Polisi, Kerikil Tajam Penegakan Hukum

Opini555 Views

 

Oleh: Nisrina Nitisastro, Konsultan Hukum

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Heboh kasus kematian Brigadir J di rumah dinas atasannya menambah panjang daftar kasus yang berpotensi mencoreng wajah Polri. Terlebih, belakangan, Kadiv Propam FS yang juga atasan Brigadir J dijadikan tersangka. Hal ini menyusul diperiksanya 31 anggota aktif Polri mulai dari jenderal hingga yang berpangkat rendah. Kasus semacam ini bukan yang pertama. Padahal rapor Polri berpengaruh erat terhadap penegakan hukum di negeri ini.

Banyaknya anggota Polri yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir J praktis menurunkan trust, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini. Padahal belum lama berselang kita juga dikejutkan dengan beberapa kasus yang mendapat sorotan publik. Kita masih ingat kasus pencabulan tiga orang anak di Luwu Timur pada 2019 yang kembali marak dibincangkan setelah diangkat oleh Project Multatuli.

Ada juga kasus polisi membanting mahasiswa yang sedang berdemo di depan kantor Bupati Tangerang. Jangan lupa kasus Kapolsek Parigi Moutong yang diduga melakukan pelecehan seksual pada anak seorang tersangka penculikan anak. Juga seorang anggota polisi di Rokan Hulu yang diduga mencekik dan membanting pendemo saat mengawal aksi unjuk rasa bulan Mei silam. Akhirnya sebagian masyarakat menganggap jika sudah sudah sebegitu kerap terjadi, pelakunya sudah tidak bisa lagi disebut oknum.

Menurut catatan Ombudsman, dari 7.204 laporan yang masuk, 11,34% di antaranya menyangkut kinerja Polri. Tertinggi kedua setelah Pemerintah Daerah yang mencapai 29,59%. Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan terdapat 651 kekerasan yang dilakukan polisi sejak Juni 2020-Mei 2021.

Tercatat 390 kasus penembakan oleh personel Polri atau 57,9% dari total tindak kekerasan dalam setahun. Penembakan tersebut setidaknya menewaskan 13 orang dan 98 lainnya luka-luka (Katadata.co.id 26/10/2021).

Menurut data Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, pelanggaran anggota korps Bhayangkara mencapai 6.409 kasus pada 2020, naik hingga 54% dibandingkan pada 2019 yang mencapai 4.151 kasus. Pelanggaran pidana mencapai 1.024 pada tahun 2021, naik hingga 63,3% dibandingkan 2019 yang mencapai 627 kasus.

Angka yang fantastis, bukan? Mengingat Polri adalah garda terdepan penjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri. Tidak heran tingkat kepercayaan publik menurun.

Bisa jadi itu efek dari banyaknya keluhan terhadap kinerja Polri yang tak kunjung ditanggapi dan diselesaikan. Lemparkan ke dalamnya kasus KM50 yang penyelesaiannya menyakiti rasa keadilan masyarakat, maka tak perlu heran Jenderal Listyo Sigit sendiri mengatakan ada masyarakat yang jijik pada polisi.

Pucuk pimpinan Polri tak boleh tinggal diam. Dia harus membuktikan ucapannya akan melakukan pembersihan besar-besaran di jajarannya. Ia yang dulu pernah mengatakan jika tak dapat memutus ekornya maka akan memotong kepalanya. Bukan apa-apa, ketidakpercayaan yang akut berpotensi menumbuhsuburkan vigilantisme (main hakim sendiri).

Vigilantisme adalah kondisi ketika masyarakat merampas peran penegakan hukum tanpa kewenangan legal. Ini bukanlah kondisi yang sehat karena vigilantisme tidak mempertimbangkan apakah perbuatan tersebut bertujuan menegakkan keadilan ataukah tidak.

Sayangnya, vigilantisme merupakan respons yang umum manakala masyarakat merasa tidak puas akan kinerja pemerintah dan penegak hukum. Tingkat vigilantisme yang tinggi menandakan supremasi hukum yang lemah.

Supremasi hukum yang lemah lahir dari para penguasa dan penegak hukum yang korup dan pragmatis.

Polisi dalam Sistem Islam

Terdapat perbedaan yang mendasar antara polisi kita saat ini dengan polisi dalam sistem Islam. Di dalam kitab Nizham al-Hukmi fi al-Islam yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebutkan anggota kepolisian direkrut dari para jaisy (tentara) terbaik. Mereka sudah terlebih dulu mendapatkan pelatihan ketentaraan sekian lama sebelum akhirnya menjadi polisi.

Dipilih yang terbaik dari kalangan jaisy berprestasi karena tugas syurthah (polisi) adalah menjaga keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat. Mereka dituntut untuk welas asih karena harus mengayomi sesama muslim; di saat yang sama juga harus tegas terhadap pelanggar hukum syariat, baik muslim mupun nonmuslim. Paduan karakter yang tak sembarang orang mampu memilikinya.

Slogan “mengayomi dan melindungi” justru terejawantah dalam diri polisi Islam. Tugas pertama mereka adalah mengayomi, yaitu memberikan rasa aman. Setelah itu barulah penegakan kamtibmas dalam rangka melindungi masyarakat.

Kepada mereka diberikan pengetahuan dan pelatihan ketentaraan sebelum mendapatkan pendidikan kepolisian. Juga diberikan pemahaman Islam yang memadai mengingat tugas mereka sebagai penegak hukum Islam bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.

Hal ini sangat berbeda dengan skema perekrutan anggota polisi di negeri kita. Seseorang yang baru tamat SMA hanya perlu dibina selama 3-4 tahun untuk bisa menjadi anggota polisi. Selanjutnya mereka akan langsung ditempatkan di berbagai wilayah. Ini adalah perkara yang riskan mengingat wewenang polisi yang begitu luas dalam penegakan hukum.

Kita bayangkan saja, polisi memiliki kuasa penuh untuk menentukan status tersangka terhadap seseorang, menginterogasi rakyat sipil yang dicurigai, hingga melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Semuanya adalah aktivitas yang membutuhkan integritas tinggi, sesuatu yang diuji oleh waktu dan pengalaman. Juga membutuhkan pemahaman yang baik terhadap hukum acara agar tidak terjadi pelanggaran prosedur dan kode etik di dalamnya. Sedangkan yang kita saksikan saat ini peran kamtibmas lebih dominan dilakukan dibandingkan peran mengayomi.

Mekanisme rekrutmen anggota kepolisian kita sudah sering menjadi sorotan. Beberapa waktu lalu sempat viral sebuah video singkat di medsos yang menunjukkan bahwa untuk masuk ke akademi polisi harus membayar sejumlah uang.

Padahal selama ini Polri sesumbar gratis. Dari sini kita dapat menilai, jika di front office saja kecurangan itu sudah dipertontonkan, apatah lagi yang terjadi di dalam sana.

Selain itu, setiap polisi dalam sistem Islam digembleng agar memiliki kesadaran politik yang tinggi.

Kesadaran politik ini mutlak diperlukan oleh setiap alat negara agar mereka memahami posisinya dalam struktur kelembagaan negara. Kesadaran politik yang rendah dapat menjerumuskan mereka sebagai pelaku politik pragmatis. Fungsi sebagai alat negara berubah menjadi alat penguasa. Itu sangat berbahaya karena di sinilah hukum tebang-pilih bermula.

Dalam sistem Islam digariskan bahwa setiap aparatur negara bekerja dalam kerangka ri’ayah asy-syu’un al-ummah (pelaksanaan urusan umat) sebagai sebuah amanah dari Rabb mereka. Tugas negara tidak dipisahkan dari unsur ruhiyah.

Pelanggaran terhadap tugas yang dibebankan sama artinya dengan melanggar perintah Rabb-nya. Ketakwaan kepada Pencipta menjadi pendorong lahirnya sikap amanah. Profesionalitas pun terjaga dan supremasi hukum bukanlah wacana semata.

Khatimah

Bahwa lunturnya kepercayaan publik kepada penegak hukum sama sekali bukan hal baru. Namun selama ini kita selalu membicarakannya dari balik pintu, dalam ruang tertutup. Kasus terbunuhnya Brigadir J membuka tabir itu. Ketidakpercayaan itu kini ramai dibincangkan hingga tumpah-ruah ke ruang-ruang publik. Terlebih ketika puluhan anggota aktif korps cokelat itu dimutasi dan dicopot dari jabatannya.

Sudah waktunya kita berpikir ulang tentang kriteria apa yang harus dimiliki seorang penegak hukum. Jangan sampai justru penegak hukum sendirilah yang menjadi kerikil tajam penghambat terwujudnya supremasi hukum.

Paradigma sekuler yang diterapkan dalam perekrutan personel harus segera dikikis habis. Setiap penyelenggara negara harus memiliki ketakwaan sebagai penjaga. Sayangnya, di negara demokrasi sekularisme adalah hal biasa. Sedangkan Pencipta tak punya urusan dengan demokrasi.

Jika kita mencita-citakan sebuah tata kelola negara yang berkeadilan, sudah waktunya kita menoleh pada sistem Islam. Sistem yang dibuat oleh Zat yang tidak memiliki kepentingan terhadap manusia yang karenanya menjamin keadilan. Wallaahu a’lam. [/]

Comment