Menggali Solusi Tuntas Atasi Banjir

Opini153 Views

 

 

Penulis: Dwi Sri Utari, S.Pd | Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Uka Suska seperti ditulis laman ayobandung.com, Jumat (18/10/24) mengatakan berdasarkan prediksi BMKG, saat ini wilayah Kabupaten Bandung sudah memasuki musim penghujan sehingga potensi terjadinya bencana banjir dan longsor cukup tinggi.

Kabupaten Bandung memang sudah menjadi langganan banjir setiap kali hujan deras mengguyur kawasan ini. Sebagaimana saat hujan yang mengguyur Kabupaten Bandung pada 10-11 September 2024 lalu, membuat beberapa daerah di Kabupaten Bandung mengalami banjir dan tanah longsor.

Dari catatan laporan BPBD Kabupaten Bandung, sebanyak 50 rumah yang dihuni 60 keluarga atau 180 orang terendam banjir hingga ketinggian 120 sentimeter di Kampung Bojong Salak RT 06 RW 22, Desa Cilampeni, Kecamatan Katapang, sejak pukul 03.00 WIB, Rabu 11 September 2024.

Masalah banjir tidak akan pernah terselesaikan tanpa solusi yang menyentuh akar persoalan.

Warga Kab.Bandung yang tinggal di kawasan langganan banjir senantiasa diliputi kekhawatiran setiap kali musim hujan tiba. Hal tersebut menjadi wajar, sebab bencana banjir sudah seperti agenda tahunan di Kabupaten Bandung.

Wilayah langganan banjir seperti Rancaekek, Baleendah dan Dayeuhkolot masih belum bisa dituntaskan. Kesiapan pihak Pemkab Bandung, belum cukup signifikan memberikan rasa aman kepada warga yang menjadi korban bencana banjir ini.

Selama ini yang tampak dari persiapan pihak Pemkab Bandung baru sekedar penyelesaian persoalan yang terdapat dipermukaan, seperti memperbaiki drainase hingga normalisasi sungai-sungai.

Bupati Bandung Dadang Supriatna, mengatakan percepatan pembangunan infrastruktur pengendalian banjir dibutuhkan agar masalah banjir di Kabupaten Bandung bisa segera teratasi. Dadang Supriatna yakin bahwa danau buatan atau embung akan jadi salah satu infrastruktur untuk solusi banjir, setelah terbangun Danau Cieunteung, Danau Retensi Sinaraga Andir, dan Terowongan Air Citarum di Nanjung Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung.

Sebelumnya PemKab Bandung bersama Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS) juga telah melaksanakan proyek normalisasi sungai-sungai yang ada di Kabupaten Bandung serta memperbaiki drainase.

Hal tersebut dilakukan sebagai penanganan banjir yang dinilai diakibatkan oleh buruknya saluran drainase di beberapa ruas jalan di Kab. Bandung. Ya, perbaikan drainase juga sudah beberapa kali dilakukan. Meskipun demikian, ternyata bencana banjir masih belum bisa terelakan dari kawasan ini.

Begitulah solusi yang dilakukan oleh PemKab Bandung dan nampaknya tidak pernah tuntas dan tidak menyentuh akar permasalahan.

Hakikatnya bencana banjir melanda kawasan Kab. Bandung secara rutin tiap kali memasuki musim hujan diakibatkan oleh beberapa faktor, selain permasalahan drainase dan aliran sungai yang seringkali dipenuhi tumpukan sampah dan limbah industri, berkurangnya lahan resapan air menjadi salah satu faktor penyabab bencana banjir namun tak pernah tersentuh solusi.

Nampak kian hari lahan resapan air kian berkurang seiring dengan dialihfungikan menjadi pemukiman maupun kawasan industri.

Hakikatnya, dalam melakukan sebuah pembangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan, dan lahan serta keseimbangan alam dan lingkungan. Jika tidak, meniscayakan terjadinya bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Nampaknya inilah yang menjadi penyebab permasalahan banjir di Indonesia tidak pernah terselesaikan. Di mana adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman maupun kawasan industri yang tidak memperhatikan perinsip-perinsip tersebut.

Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang senantiasa mengacu pada ‘profit oriented’ di mana, hutan dan lahan hanyalah dilihat sebagai komoditas, yang bebas dimiliki dan dimanfaatkan oleh siapa saja bagi kepentingan apa saja, sekalipun berakibat buruk pada rusaknya lingkungan alam dan mengorbankan kepentingan hajat hidup manusia.

Di sisi lain pada aspek birokrasi pun acapkali terjadi kongkalikong yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Izin lingkungan, dan analisis dampak lingkungan yang dipandang sebagai pengendali, terbukti begitu mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan.

Hal ini menunjukan para pemangku kebijakan dan birokrasi seperti dikendalikan oleh para korporasi. Dalam sistem kapitalis keberadaan para korporasi ini memang dispesialkan. Inilah yang menjadi akar permasalahan banjir yang tidak pernah terselesaikan yakni sistem kapitalisme yang dijadikan sebagai rujukan dan landasan dalam menetapkan berbagai kebijakan dan politik negara.

Dalam pandangan Islam, air, hutan, dan lahan adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, diciptakan-Nya untuk kesejahteraan manusia, bukan komoditas.

Disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 29 “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk mu..”. dengan menjadikan ayat ini sebagai landasan maka dalam Islam kebijakan-kebijakan ditetapkan tidak lain untuk menjamin kesejahteraan manusia bukan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pihak tertentu.

Di samping itu Allah swt juga menciptakan alam semesta ini dengan berada dalam keseimbangan dan keserasian satu sama lain dan manusia diperintahkan untuk menjaganya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya “…Dan Dia menciptakan keseimbangan.” (TQS Ar Rahman: 7). “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (TQS Ar Rahman: 8).

Apabila firman Allah swt ini dijadikan sebagai rujukan, tentulah akan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dengan kongkalikong yang membuat kebijakan-kebijakan yang ditetapkan mengenai penjagaan lingkungan alam dilanggar.

Sesungguhnya kebijakan-kebijakan yang berlandaskan dan merujuk pada aturan Sang Pencipta ini hanya terdapat pada sistem islam.

Sehingga solusi tuntas untuk permasalahan banjir yang selama ini tidak dapat teratasi dan masih saja menjadi bencana ditengah masyarakat adalah tidak lain dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sistem hidup yang berasal dari Allah swt yaitu sistem islam. Wallahua’lam bissawab.[]

Comment