Penulis: Devi Ramaddani | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pendidikan memiliki peran penting dalam upaya mencetak generasi unggul. Pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap karakter seseorang mulai dari sikap, kecerdasan intelektual, keterampilan bahkan akhlak mulianya.
Namun sungguh ironis, peran pendidikan yang sangat penting ini justru melahirkan polemik terkait biaya yang sungguh fantastis. Sebut saja kampus yang ternama seperti Univeritas Mulawarman telah merilis biaya pendidikan untuk tahun 2024/2025 yang terdiri dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) atau uang pangkal.
Dikutip dari laman resmi Unmul, UKT adalah biaya yang dikeluarkan mahasiswa setiap semesternya baik yang masuk lewat jalur SNBP, SNBT, hingga jalur mandiri. Dalam biaya UKT Unmul2024 terbaru, terlihat rata-rata UKT dibagi menjadi 8 golongan. Namun, ada juga yang 6, 7, bahkan 9 golongan.
Biaya kuliah atau UKT di Universitas Mulawarman tertinggi untuk tahun 2024 seperti ditulis tribunnews yaitu Rp25 juta yaitu S1 Pendidikan Dokter Gigi/Kedokteran Gigi. Sedangkan, biaya UKT termurah ada pada semua jurusan S1 yaitu golongan kelompok 1 sebesar Rp500 ribu.
Memang bukan lagi rahasia umum jika kuliah di negeri ini sangat mahal. Pembiayaan UKT dan IPI yang mencapai ratusan bahkan puluhan juta membuat geleng – geleng kepala. Hal ini bukti bahwa negara seakan berlepas tangan dalam persoalan pembiayaan pendidikan tinggi (PT).
Sejalan dengan pernyataan pendidikan tinggi (PT) sebagai edukasi tersier yang artinya bersifat elit hanya untuk kalangan tertentu saja. Sedangkan untuk mereka yang berada di level ekonomi ke bawah sulit untuk mengakses karena keterbatasan ekonomi.
Kebijakan ini merupakan kezaliman yang merampas hak rakyat untuk bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Dampaknya kualitas SDM anak negeri menurun. Alhasil kemampuan SDM hanya sebatas pekerja/buruh untuk memenuhi tuntutan industri.
Apalagi diperkuat dengan kampus merdeka yang mengarah pada liberalisasi pendidikan. Berlakunya paradigma kapitalisme membuat pendidikan salah arah. Pendidikan hanya berorientasi ekonomi, bukan membentuk generasi berkualitas untuk kemaslahatan rakyat.
Mirisnya pendidikan tinggi telah dikomersilkan. Pendidikan diperjualbelikan bak barang. Hal ini tidak lepas dari jeratan kapitalisme yang menjadi asas dalam sistem pendidikan. Sistem ini benar-benar sangat menghimpit kehidupan masyarakat secara sistematis dan terstruktur.
Kapitalisme tidak memberi kemudahan sama sekali. Ada uang ada barang, Negara seakan menjadi penjual sedangkan rakyat sebagai pembeli. Pendidikan dianggap sebagai komoditas bisnis karena sektor pendidikan sangat dibutuhkan rakyat. Adapun output yang dihasilkan oleh sistem ini juga liberal yang sangat jauh dari konsep Islam.
Islam sebagai agama sekaligus ideologi diturunkan Allah SWT untuk mengatur seluruh umat manusia. Dalam Islam, pendidikan adalah hal utama. Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar wajib dipenuhi dan dijamin negara dari tingkat dasar hingga tinggi. Negara akan memberi akses kemudahan bagi masyakarat, menggratiskan pembiayaan, mendirikan sekolah yang mudah diakses oleh masyarakat.
Sedangkan untuk mendapatkan sumber pembiayaan tersebut, negara dalam konsep Islam memiliki Baitul Maal. Baitul Maal ini adalah tempat penyimpanan dari berbagai pendapatan negara seperti zakat, ganimah, kharaz, fai, jizyah dan harta kepemilikan umum. Pembiayaan ini diperuntukkan khusus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk pendidikan tinggi.
Output pendidikan Islam dapat dilihat di masa kejayaan islam yang telah terbukti melahirkan generasi hebat dengan karya besarnya. Hingga hari ini pun karya mereka masih bisa dirasakan, seperti ibnu Haitam menemukan optik, lbnu Majid penemu arah mata angin untuk berlayar, Abbas ibnu Firnas perakit cikal bakal pesawat terbang dan masih banyak lagi dengan karya yang bermanfaat bagi umat manusia.
Sudah saatnya, negeri ini kembali kepada aturan Islam agar persoalan UKT, pendidikan tinggi, dan semua masalah sendi kehidupan dapat terselesaikan dengan benar dan tuntas.
Namun sebaliknya jika masih berharap pada kapitalisme sebagai landasan kebijakan di Indonesia, maka rakyat tinggal menunggu kejutan-kejutan yang semakin mencekik. Wallahu a’lam bish shawab.[]
Comment