Yayasan Humaniora dan Titik Balik Kehidupan Seorang Ilham

Sastra259 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Malam itu hujan turun cukup deras dibarengi suara guntur dan angin berlarian liar menerpa pepohonan di tepi jalan. Di ujung jalan di emperan sebuah toko, tampak seorang bocah laki-laki duduk menggigil dengan posisi memeluk kedua lututnya.

Bocah kecil itu bernama Ilham yang baru berusia 9 tahun. Anak semata wayang itu terpaksa hidup menggelandang sendiri sejak ibunya meninggal di usianya yang baru 8 tahun. Ayahnya pergi entah kemana sebelum Ilham lahir.

Kehadiran Ilham sebagai anak jalanan diawali dengan menjadi pemulung botol dan kardus. Beberapa bulan kemudian mulailah dia mendapat teman senasib di jalan. Anak itu bernama Andi. Usianya satu tahun lebih tua dari Ilham. Andi seringkali mengintimidasi Ilham. Terkadang dia juga mengambil uang hasil penjualan botol dan kardus milik Ilham dengan sewenang-wenang.

Meski kesal dengan sikap Andi yang kasar, Ilham hanya diam, tidak kuasa melawan karena ukuran badan yang kurus dibanding Andi yang lebih kuat. Kadang Ilham harus menahan lapar beberapa hari karena uang hasil jerih payahnya memulung diambil Andi. Ilham hanya bisa diam dan meneteskan air mata.

Kondisi ini sangat memukul hati ilham yang hidup sebatang kara, tidak ada sanak saudara – di jalan pun dia harus menghadapi masalah dan derita. Ilham merenung dan meratapi nasib dirinya yang malang. Tak terasa air mata menggumpal dan mengalir ke pipinya yang  tampak berdebu.

Hidup di jalan dan bekerja dengan membantu mengangkat barang dagangan di pasar, Ilham mendapat imbalan bayaran yang hanya cukup untuk makan siang. Hasilnya dirampas teman. Ilham hanya bisa menahan nafas panjang menanggung derita yang tak kunjung usai.

Sejak kedua orang tuanya “menghilang” Ilham tidak sempat lagi berpikir untuk sekolah seperti anak – anak lain yang sebaya. Itu terlalu muluk baginya. Bagi Ilham, yang penting adalah bagaimana hari ini bisa makan.

Bila anak anak sebayanya bisa tidur nyenyak di rumah bersama ayah bunda dengan bantal dan guling yang hangat, Ilham tidur di emperan toko berbantal baju kotor dan kardus. Itu pun tidak bisa setiap saat. Ilham hanya bisa duduk beristirahat melepas penat dan tidur usai toko tutup tengah malam, Ilham juga harus bangun sebelum pemilik datang membuka toko.

Dalam setiap tidurnya di emperan toko itu,  Ilham tidak pernah menemukan rasa nyenyak karena keramaian dan bising suara kendaraan yang lalu lalang. Ilham hanya mampu bermimpi indah tentang rumah tinggal yang nyaman dengan makanan lezat untuk mengisi perutnya yang kerap bernyanyi dengan lagu “keroncongan”.

Suatu hari, dalam kondisi lapar dan lemah tidak berdaya itu, muncul seorang laki laki setengah baya berwajah lembut dengan jenggot lebat menghampirinya.

Dengan suara terdengar ramah, laki laki tersebut mendekat dan berucap salam yang lembut dan mengajak Ilham ikut bersamanya. Namun Ilham menatap laki laki itu dengan tatapan malas. Dalam hati dia berbisik, ini pasti satpol PP yang biasa razia anak jalanan.

Ternyata praduga Ilham itu meleset. Dalam posisi duduk dengn kepala yang masih beradu lutut, Ilham menjawab sapaan laki laki itu dengan suara pelan dan tatapan kosong. Laki laki itu coba mendekat sambil membentangkan tangan di atas pundak Ilham. Terjadi dialog yang membawa mereka pada kenyamanan.

Dengan kelembutan kata, laki laki itu berhasil menenangkan pikiran kalut bocah bernama Ilham yang berbalut baju sedikit basah akibat percikan air hujan yang cukup deras.

Meski sedikit ragu, Ilham pun mengiyakan ajakan tersebut dan meninggalkan emperan toko yang hampir satu tahun menjadi tempat persinggahannya.

Setelah 35 menit perjalanan membelah kebisingan kota dengan sisa hujan yang masih membekas tersebut, laki laki tadi menghentikan laju sepeda motor yang ditumpanginya di sebuah bangunan rumah. Ilham masih tampak sedikit canggung dengan banyak pertanyaan di benaknya, tempat apa dan mau apa laki laki ini mengajaknya ke tempat ini.

Laki laki itu, sebut saja Akbar – dengan wajah ramahnya mempersilakan Ilham masuk. Ilham melangkahkan kaki memasuki rumah itu dengan mata menatap ke kiri dan kanan ruangan besar. Matanya berhenti saat menoleh ke kiri ruangan dan menemukan tulisan besar. Dalam hati dan sedikit terbata dia coba mengeja tulisan yang ditempelkan di dinding ruangan tersebut, “Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan”.

Meski belajar membaca dan menulis dengan anak anak jalanan secara otodidak dari koran koran bekas yang dikumpulkan untuk dijual, Ilham mampu membaca tanpa bisa menulis.

Di sudut lain, Ilham melihat banyak anak anak sebayanya asik beraktifitas dengan buku; ada yang membaca ada pula yang asik mewarnai gambar.

“Ayo masuk” sapa seseorang yang sudah lama memperhatikan Ilham sejak dari pintu. Dia adalah pak Umar, salah seorang pengurus di Yayasan tersebut.

Ilham mengangguk dan duduk di kursi besi warna merah dengan sedikit rasa ragu karena baju dan celana yang dikenakan masih agak basah, kotor dan  berbau.

Pak Umar yang sudah terbiasa dengan kondisi dan pemandangan seperti ini tetap bersikap ramah dan menyambut Ilham dengan senyum merekah. Dia memberi segelas air teh hangat untuk Ilham yang tampak kedinginan itu.

“Ayo diminum” ujar pak Umar mempersilakan Ilham yang tampak masih bingung.

Ilham pun meminum air teh itu tanpa ragu. Diteguknya teh hangat itu seteguk demi seteguk untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan hampir satu jam di emperan toko tempat biasa dia melepas lelah.

Beberapa menit berbincang dengan pak Umar dan minum teh hangat, Ilham sudah mulai paham apa maksud pak Akbar dan pak Umar itu. Dalam hati, Ilham berharap semoga kedua bapak ini menjadi jalan untuk kehidupan yang lebih baik ke depan. Tampak raut wajah Ilham berbinar menandakan sebuah harapan.

Pak Umar kemudian mengajak Ilham ke kamar mandi untuk bersih – bersih sambil menyiapkan pakaian ganti dan cemilan.***

Satu tahun sudah Ilham berada di Yayasan tersebut dan mengikuti semua program yang dibuat oleh Yayasan, salah satunya pendidikan.

Pertama kali berinteraksi dengan teman-teman yang sudah lebih dulu ditampung dalam Yayasan, Ilham tampak sebagai anak yang minder. Sesuatu yang wajar. Namun berkat tempaan dan arahan para instruktur, anak-anak menyambut hangat kehadiran Ilham di kelas belajar mereka.

Interaksi Ilham tidak butuh waktu lama dengan anak-anak yang telah ada lebih awal. Hanya beberapa hari saja, Ilham dan anak-anak telah akrab dan menjadi satu keluarga.

Dalam proses belajar, Ilham yang dulu tampak culun dan terbata bata mengeja kini sudah lancar membaca tulisan besar yang terpampang di dinding, “YAYASAN HUMANIORA, RUMAH KEMANUSIAAN”

Meski bergerak sebagai Yayasan Sosial, program pendidikan yang diselenggarakan Yayasan Humaniora, Rumah Kemanusian ini tidak asal jadi. Ada kelas, kurikulum dan KBM yang terintegrasi secara baik dengan instruktur berkualitas.

Kurikulum disadur dari beberapa buku seperti Quantum Teaching, The Accelerated Learning dan Learning Revolution.

Banyak teori yang bisa diterapkan dalam program pendidikan di Yayasan ini. Sebuah terobosan yang tidak kalah dengan pendidikan konvensional. Dengan kurikulum dan manajemen pembelajaran yang apik, anak-anak menjadi begitu terdorong dan antusias belajar.

Kurikulum yang disadur dari buku-buku itu plus nilai – nilai humanis  telah membentuk suasana kelas dan proses belajar yang nyaman dan membuat anak anak menjadi betah berlama-lama mengikuti program pembinaan dan pembelajaran.

Itulah yang dialami Ilham dan anak-anak lain saat belajar di Yayasan ini. Mereka terikat dengan etika, adab, saling hormat dan menyayangi satu sama lain. Belajar dalam suasana dan hubungan  kekeluargaan yang menyenangkan.

Waktu berlalu. Tak terasa sudah satu tahun Ilham berada di yayasan. Satu tahun mengikuti kelas di Yayasan, lham  kini mampu membaca buku-buku cerita yang disediakan oleh Yayasan. Selain itu, dari segi penampilan, Ilham juga tampil lebih percaya diri dan ceria karena ada teman-teman sebaya yang saling menyayangi. Sangat berbeda dengan Ilham satu tahun lalu. Ilham tampak lebih bersih, bahagia dan bersemangat.

Di Yayasan ini Ilham juga mendapat pelajaran dan life skill yang diperlukan sebagai bekal saat dewasa nanti.  Selain itu ada juga program healing yang menarik dalam bentuk drama.

Healing dalam format lakon kecil semacam drama menjadi kelas paling ramai diikuti anak anak termasuk Ilham karena asik dan seru. Ada tawa, sedih dan lucu yang memotivasi dirinya.

Dalam program ini anak – anak diminta untuk memainkan lakon dengan sasaran dan target menghidupkan hati dan membentuk karakter anak anak untuk saling peduli terhadap manusia terlebih mereka yang sedang mengalami kesulitan.

Program healing dengan role model dan lakon kepedulian ini menjadi terapi paling kuat untuk membangun self confident bagi peserta didik di Yayasan Humaniora.

Meski agak sulit pada awalnya, Ilham yang mengikuti program healing selama satu tahun ini tumbuh dengan pribadi yang dewasa dan sangat peduli. Ilham kini, melakukan apa yang bisa dia lakukan tanpa harus diminta apalagi diperintah. Dia juga tumbuh menjadi anak yang sigap membantu dan peduli terhadap kesulitan teman-temannya.

“Ah..seandainya semua Yayasan memiliki program dan menjalankannya seperti ini, niscaya tidak ada lagi anak anak jalanan yang tidak bisa membaca dan menjadi korban pelecehan seks.” Gumam Ilham di lubuk hatinya.***

Master Plan pendidikan yang diselenggarakan Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan ini dikemas dengan kinerja dan kerjasama yang sangat professional.

Yayasan juga bermitra dengan PKBM agar peserta belajar tetap mendapat ijazah formal usai menempuh jenjang pendidikan. Sehingga anak anak bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.***

Pada tahun ke 5, Ilham mendapat ijazah persamaan dari PKBM mitra Yayasan HUMANIORA RUMAH KEMANUSIAAN. Ijazah ini mendorong Ilham lebih serius mengikuti pembelajaran.  Didukung para pengajar yang bersemangat itu Ilham ikut bersemangat dalam proses belajar hingga berhasil meraih ijazah kesetaraan paket A dilanjut dengan paket C tiga tahun kemudian.

Pak Umar dan pak Akbar sangat senang melihat perkembangan Ilham khususnya dan para anak jalanan lain yang ikut program pendidikan di Yayasan tersebut.

Usai mendapat ijazah setingkat SMA, Ilham melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi yang juga menjadi mitra Yayasan.

Gemblengan mental dan semangat yang diperoleh dari Yayasan telah membentuk karakter, cara pandang Ilham yang ramah, mudah bergaul, dan menyayangi kawan.

Dengan modal itulah Ilham memiliki banyak kawan – bukan saja mahasiswa tapi juga mahasiswi dari prodi lain. Kepandaiannya bergaul dan ramah ini juga membuat Ilham mendapat mandat sebagai ketua Senat di perguruan tinggi itu.

Rasa percaya diri yang tinggi ditambah semangat belajar yang luar biasa membuat Ilham berhasil menyelesaikan masa kuliahnya dengan meraih gelar Sarjana Ekonomi dan bekerja sebagai konsultan ekonomi di instansi pemerintah.***

Dalam pikiran Ilham, Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan ini menjadi titik balik dalam hidupnya. Dari pribadi yang tersingkir oleh kehidupan materialis dan individualis menjadi seorang anak yang percaya diri dengan mental yang positif sehingga mampu berdikari dan bermanfaat bagi Negeri.

Bagi Ilham—yang kini telah lulus kuliah dan bekerja, tetap berada di Yayasan sebagai relawan. Bagi Ilham, Yayasan ini bukan sekadar tempat yang pernah menyelamatkannya tetapi juga rumah di mana ia kini berbagi kasih dengan mereka yang dulu berada di posisinya.

“Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini daripada kasih yang tak berkesudahan.”

Itulah prinsip dan dasar kebijakan Yayasan Humaniora dalam upaya  membentuk character building untuk anak-anak yang terpinggirkan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Dalam konteks 30 tahun Yayasan Humaniora, semoga setelah singgah beberapa waktu di Yayasan ini, anak-anak memiliki dua faktor penting sebagai bekal mengarungi kehidupan; kecerdasan hati dan life skill yang memadai.

Semoga kisah Ilham ini menjadi inspirasi kepada para pihak khususnya penyelenggara sebuah Yayasan sosial baik mandiri atau di bawah pemerintah.[]

Comment