Pajak Naik Rakyat Tambah Sengsara, Tapi Kok Bangga?

Berita382 Views

 

 

Penulis: Puput Hariyani, S.Si | Business Woman

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seiring waktu berjalan dan tahun pun berganti, apa kabar rakyat hari ini? Semakin sejahtera atau justru kian sengsara? Belum lama ini masyarakat kembali disuguhi statement dari salah satu petinggi negeri yang cukup mengagetkan.

Pasalnya di tengah sulitnya kehidupan masyarakat berjuang memenuhi biaya kebutuhan hidup yang terus meroket, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Angka penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak 1983 yang hanya Rp13 triliun.

“Kita semua mengetahui bahwa untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara ini, negara dan bangsa kita, cita-cita yang ingin kita capai, ingin menjadi negara maju, ingin menjadi negara yang sejahtera, adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara,” jelas dia dalam acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara GBK (CNNIndonesia.com).

Dalam acara peringatan Hari Pajak Nasional pada 14 Juli, Bu Ani mengatakan bahwa pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya. Untuk membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik.

Sri Mulyani menyampaikan terkait perkembangan penerimaan negara yang setiap masa terus membaik, hal itu dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya seperti ditulis liputan6.com.

Perkembangan penerimaan pajak yang baik tentu maksudnya adalah ketika jumlah pajak yang diterima mengalami kenaikan. Sebagaimana yang beliau rincikan, misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Bahkan, untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun. Jumlah yang sangat fantastis.

Kenaikan pajak yang dibanggakan oleh Menkeu di satu sisi, juga menjadi indikasi peningkatan pungutan atas rakyat. Hal ini justru semkain membebani. Kebanggaan di atas penderitaan masyarakat. Besarnya pungutan pajak sejatinya adalah bentuk ketidak-mampuan pemerintah mengelola SDA yang tersedia melimpah di negeri ini. Pengelolaan SDA tersebut sejatinya menjadi sumber utama negara. Negara harus mengambil peran sebagai pengurus dan penjamin kesejahteraan rakyat.

Negara tidak sepatutnya hanya menjadi regulator atau fasilitator dalam menentukan urusan negara dan pengelolaannya diserahkan kepada korporasi swasta dan pihak asing.

Kondisi ini menjadi lumrah dalam sistem kapitalisme yang mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Maka tidak aneh jika pemerintah terus mengimbau agar rakyat taat bayar pajak sehingga negara bisa menjalankan roda pemerintahan. Kapitalisme mengklaim bahwa pajak semata untuk rakyat. Namun benarkah demikian?

Menteri Keuangan mengatakan bahwa pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai sektor publik, semisal listrik, BBM Pertalite, dan LPG 3 kg, yang semua itu disubsidi menggunakan pajak.

Fasilitas sekolah, rumah sakit, dan puskesmas pun memakai uang pajak. Jalan raya, kereta api, internet, kapal selam, gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semua dari pajak. Namun kenyataannya masyarakat nihil dari kemanfaatan.

Semua yang “katanya” disubsidi untuk rakyat tetaplah mahal. Sebut saja tarif listrik dan air, ataupun Pertalite yang katanya telah disubsidi, harganya masih saja selangit. Begitu pun pembangunan kereta api, jalan tol, rumah sakit, ataupun sekolah, semuanya berbiaya mahal.

Bahkan, rakyat harus membayar iuran BPJS untuk bisa mengakses layanan kesehatan. Terlebih jalan tol, sudahlah tarifnya mahal, keberadaannya pun jarang dinikmati warga biasa. Sedikit sekali rakyat yang menggunakan fasilitas tersebut. Dengan realita ini, masih bisakah dikatakan bahwa pajak untuk pembangunan negara yang sejahtera dan adil? Sejahtera dan adil untuk siapa? Untuk rakyat jelata atau para penguasa?

Inilah paradox negeri gemah ripah loh jinawi. Kita memili sumber daya alam melimpah tapi tapi tak bisa menikmatinya. Atas nama liberalisasi kepemilikan yang merupakan bagian intergral dari cara pandang sistem kapitalisme, hasil kekayaan alam sah dimiliki oleh swasta. Penguasaan BBM dan batu bara, gunung emas, hutan, tambang mayoritas kepemilikannya dikuasai swasta, baik asing maupun lokal. Andai saja keduanya dikelola negara, tarif listrik bisa murah, bahkan gratis dan rakyat tak perlu lagi dipungut pajak.

Realitas ini tentu sangat jauh berbeda dengan aturan Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (ra’iyat)” (HR Bukhari).

Karena penguasa adalah penanggung-jawab maka perannya memastikan kesejahteraan seluruh rakyat dan tidak menggantungkan pembiyaan pembangunan pada sektor pajak.

Islam tidak menjadikan pajak sebagai tumpuan kas negara yang dibebankan kepada seluruh rakya tetapi  bersifat temporer – dilakukan jika kas negara kosong dan saat butuh dana yang mendesak saja, serta berakhir setelah keperluan tersebut selesai atau kas negara sudah terisi kembali.

Meskipun demikian, kondisi keuangan negara kosong itu sangat jarang, karena negara dengan baitul mall memiliki sumber pemasukan tetap dari pos fai’ dan kharaj, kepemilikan umum yakni sumber daya alamnya, juga sedekah. Negara juga memiliki mekanisme mengharamkan kepemilikan umum diambil alih oleh swasta atau diprivatisasi. Sehingga pemasukan negara dengan pos yang jelas ini sangat deras dan tanpa membebani masyarakat.

Semoga kita semua segera tergerak untuk mengambil kepemimpinan Islam untuk mewujudkan ketaatan dan ketundukan kita terhadap penerapan hukum Allah sehingga terwujud kehidupan sejahtera berkah dan barakah, in syaa Allah. Wallahu’alam bi ash-showab.[]

Comment