran antar pendukung. Belum lagi uang yang dikeluarkan negara untuk perhelatan pilkada serentak tahun ini sangatlah besar. Kita akan melihat apakah korupsi itu akan berhenti ataukah melahirkan para koruptor baru seperti sebelumnya. Entah akan menjadi seperti apa negeri ini, jika uang telah menjadi raja sekaligus sembilu bagi masyarakat. Kenapa kita tak bersegera mengambil sistem Islam yang datang dari Dzat Yang Maha Sempurna tanpa cacat?
Dalam Islam, politik adalah ajang pengabdian yang tulus kepada umat. Penguasa mengemban amanah kepemimpinan untuk memastikan terlaksananya kemakrufan dan tercegahnya kemungkaran. Contohlah kembali masa kekhilafahan tanpa mahar tanpa politik uang serta tanpa balik modal dalam berkuasa. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan”. (Al-Bidayah wan
Nihayah tulisan Ibnu Katsir).
Marilah kita renungi ayat berikut. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 50).
Jadi, masihkah kita berharap dengan demokrasi? Tak cukupkah kekecewaan yang kita rasakan walaupun pilkada beberapa kali? Semoga pilkada tahun ini menyadarkan kita untuk berfikir, berdoa dan berjuang untuk kebangkitan Islam. Karena Islam juga mengatur tentang politik. Wallahu ‘alam bisshawab.[]
Penulis adalah member kelas menulis ‘Writing Class With Hasni
Comment