Menyoal Kasus Pagar Laut

Opini237 Views

 

Penulis: Rima Septiani, S.Pd | Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Deretan pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang telah diketahui setidaknya sejak Juli 2024. Hal ini menurut kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil yang diwawancarai oleh BBC News Indonesia. Namun pagar itu baru dicabut oleh pemerintah setelah persoalan ini viral di media sosial.

Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan Heri Amrin mengatakan, pada September 2024 kelompok nelayan tradisional telah mengadu ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Saat itu, mereka menemukan deretan pagar bambu di perairan Kabupaten Tangerang.

Ada Apa dengan Pagar Laut?

Pembagunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang telah menjadi perdebatan yang saat ini banyak dibicarakan publik. Banyak nelayan lokal yang bersuara lantang menolak proyek pagar laut tersebut, sebab merekalah pihak pertama yang merasakan dampak atas keberlangsungan hidupnya. Mereka khawatir pagar tersebut akan membatasi akses mereka ke laut, yang sejatinya tempat mereka menggantungkan hidup sehari-hari.

Selain merugikan nelayan, ekosistem laut juga dalam bahaya. Sebab pagar laut ini akan mengurangi kemampuan lingkungan menampung kehidupan biota laut.

Dalam jangka panjang, ini bisa merusak habitat ikan dan menyebabkan hasil tangkapan menurun. Pada intinya, kegiatan seperti pemagaran laut dapat menyebabkan gangguan ekosistem, terganggunya saluran air, rusaknya habitat laut, atau bahkan pencemaran.

Lebih dari itu, pembagunan pagar laut dianggap menciptakan konflik kepentingan. Di mana seharusnya laut menjadi milik bersama, tetapi malah dikuasai pihak tertentu.

Kasus ini menunjukan betapa masyarakat sakit hati terhadap kebijakan publik yang diregulasikan. Para nelayan merasa bahwa kebutuhan mereka tidak pernah dipikirkan oleh penguasa. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, tetapi mereka juga menjadi tidak setuju dengan kebijakan apa pun yang dianggap merugikan mereka.

Hingga saat ini, masyarakat terutama nelayan lokal masih mempertanyakan apakah kebijakan ini dibuat untuk menguntungkan lingkungan atau sekadar untuk memenuhi tujuan tertentu.

Untuk itulah terlihat sangat sulit memercayai niat baik di balik pembangunan pagar laut ini karena masyarakat menganggap pemerintah abai terhadap hak-hak masyarakat, utamanya nelayan lokal yang berada di pesisir laut. Sebab pada faktanya, masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk mencari nafkah, justru kini harus berlayar lebih jauh, mengeluarkan biaya lebih besar dan menghadapi resiko lebih tinggi.

Dalam kasus pagar laut ini, sebenarnya siapa yang diutungkan? Sebab pembanguan pagar laut di Tangerang ternyata mengantongi Hak Guna Bangunan (HGB) yang sudah diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana kuatnya pengaruh korporasi di dalam lingkaran kekuasaan. Jika ada nilai kepentingan yang ingin diraih, melanggar hukum dan merugikan rakyat bukan menjadi penghalang. Kasus pagar laut ini sejatinya mengindikasikan bagaimana proyek oligarki ini berjalan dengan mulus.

Hal ini senada yang disampaikan praktisi hukum yang juga pengamat kebijakan publik Yus Dharman mengatakan pemagaran atau pun pematokan laut merupakan kejahatan korporasi. Ia berharap negara tidak boleh kalah oleh korporasi nakal yang kongkalikong dengan aparatur negara. Harus ada denda ataupun pelakunya dihukum yang seberat-beratnya.

Fenomena penguasaan ruang laut yang terjadi saat ini menunjukan seperti ada indikasi upaya privatisasi laut yang sejatinya melanggar hukum namun negara tidak segera menindaklanjuti dan membawanya ke dalam aspek pidana bahkan nampak adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan lepas tangan.

Kekayaan alam yang notabenenya milik rakyat justru dikuasai korporat, negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang bahkan aparat atau pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat. Mereka bekerja sama melanggar hukum negara sehingga membawa kemudharatan untuk rakyat dan mengancam kedaulatan negara. Kondisi inilah yang membuka peluang terjadinya korporatrokasi munculnya aturan yang berpihak pada oligarki.

Yang jelas, korporatokrasi bisa berkuasa karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme. Kapitalisme membuka peluang terhadap penguasaan kedaulatan pulau ataupun laut.

Kembali pada Pengaturan Islam

Kezaliman kepada rakyat akan terus berlangsung selama sumber hukum berasal dari akal manusia. Kezaliman hanya bisa dihentikan manakala sebuah negara menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai).

Sebagai raa’in negara memastikan semua kebijakan memberikan maslahat kepada rakyat hingga terurus dan terjamin.

Sedangkan sebagai junnah negara akan menjaga dan melidungi warganya dari semua hal yang membahayakan. Fungsi ini merupakan syariat bagi negara dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW tatkala beliau menjadi kepala negara di Madinah.

Dalam Islam perairan atau kepulauan tidak boleh dimiliki oleh individu atau perusaahan. Negara wajib menjaga dan melindungi ekosistem laut dan wilayah pesisir. Dalam Islam, kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta karena sumber daya menjadi hak bersama yang harus dikelola untuk kemaslahatan umat.

Sumber daya seperti air, hutan, tambang, dan energi dianggap sebagai anugerah Allah SWT yang diberikan kepada seluruh manusia bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Prinsip ini bertujuan mencegah terjadinya monopoli atau eksploitasi oleh individu atau kelompok yang dapat merugikan masyarakat luas.

Oleh karena itu pengelolaan kepemilikan umum ini harus dilakukan oleh negara atau lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hasilnya didistribusikan secara adil dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini juga sejalan dengan tujuan syariah (maqashid syariah), yaitu menjaga kesejahteraan masyarakat dengan mencegah ketimpangan sosial dan ekonomi yang dapat timbul akibat privatisasi sumber daya vital.

Dalam Islam, laut terkategori sebagai kepemilikan umum. Dalam hal ini laut Tangerang termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Pada intinya, sumber daya alam dan kepemilikan umum dikelola langsung oleh negara untuk didistribusikan secara adil, sehingga monopoli dan eksploitasi oleh korporasi dapat dicegah. Wallahu alam bi ash shawwab.[]

Comment