Penulis: Dwinda Lustikayani, S.Sos | Aktivis Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2023 (16 Days of Activism against Gender-Based Violence 2023) sedang berlangsung sejak 25 November sampai 10 Desember 2023. Kampanye dilakukan sebagai bentuk peringatan HAKTP dengan tema “UNITE! Invest to prevent violence against women and girls” serta dilakukan berbagai kegiatan positif yang relevan dengan tema tersebut.
Tema ini seperti ditulis tirto.id (23/11/2023) mengajak pemerintah dan masyarakat luas untuk lebih peduli sekaligus ikut berperan serta dalam upaya menghapus kekerasan terhadap anak-anak perempuan dan perempuan dewasa.
Kegiatan ini diperingati setiap tahunnya secara serentak di berbagai belahan negara, karena kasus kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dialami oleh perempuan-perempuan yang ada di Indonesia saja melainkan di seluruh dunia.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini telah dimulai sejak 1991 yang didukung langsung oleh Center for Women’s Global Leadership. Setiap tahunnya kegiatan ini berlangsung tepat di tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. (komnasperempuan.go.id).
Dalam artian kampanye sebagaimana ditulis laman kemenpppa.go.id ini sudah 32 kali terlaksana tetapi kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan bahkan makin meningkat. Laporan Komnas Perempuan dalam CATAHU terkait kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun 2013-2022 sebanyak 2.452.206 orang dan bahkan juga kasus di 2023 saat ini sudah mencapai 22.302 orang.
Jumlah kekerasan ini menunjukkan bahwa peringatan serta kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan hanya sebagai seremonial belaka, karena tanpa langkah dan pergerakan nyata tentu tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan sampai ke akarnya. Peringatan 16 hari ini bukanlah solusi tepat, karena faktanya solusi tersebut tidak mengarah pada inti permasalahannya.
Faktor cabang dalam permasalahan kekerasan terhadap perempuan ini di antaranya kemiskinan, budaya patriarki yang katanya mendiskriminasi kaum perempuan, perselingkuhan, nikah dini, dan rendahnya kesadaran serta pemahaman terhadap hukum Islam.
Namun, yang menjadi faktor utama dari adanya faktor cabang adalah karena penerapan sistem kehidupan sekuler, yang memisahkan agama dengan kehidupan sehingga semua aspek kehidupan jauh dari nilai agama dan berakibat pada munculnya perbuatan yang bebas. Seperti kebebasan dalam berperilaku atau berekspresi membuat kaum perempuan menjadi objek kekerasan, baik verbal maupun seksual.
Inilah bukti kezaliman sistem kufur saat ini. Jika dibandingkan dengan pandangan Islam terhadap perempuan sungguh jauh berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler memandang.
Dalam pandangan Islam perempuan sangat dimuliakan dan dihormati. Untuk itu Allah Taala memberikan segenap aturan yang sangat komplit terkait kewajiban, kedudukan dan hak perempuan. Bagi Islam, perempuan seperti permata berharga dan mulia.
Penghargaan dan kemuliaan perempuan itu terwujud dalam penerapan peraturan hak dan kewajibannya. Peraturan yang bertujuan untuk memuliakan perempuan pun harus terjaga dan terjamin, begitu pula dengan larangan yang berlaku, semata-mata hanya untuk melindungi perempuan dari kehinaan.
Seperti halnya kewajiban perempuan memakai pakaian syar’i (jilbab dan kerudung), kewajiban menjaga kemaluan berlaku untuk laki-laki maupun perempuan, larangan khalwat, tabarruj, dan ikhtilat. Islam hanya membolehkan laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam perkara pendidikan, kesehatan, dan muamalah yang dibenarkan syariat Islam.
Solusi hakiki penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan ini membutuhkan adanya peran negara dalam mencegah serta menangani faktor-faktor kerusakan tersebut. Peran negara sangat penting untuk mengatur perekonomian, pergaulan, hal-hal pemicu naluri jinsiyah, dan lain-lain.
Negara juga wajib memperhatikan ilmu dan tsaqofah Islam masyarakatnya. Sebab peran negara lah yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan ini, sayangnya hal ini menjadi mustahil jika negara yang diharapkan masih mengemban sistem kapitalisme sekuler.
Peran negara yang benar-benar mengayomi masyarakatnya hanya ada pada negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan.
Kemudian, sistem pendidikan yang berakidah Islam mampu menjadi pencegah terjadinya kekerasan pada perempuan. Sehingga kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) pada diri manusia akan terbentuk dengan asas akidah Islam tersebut. Tidak hanya itu, sistem sanksi (uqubat) yang dijalankan sesuai syariat akan menjadi zawajir (pencegah) sekaligus sebagai jawabir (penebus dosa) agar kejahatan tidak merajalela.
Begitupun ketakwaan dan keimanan aparatur negara menjadi kepastian penegakan hukum di negara.
Dengan demikian, untuk menuntaskan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya bisa dilakukan dalam bentuk kampanye apa lagi hanya dalam kurun waktu 16 hari saja.
Tetapi kesadaran umat terhadap sistem Islam dan penerapannya juga dibutuhkan agar hak-hak kaum perempuan terpenuhi secara komprehensif. Wallahu’alam Bisshawwab.[]
Comment