Penulis: Rantika Nur Assiva | Mahasiswi
RADARINDONWSIANEWS.COM, JAKARTA — LPG 3 kg, atau yang sering disebut “gas melon,” adalah salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil.
Sejak diperkenalkan sebagai bagian dari program konversi minyak tanah ke LPG pada 2007, penggunaannya semakin meluas. Pemerintah memberikan subsidi untuk memastikan harga LPG 3 kg tetap terjangkau masyarakat yang membutuhkan.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat di berbagai daerah, termasuk Jakarta, mengalami kesulitan mendapatkan LPG 3 kg. Harga di pasaran meningkat, bahkan melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas sistem distribusi dan pengawasan subsidi LPG 3 kg.
Berdasarkan pantauan Beritasatu.com di salah satu pangkalan elpiji 3 kilogram, stok gas melon subsidi itu sudah langka sejak seminggu terakhir.
Pemilik pangkalan gas LPG 3 kilogram Merry (56) mengatakan, kelangkaan ini karena stok yang diberikan agen terbatas, kemudian diperparah oleh masa libur panjang Isra’ Mi’raj dan Imlek, yang menghambat proses pendistribusian gas ke pangkalan-pangkalan.
“Kelangkaannya seminggu lebih karena ada tanggal merah atau Imlek kemarin,” kata Merry kepada Beritasatu.com, Jumat, (31/1/2025).
Kelangkaan LPG 3 kg bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga berdampak sosial. Banyak rumah tangga yang bergantung pada gas melon terpaksa mencari alternatif lain yang lebih mahal atau kurang efisien, seperti minyak tanah atau kayu bakar. Pedagang kecil yang menggunakan LPG 3 kg untuk memasak juga terpengaruh, mengancam keberlangsungan usaha mereka.
LPG dikeluhkan langka di berbagai tempat. Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual.
Kebijakan ini tentu menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan.
Perubahan tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi.
Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan.
Sebagaimana Islam yang menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari).
Negara seharusnya memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum, dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas. Wallahu a’lam Bisshawab.[]
Comment