Kebebasan Sebuah Ilusi Demokrasi

Opini566 Views

 

 

Oleh: Mutiara Putri Wardana, Akuntan

___________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ketua DPR RI Puan Maharani mematikan salah satu mikrofon anggota dewan yang sedang melakukan interupsi.

Putri Megawati tersebut mematikan mikrofon saat pimpin rapat paripurna DPR yang digelar pada Selasa (24/5/2022).

Ketika Puan hendak mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya rapat, salah satu anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Amien AK meminta Puan untuk memberikan waktu 1 menit utuk berbicara.

Namun Puan enggan memberikannya waktu, karena rapat sudah berlangsung selam 3 jam dan sudah memasuki waktu salat dzuhur.

Amien bersikeras meminta waktu untuk menyampaikan innterupsinya dan Puan memberinya waktu 1 menit.

Ia kemudian menjelaskan kejadian terkini mengenai LGBT yang sempat viral di podcast Dedi Corbuzier, serta di kibarkannya bendera LGBT di kantor Kedubes Inggris di Jakarta.

Seperti dikutip menit.co, setelah Amien berbicara selama 3 menit, tiba-tiba mikrofonnya mati. Tanpa basa-basi dan menghiraukan Amien, Puan menutup rapatnya dengan di sambut tepukan tangan dari para anggota dewan yang hadir.

Aksi matikan mikrofon tersebut juga dilakukan Puan Maharani pada tahun 2020 lalu.

Mengomentari sikap mengabaikan interupsi itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut bahwa sikap Puan justru merugikan, karena publik dapat menilai sikap tersebut sebagai otoriter.

Menurut Lucius, aturan tata tertib DPR mengizinkan anggota dewan untuk menyampaikan interupsi pada saat rapat paripurna.

Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada salahnya ketika anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahmi Alaydroes melakukan interupsi dalam sidang paripurna DPR tersebut.

Meski ternyata apa yang ingin disampaikan Fahmi, tidak terkait dengan agenda paripurna yang membahas pencalonan Panglima TNI  Jenderal Andika Perkasa, namun Lucius menyatakan, interupsi tersebut harus didengar terlebih dahulu.

Sebab, sebagaimana dikutip tribunnews.com, anggota DPR mempunyai hak untuk bersuara di dalam sidang.

Dan terjadi lagi, sikap wakil rakyat tidak mencerminkan bagaimana seorang wakil rakyat seharusnya. Di dalam sistem demokrasi dengan jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat nyatanya jauh panggang dari api.

Kebebasan berpendapat yang diagungkan dalam demokrasi hanyalah omong kosong. Apalagi jika pendapat tersebut berkaitan dengan hak-hak publik.

Dalam sistem ini para penguasa dan kebijakannya justru tidak berpihak kepada rakyat. Mereka lebih dekat dengan kepentingan para kapitalis.

Dari fakta di atas, mental mereka lebih dominan sebagai seorang kapitalis yang jika tidak ada kepentingan atau sesuatu yang menguntungkan maka rakyat diabaikan.

Jangankan berorientasi pada kepentingan rakyat,  jabatan yang mereka miliki hanya berfokus pada eksistensi diri.

Inilah watak kepemimpinan dalam sistem demokrasi sekuler. Sistem ini menempatkan aturan manusia di atas aturan Pencipta. Padahal Allah telah menciptakan manusia, alam, dan kehidupan beserta dengan peraturan yang menyertainya. Tapi dengan kesombongan dan keterbatasannya manusia membuat aturan sendiri yang alhasil hanya terus menerus menciptakan kerusakan demi kerusakan.

Hal ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Dalam Islam,  pemerintah pusat ada yang namanya majelis umat yang  bertugas melakukan muhasabah atau introspeksi pada penguasa.  Tugas majelis ini memberi kritik dan saran kepada penguasa yang merupakan suara rakyat. Mereka adalah orang yang benar-benar mempresentasikan rakyat.

Dalam menjalankan tugasnya majelis umat menjadikan syari’at Islam sebagai landasan, sehingga tidak mementingkan pihak tertentu di atas rakyat.

Sistem Islam sangat sempurna dan paripurna, sebab penguasa maupun rakyat bersinergi menjalankan syari’at Sang Khaliq.

Dalam sistem Islam kedaulatan ada di tangan syara’ bukan rakyat apalagi penguasa. Sehingga tidak akan terjadi solusi yang hanya sekedar tambal sulam. Syari’at Islam selain berperan sebagai aturan juga berperan sebagai solusi problematika kehidupan. Wallahu’alam.[]

Comment