Penulis: Hamsina Halik | Pegiat literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan, kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tidak akan ada penundaan. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan berlanjut pada masa pemerintahan mendatang.
Sebagaimana diketahui, tarif PPN saat ini sebesar 11% sejak 2022, atau telah naik sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dari sebelumnya 10%.
Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dampak Kenaikan PPN
Saat ini masyarakat dihadapkan pada kenyataan harga bahan pokok dan yang lainnya yang terus mengalami kenaikan. Jika PPN belum naik saja kebutuhan pokok sudah mahal, apalagi jika PPN naik, otomatis akan mengalami kenaikan harga lagi. Tentu saja, kenaikan pajak ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan rakyat. Terutama mereka yang kalangan menengah ke bawah.
Kondisi ini akan sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Sebab dengan kenaikan pajak, masyarakat akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beban hidup semakin bertambah dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Jika pun tidak ada solusi untuk keluar dari beban hidup yang sulit, tentu hal ini akan menjadi beban pikiran, stress hingga depresi yang berujung pada kemungkinan mengakhiri hidup.
Selain itu, kenaikan PPN juga berpotensi menambah angka pengangguran. Sebab, daya beli masyarakat yang menurun akan melemahkan kinerja keuangan perusahaan. Implikasinya adalah berkurangnya penyerapan tenaga kerja yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran.
Pajak Wajib dalam Sistem Kapitalisme
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara.(www.pajak.go.id)
Dari definisi di atas jelas sekali bahwa sumber utama pembiayaan negara berasal dari pajak. Karena itu, kewajiban pajak adalah satu keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme mutlak menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama pemasukan negara.
Hal ini tidak bisa diganggu gugat karena bagian dari konsep ekonomi kapitalisme. Tak heran negara yang mengadopsi sistem ekonomi ini memiliki pemasukan yang besar dari pajak dibandingkan sumber-sumber ekonomi. Mirisnya pendapatan negara dari sektor pajak rawan di korupsi. Sehingga pendapatan negara tidak mencapai target. Untuk menutupinya maka kenaikan pajak akan menjadi solusi.
Padahal, sejatinya negeri ini kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan. Dengan pengelolaan sumber daya alam oleh negara secara mandiri, bukan swasta ataupun asing – yang hasilnya untuk kepentingan rakyat – akan berpotensi memberikan pemasukan besar bagi harta negara.
Namun, akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme dengan konsep liberalisasinya telah melegalkan privatisasi sumber daya alam. Alhasil kekayaan alam dinikmati oleh para pemilik modal atau korporasi. Sementara negara hanya berperan sebagai regulator yang memberi jalan bagi korporasi untuk menguasai sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat.
Pajak dalam Islam
Dalam kapitalisme, pajak adalah kewajiban bagi seluruh rakyat, baik kayak maupun miskin, maka beda halnya dalam Islam. Islam tidak mewajibkan pajak atas seluruh umat. Sebab, pajak dalam pandangan Islam bukanlah sumber utama pemasukan dan pembiayaan negara, sebagaimana dalam kapitalisme.
Islam menetapkan bahwa pajak dalam Islam hanya diberlakukan pada kaum muslim yang kaya kaum muslim yang kaya. Penarikannya hanya bersifat temporal. Jika kondisi Baitul Mal telah stabil, maka pemungutan pajak akan dihentikan.
Adapun Baitul Mal, yang merupakan lembaga khusus pengelolaan APBN Islam. Yaitu tempat menerima dan mengeluarkan dana, memiliki sumber pendapatan yang berasal dari ghonimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, harta orang yang memiliki waris, panti-panti, wisma-wisma aparat pemerintahan yang dibuka oleh negara serta tanah-tanah yang dimiliki oleh negara dll.
Sedangkan kepemilikan umum yang berupa sumber daya alam, maka negara harus memaksimalkan pengelolaannya secara mandiri untuk memenuhi kewajiban pelayanan negara terhadap umat.
Sebab negara adalah raa’in. Pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta apalagi asing. Sebab, kepemilikannya adalah milik seluruh rakyat dan hasil pengelolaannya untuk kemaslahatan rakyat.
Dengan kondisi seperti ini, negara benar-benar akan mandiri dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Negara benar-benar menjalankan fungsi periayahan atau pengurusan rakyatnya.
Karena seperti inilah harusnya tugas utama seorang pemimpin. Ia bertanggung jawab atas seluruh rakyat yang dipimpinnya, bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyatnya.
Tidak akan didapati hal ini, selama sistem yang mengatur bukanlah sistem yang berasal dari aturan-aturan-Nya. Wallahu a’lam.[]
Comment