Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kita pasti sering mendengar ungkapan bahwa negara ini adalah negara hukum. Menjunjung tinggi konstitusi, semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Tak ada yang diistimewakan. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang-wenangan. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya.
Namun apa jadinya jika ternyata keadilan yang diharapkan jauh panggang dari api. Tagar #PercumaLaporPolisi meramaikan jagad sosial Twitter sebagai buntut penghentian penyelidikan kasus bapak perkosa tiga anaknya.
Meski dinilai banyak pihak bahwa tagar ini mengandung ajakan yang tidak patut diikuti, akan tetapi hal ini menunjukkan betapa kekecewaan masyarakat telah memuncak, jengah dengan berbagai manipulasi dan apatis terhadap penegakan hukum yang selalu berbelit-belit.
Berdasarkan hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merasa sangat tidak puas dengan penegakan hukum di negara ini.
Bahkan cakupannya merata di semua lapisan masyarakat. Hanya 29.8 persen yang merasa puas dengan penegakan hukum di Indonesia, sementara 61.1 persen masyarakat desa sangat tidak puas dan di kota 48.6 persen.
Mereka merasa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin membesar dan rasa tidak aman makin dominan dalam beragam bentuknya. Seringkali vonis hukuman yang tidak masuk nalar.
Semisal kasus Jaksa Pinangki yang vonisnya justru disunat dari 10 tahun menjadi 4 tahun dengan alasan yang dibuat-buat. Begitu juga dengan data yang didapatkan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menemukan vonis hukuman bagi para koruptor hanya sekitar 3 tahun 1 bulan.
Realitas ini sekaligus semakin menambah bukti bagi publik, bahwa keadilan memang tidak pernah ada dalam sistem demokrasi sekuler. Selain vonis hukuman yang tak masuk akal, banyak pula kasus yang disajikan dan berhenti di tengah jalan. Salah satunya yang pernah dialami oleh Novel Baswedan. Dimana akhir ceritanya? Hingga detik ini gak ada tindak lanjutnya.
Sementara dalam Islam, keadilan adalah cita-cita yang dijunjung tinggi oleh manusia. Keadilan hanya akan terwujud jika manusia berkenan untuk meninggalkan hukum buatan manusia dan mengambil hukum buatan Allah yang sempurna.
Mengapa? Jelas karena manusia adalah mahkluk yang terbatas, secara otomatis apapun yang melekat pada diri manusia juga memiliki keterbatasan. Sejenius-jeniusnya manusia tetap saja akalnya terbatas.
Sebagaimana firman Allah Swt, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah: 50)
Seharusnya manusia malu menghamba kepada hawa nafsu. Hingga Allahpun memberikan pertanyaan retoris dalam ayat tersebut.
Menjadikan sekulerisme sebagai asas kehidupannya sama saja seperti halnya Allah disembah namun hukum-hukumnya dianggap sampah.
Tentu kita masih ingat bagaimana perlakuan hakim dalam Islam ketika memutuskan sengketa “baju besi” milik Ali yang kemudian dimenangkan oleh orang Yahudi tersebab Ali tidak bisa menghadirkan bukti. Dari sinilah umat mampu memberikan penilaian bahwa Islam menjunjung tinggi keadilan.
Dengan terwujudnya keadilan maka akan berimplikasi luas terhadap penjagaan keberlangsungan hidup masyarakat, cara pandang yang benar dan perlakuan yang sama terhadap penegakan hukum tanpa mengenal status sosial, semua warga negara mendapatkan perlakuan hukum yang sama.
Melalui komparasi ini semoga publik bisa menilai dan berpikir secara jernih, keadilan seperti apa yang ingin diwujudkan.
Urgensi memiliki seorang pemimpin yang akan merealisasikan keadilan dengan syariat Islam. Karena ketika keadilan tidak ditegakkan, otomatis kedzaliman merajalela. Karena demokrasi sekuler akan selalu menggerus dan mematikan rasa takutnya kepada sang pencipta. Wallahu’alam bi ash showab.[]
Comment