Penulis: Faridatus Sae, S. Sosio | Aktivis Dakwah Kampus Surabaya
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya terdapat 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg yang mencalonkan diri dalam pemilu 2024 di tingkat DPR, DPRD dan DPD. (voaindonesia.com, 26/08/2023).
Dalam laman berita yang sama, menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik ternyata masih memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. Tentu sikap KPU ini sangat disayangkan, dan terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum bacaleg mantan terpidana korupsi tersebut.
Disampaikan juga bahwa tidak adanya pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS, pasti akan menyulitkan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap DCS secara maksimal. Apalagi, informasi terkait daftar riwayat hidup Bacaleg juga tidak disampaikan dalam laman KPU.
Dalam laman (kompas.com, 12/09/2022), mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Pemilu 2024. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan.
Dalam laman yang sama disebutkan juga bahwa terdapat alasan HAM. Seperti yang dijelaskan oleh Komisioner KPU RI Idham Holik, dalam membuat aturan penyelenggaraan pemilu, pihaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Hak untuk dipilih, ujar Idham, sedianya telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Sungguh sangat miris, menjumpai fakta yang terjadi di negeri ini bahwa ada beberapa mantan narapidana koruptor yang justru malah mencalonkan diri sebagai bacaleg di negeri ini.
Jika dulu mantan narapidana sempat dilarang KPU mencalonkan di sebagai Bacaleg. Justru saat ini seolah diberikan karpet merah dengan berbagai kemudahannya.
Salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengembalikan berkas hampir 200 bakal calon legislatif (bacaleg) mantan narapidana kasus korupsi ke partai politik masing-masing. Pengembalian ini dimaksudkan supaya partai politik dapat mengganti para bacaleg yang merupakan mantan napi kasus korupsi. (bbc.com, 26 Juli 2018).
Ketika dulu, sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Bahkan mantan nara pidana boleh mencalonkan diri sebagai bacaleg, dan saat ini tidak diumumkannya jika caleg tersebut mantan narapidana.
Tentu, kondisi saat ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Pemilu 2019. KPU saat itu, sangat progresif dengan mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi.
Selain itu, kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan bahwa tidak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah hingga mantan narapidana korupsi yang maju dan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat bahkan harus dipilih.
Tentu, ini menunjukkan adanya kekuatan modal sangat besar yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Hal ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar.
Inilah yang terjadi dalam sistem saat ini, orang baik tanpa dukungan modal besar, tidak akan mungkin dapat mencalonkan diri. Seperti inilah realita yang terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Siapa pun yang memiliki modal besar akan sangat mudah menjadi penguasa sekaligus menjadi pengusaha.
Dengan kebolehan mantan narapidana korupsi menjadi bacaleg ini justru memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali. Jika mengingat sistem hukum di negeri ini yang tidak memberikan sanksi dengan efek jera.
Hal ini sangat berbeda jika hukum berlaku pada rakyat kecil yang tidak punya banyak uang. Jangankan meringankan hukuman dengan membeli hukum, untuk makan saja tidak cukup bagi rakyat kecil.
Banyak kasus rakyat kecil yang mencuri lantas dihukum penjara, padahal mencuri untuk memenuhi kebutuhannya bahkan hanya untuk makan hari itu saja tapi dihukum berat.
Sedangkan koruptor yang korupsi bertriliunan dan bermilyaran yang jelas uang rakyat yang di korupsi justru diringankan hukumannya, bahkan dimudahkan untuk mencalonkan diri menjadi bacaleg.
Bagi rakyat miskin, untuk melamar pekerjaan (pekerjaan biasa, penjaga toko, pelayan atau banyak jenis pekerjaan lain) harus menyertakan surat keterangan catatan kepolisian. Tidak jarang jika pernah dipenjara, rakyat kecil justru tidak akan diterima kerja. Sedangkan narapidana korupsi justru diberikan kesempatan menjadi caleg.
Inilah aturan buatan manusia makhluk yang lemah, aturan yang dibuat sangat mudah berubah. Apalagi dalam sistem demokrasi kapitalis, aturan sangat mudah berubah tergantung keinginan pemilik modal besar dan bahkan aturan dapat dipesan sesuai keinginan.
Tentu ini sangat berbeda dengan Islam. Hak pembuat aturan hanya pada Pencipta, yaitu Allah. Allah sebagai Pencipta dan Pengatur manusia yang tentu mengetahui yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Dalam Sistem Islam, syarat bagi wakil rakyat adalah orang yang beriman dan bertakwa sehingga akan amanah dalam menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Begitu juga, sistem hukum dalam islam yang sangat tegas dan menjerakan pelakunya sehingga membuat rakyat yang akan melakukan hal yang sama berpikir seribu kali. Hukum yang menjerakan sehingga membuat pelaku kejahatan akan bertobat.
Sanksi dalam hukum islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus ). Hanya saja, ini hanya bisa diterapkan ketika sistem islam dijalankan dalam kehidupan dan dalam naungan negara.[]
Comment