Karhutla Kembali Terjadi, Akankah Ada Solusi Pasti?

Opini322 Views

 

Penulis:  Oki Ummu Kinan | Pengiat Literasi Asal Kabupaten Siak

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kembali terjadi, Kebakaran Hutan dan Lahan di beberapa wilayah tanah air. Diantaranya pulau Kalimantan, Sumatra, Jawa dan beberapa daerah lainnya. Sayangnya setiap kejadian karhutla ini berdampak pada pencemaran udara yang menganggu kesehatan masyarakat sekitar. Sudah menjadi rutinan, setiap musim kemarau kebakaran hutan dan lahan ini kerap terjadi.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani menyatakan pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di tanah air (Kompas, 20 Agustus 2023).

Faktanya, dari 22 perusahaan yang digugat, sebanyak 14 perusahaan diketahui telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan total nilai putusan mencapai Rp5,60 triliun, dan secara lebih terperinci, 7 perusahaan sedang dalam proses eksekusi dengan nilai Rp3,05 triliun dan 7 perusahaan persiapan eksekusi dengan nilai mencapai Rp 2,55 triliun.

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, sejak awal Agustus hingga pertengahan Agustus, karhutla mulai terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Data BNPB per 7-13 Agustus, sudah 38 kejadian bencana, 21,61% adalah Karhutla, sementara sisanya, bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem.

Sementara kata Muhari dalam acara Disaster Briefing BNPB 14 Agustus lalu, karhutla di wilayah Kalimantan dan Sumatera itu mayoritas berada di wilayah gambut. Berbeda Karhutla di Jawa, Bali, NTT dan NTB yang terjadi di lahan mineral atau semak-semak.

BNPB mencatat, data karhutla periode Juni-Juli, kabupaten paling banyak bencana karhutla adalah Aceh Besar dengan 16 kejadian. Lalu, Klaten (11), Kota Palangkaraya (8), Belitung Timur (7), dan Bener Meriah (7). Dan Data karhutla 2023 per 13 Agustus BNPB menyebut, Aceh jadi wilayah mengalami karhutla terbanyak di Indonesia dengan 40 kejadian.

Menurut data Greenpeace, kabut asap dari karhutla mengakibatkan penyakit pernapasan dan lain-lain. Berdasarkan analisis Greenpeace Southeast Asia-Indonesia yang dibuat pada 2020 menyebutkan, dari 2015 hingga 2019, ada sekitar 4.440.500 hektar terbakar di Indonesia. Lahan seluas 789.600 hektar atau 18% dari 4.4 juta hektar terbakar berulang kali. Ironisnya, ada sekitar 27% lahan yang terbakar berlokasi di konsesi perusahaan sawit dan bubur kertas.

Menurut Pasal 49 UU 1999 tentang Kehutanan, pemegang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area mereka. Konsep ini, yang dinamakan strict liability atau tanggung jawab mutlak. Ia diperkuat Pasal 88 dari UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam regulasi itu, apabila konsesi perusahaan terbakar, maka perusahaan itu dapat dihukum dengan beragam sanksi, seperti denda, pencabutan izin, hingga gugatan perdata dan pidana.

Pemerintah berjanji menerapkan langkah-langkah akuntabilitas yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab menjaga lahan dibawa manajemen mereka dari kebakaran.

Sayangnya, Greenpeace seperti ditulis kompas menemukan, perusahaan sawit dan bubur kertas dengan luas lahan terbakar terbesar sejak 2015-2019 secara umum tidak mendapatkan hukuman yang serius. Selain itu, dengan pengesahan UU Cipta Kerja juga menyebabkan hilangnya perlindungan lingkungan demi investasi.

Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia kepada Mongabay, 17 Agustus lalu mengatakan, akan memantau apakah wilayah perusahaan-perusahaan yang pernah terbakar pada 2015 dan 2019, apakah terbakar kembali pada 2023 ini.

*Mengembalikan Fungsi Hutan dan Lahan kepada Negara*

Sebagai salah satu negara tropis di dunia, Indonesia hanya memiliki dua musim saja sepanjang tahunnya. Kedua musim tersebut adalah musim hujan dan musim kemarau.

Kejadian kebakaran Hutan dan Lahan ini bisa disebabkan oleh faktor alam karena perubahan cuaca, iklim panas dan perbuatan manusia secara sengaja.

Jika karhutla karena faktor cuaca, ini terjadi karena tidak adanya unsur kesengajaan. Tetapi beberapa kasus karhutla yang sudah terjadi, disebabkan karena ulah tangan manusia.

Sayangnya, para oknum tidak menyadari dampak buruk jangka panjang, bila merubah ekosistem yang ada tentunya menganggu mahluk hidup lain yang ada. Keanekaragaman hayati hutan yang sangat memberikan manfaat bagi dunia, lama-lama akan musnah.

Paradigma berkaitan pengelolaan hutan di tanah air yang tidak tepat, berakibat salah urus oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengelolaan hutan diserahkan kepada perusahaan-perusahaan pemilik konsesi yang tergoda akan kekayaan hutan.

Melakukan penebangan pohon secara sengaja, untuk diambil kayu-kayu dijual, pembersihan lahan tersebut dengan membakar lahan guna membuka perkebunan yang ditanami kelapa sawit.

BNPB mencatat 99 % , kebakaran hutan karena ulah tangan manusia. Ketika fungsi hutan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, potensi bencana alam semakin besar akan terjadi. Seperti yang dirasakan hari ini. Daerah yang tadinya tidak banjir, karena hak hutan sudah direnggut, bencana banjir dan longsor pun terjadi.

Sistem kapitalis hari ini, menimbulkan banyak masalah. Pengalihan pengelolaan hutan dari negara kepada swasta terjadi atas landasan materi, lagi-lagi yang dirugikan adalah rakyat yang harus menanggung beban dampak yang terjadi.

Solusi Terbaik Hanya Dengan Islam

Seyogyanya, jika karhutla terus kembali terjadi harusnya negeri ini menyudahi dan mengembalikan fungsi hutan seperti dulu lagi. Komersialisasi atas dasar materi tidak boleh terjadi lagi. Hanya dengan sistem Islam semua bisa terwujud.

Dalam Islam hutan adalah milik umum, negara yang bertanggung jawab atas pengelolaannya. Hasil dan manfaat yang diperoleh dikembalikan hanya untuk kepentingan rakyat. Hutan tidak boleh dikuasai individu, swasta, para korporat, para pemilik modal apalagi asing.

Aturan dan kebijakan yang dibuat harus berlandaskan aturan syariat. Hanya dengan aturan yang sempurna, keseimbangan ekosistem hutan akan menuai banyak keberkahan, karena kesejahteraan hakiki bagi alam semesta, manusia dan kehidupan hanya didapatkan dari yang menciptakan.

Kerusakan lingkungan hidup akibat ulah manusia dapat diminimalisir, karena hukum yang mengatur bersifat tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku. Sehingga orang lain yang hendak melakukan hal serupa, berpikir seribu kali untuk melakukan hal yang sama.

Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raain/pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR. Bukhori).

Kembalikan fungsi paru-paru dunia seperti dulu lagi. Wallahu’alam bishawab.[]

Comment