Penulis: Helmy Abud Bamatraf |
Political and Policy Literary Studies
RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA – Di sebuah warung kopi tua di kawasan Blok M, Jakarta, Paklik Isnogud, wartawan veteran yang rambutnya sudah memutih tapi matanya masih tajam, menyeruput kopi tubruk tanpa gula. Asap tipis mengepul dari gelasnya, sementara di layar ponsel, seorang keponakannya baru saja mengirim pesan:
“Pak Lik, sudah nonton The Intern? Film lama sih, tapi bagus. Pemainnya Robert de Niro sebagai Ben, dan Anne Hathaway sebagai Jules. Aku suka, banyak pelajaran tentang kerja dan hidup.”
Pak Lik Isnogud mengernyit. Bukan karena pesan dari keponakannya, tapi karena rasa pahit kopi yang makin terasa di lidahnya.
Film. Dunia kerja. Hidup. Ah, itu tiga hal yang seperti kopi, gula, dan cangkir. Kadang pas, kadang berantakan.
Pak Lik mengingat The Intern dan Ben, karyawan magang senior dalam film itu. Ben pria tua yang masuk ke perusahaan startup penuh anak muda yang lebih lihai memainkan dunia digital daripada menghargai pengalaman hidup.
Ben tak mencoba jadi bos, tapi kehadirannya seperti barista tua di warung kopi yang sabar mengajari anak magang cara menakar bubuk kopi yang pas. Ben menunjukkan bahwa leadership bukan soal suara paling keras, tapi soal tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.
Jules, CEO muda dalam film itu, seperti pelanggan yang terlalu sibuk dengan pesanannya sendiri. Ia bukan butuh orang yang lebih pintar darinya, tapi seseorang yang bisa diandalkan ketika sendoknya jatuh ke lantai.
Di dunia kerja, kepercayaan itu seperti kopi yang diracik dengan takaran pas. Kalau terlalu kuat, bikin orang ngeri. Kalau terlalu encer, tak ada rasa.
Ben juga bukan pria yang tergila-gila pada persaingan. Dia hanya melakukan hal kecil yang sering diabaikan orang. Mengingat ulang tahun rekan kerja, membantu merapikan meja, mendengar tanpa menyela.
Pak Lik Isnogud tersenyum sinis. “Di dunia kerja sekarang, orang baik sering dianggap sendok kecil di warung kopi,” gumamnya dalam hati. Sendok yang cuma dipakai sebentar, lalu ditinggalkan berantakan di meja. Padahal, tanpa bantuan adukan sendok, gula pun tak bisa larut sempurna.
Mungkin orang lupa, orang seperti Ben itu bukan sendok. Dia justru tangan yang mengaduk semuanya agar tetap berjalan.
Jules dalam film itu sukses. Punya perusahaan besar, tim besar, impian besar. Tapi seperti kopi yang terlalu lama dibiarkan, suksesnya mulai terasa dingin. Dia lelah, pernikahannya nyaris karam, dan dia merasa sendirian di puncak.
Paklik Isnogud mengingat banyak wartawan yang dulu berambisi mengejar eksklusivitas berita sampai lupa pulang ke rumah. Dulu mereka pikir kebahagiaan ada di headline besar di halaman depan. Sekarang, di usia senja, yang mereka inginkan cuma dua: sehat dan punya waktu lebih banyak dengan keluarga.
“Jules itu seperti orang yang terlalu sibuk mengaduk kopi sampai lupa meminumnya,” pikir Pak Lik. Ben hanya mengingatkan, “Minum sebelum dingin.”
Pak Lik Isnogud menghabiskan tegukan terakhirnya. Dia ingat, film itu memang menyentuh. Namun, bagi dia, dunia kerja tak seindah drama Hollywood. Kadang orang baik justru dipinggirkan, pemimpin yang bisa dipercaya kalah dengan yang bermulut manis, dan sukses sering datang dengan harga yang mahal.
Pak Lik merenung: hidup ternyata seperti kopi tubruk. Tak perlu terlalu banyak gula. Justru kepahitan itu yang membuat kita tetap terjaga.[]
Comment