Penulis: Rizka Adiatmadja | Penulis Buku & Praktisi Homeschooling
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ada banyak muslimah yang tampak baik-baik saja di luar, tetapi hatinya remuk di dalam. Mereka belajar agama, mengisi kajian, hadir di majelis, memakai jilbab syar’i, dan tersenyum seolah hidupnya lapang. Padahal sesungguhnya, banyak dari mereka membawa luka batin yang dalam dan semakin parah karena merasa tak boleh terlihat lemah.
Beberapa tulisan dan nasihat populer mengatakan bahwa luka batin bisa sembuh “asal ngaji”, cukup dengan wudu, sujud, zikir, lalu hati akan tenang. Tulisan ini tidak sedang menyangkal keindahan syariat, tentu itu adalah solusi terbaik. Namun, luka batin tidak sesederhana itu. Apalagi jika kalimat-kalimat seperti itu disampaikan kepada seseorang yang bahkan untuk bangun dari tempat tidur saja butuh segenap tenaga.
Luka batin tidak bisa disamakan dengan malas mengaji dan mengkaji. Luka batin adalah napas yang terasa berat di tengah orang-orang yang justru menuntutnya lebih banyak bersyukur. Luka batin tidak sembuh hanya karena diingatkan bahwa “yang sabar pasti Allah sayang”. Kalimat-kalimat semacam itu benar, tetapi bisa menjadi racun kalau disampaikan tanpa empati.
Luka yang Tak Terlihat, tetapi Membusuk
Luka batin itu seperti memar di tempat yang tak bisa dilihat oleh mata, tetapi terasa berdenyut parah setiap kali disentuh, sekalipun oleh niat baik. Ia terbentuk dari pengkhianatan yang dipendam, dari kehilangan yang tak sempat ditangisi, dari perlakuan kasar yang dimaklumi atas nama menjaga nama baik keluarga, dari rasa ditolak berulang kali di masa kecil, tetapi tetap dipaksa dewasa lebih cepat.
Lebih parahnya, luka batin kerap tak dianggap sah dalam narasi kehidupan sosial. Ia dianggap hasil dari “kurang iman”, “banyak mikir”, “kurang bersyukur”. Jadilah muslimah yang terluka merasa berdosa karena sedih, merasa kufur karena depresi, merasa gagal sebagai hamba hanya karena lelah.
Kenapa Banyak Muslimah Kering dan Mudah Menghakimi?
Karena luka batin yang tidak sempat disembuhkan sering kali berubah menjadi keringnya empati. Ia menjelma dalam bentuk semangat berdakwah yang keras, tanpa kelembutan. Dalam lisan yang cepat menghakimi sesama perempuan. Dalam kebiasaan membandingkan, “Dulu aku juga begitu, tapi aku bisa kuat. Kamu juga harusnya bisa!”
Padahal, tidak semua orang punya kerangka yang sama. Tidak semua luka bisa ditambal cepat dengan ayat, jika cara menyampaikannya justru menambah beban. Bahkan Al-Qur’an pun turun bertahap. Maka, mengapa kita menuntut kesembuhan instan dari luka bertahun-tahun?
Agar Dakwah Jadi Pelukan, Bukan Tekanan
Jika kita ingin dakwah menjadi tempat pulang, bukan sumber tekanan maka kita perlu menata cara kita merangkul mereka yang sedang terluka. Berikut ini beberapa hal yang bisa menjadi pijakan:
1. Berani Mendengar, tanpa Menyerbu Solusi. Dengarkan kisah mereka tanpa langsung menyerbu dengan dalil. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah ruang aman untuk menangis dan didengar, bukan langsung “harus begini, harus begitu”.
“Dan jika kamu menasihati mereka, maka nasihatilah mereka dengan kata-kata yang baik dan bijaksana.” (QS. An-Nahl: 125)
2. Bedakan Luka Batin dengan Lemah Iman. Luka batin adalah beban psikologis dan trauma yang belum selesai. Menyamakannya dengan “kurang iman” justru membuat orang menjauh dari dakwah. Iman dan luka bisa hadir bersamaan dan keduanya perlu dirawat, bukan diperbandingkan.
3. Validasi Emosi. Sebelum arahkan jalan, katakan, “Aku percaya kamu sedang merasa sangat berat. Kamu berhak merasa begitu.” Sebelum kita mengajak seseorang naik ke tangga yang lebih tinggi, pastikan lututnya kuat untuk berdiri.
4. Bangun Komunitas yang Aman, Bukan Hanya Benar. Sebuah lingkaran ikatan bukan hanya tentang siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling bisa membuat orang merasa dicintai tanpa syarat sehingga kebenaran begitu jernih sampai ke pemikiran. Jangan hanya undang orang ke majelis, tetapi pastikan mereka tak pulang dengan lebih banyak luka.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara …” (QS. Al-Hujurat: 10)
5. Selalu Sisipkan Cinta dalam Kalimat Agama. Dakwah yang keras tanpa cinta melahirkan trauma. Namun, kalimat agama yang disampaikan dengan kasih sayang bisa menembus dinding luka paling tebal.
“Dan tidaklah Kami mengutusmu, (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Jangan terburu-buru memperbaiki orang. Temani setiap prosesnya. Tumbuh itu bukan dipaksa, tetapi dipapah. Benar sekali, jika luka batin itu bisa disembuhkan tanpa perlu melibatkan ahli. Namun, tentu semua butuh proses dan penerimaan yang terkadang kita butuh lama berada di dasar luka paling dalam. Dengan memahami sebagai bagian dari takdir kehidupan dan ketetapan-Nya.
Tak ada hal yang instan di duni ini. Jika ruang luka itu sudah tervalidasi, self healing di dalam Islam bisa benar-benar menjadi solusi. Salat tobat, mentadaburi Al-Qur’an, bermuhasabah dan bertafakur, berkumpul dengan muslimah salihah, dan mendalami ilmu agama, tentu akan melahirkan keistikamahan.
Sehingga fondasi dalam diri tidak mudah goyah sekalipun badai menerpa dan berulang menerjang. Wallahu ‘alam bisshowab.[]
Comment