Penulis: Adzkia Tharra | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kemiskinan masih menjadi salah satu tantangan utama dalam agenda pembangunan nasional di Indonesia. Meskipun tren penurunan angka kemiskinan menunjukkan kemajuan, disparitas antarwilayah serta dampak ekonomi pascapandemi COVID-19 masih menjadi hambatan signifikan dalam pencapaian target penanggulangan kemiskinan.
Berbagai program telah dijalankan oleh pemerintah untuk menekan angka kemiskinan, data terbaru menunjukkan bahwa upaya tersebut masih menghadapi berbagai kendala.
Berdasarkan data dari Liputan6.com, Jakarta (30/04/2025) Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025 menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas.
Indonesia sendiri kini secara resmi masuk kategori negara berpendapatan menengah atas, setara dengan Malaysia dan Thailand.
Berdasarkan standar ini, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, setara 171,9 juta jiwa, masih tergolong miskin. Meski begitu, jumlah tersebut mengalami penurunan tipis dari 61,8 persen pada tahun 2023, dan 62,6% pada tahun 2022 lalu.
Pengelompokan penduduk miskin yang digunakan World Bank tersebut didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income dengan standar sebesar $ 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari.
Perhitungan ini berbeda dengan yang dilakukan secara resmi di Indonesia yang menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar $ 2,15 PPP per kapita per hari.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2024 sebesar 24,06 juta orang. Jumlah tersebut menurun sebanyak 1,16 juta orang jika dibandingkan data Maret 2024 dan menurun sebanyak 1,84 juta orang terhadap Maret 2023.
Sementara itu, garis kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242/kapita/bulan. Pada periode yang sama, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, garis kemiskinan per rumah tangga rata-rata Rp2.803.590/rumah tangga miskin/bulan. Namun, banyak daerah yang nominal gaji individu rakyatnya di bawah garis kemiskinan.
Ternyata, miskin itu merupakan sesuatu yang relatif dalam sistem hari ini. Miskin atau tidak miskin ternyata tergantung pada standar kemiskinan yang digunakan, versi Badan Pusat Statistik (BPS) ataukah Bank Dunia.
Perihal perbedaan standar kemiskinan ini, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa memang terdapat perbedaan patokan penilaian atas kemiskinan antara Bank Dunia dengan BPS RI. Ia mengatakan, Bank Dunia menilai kemiskinan melalui standar masyarakat menengah atas, yakni sistem purchasing power parity (PPP) 2017 yang mencapai USD6,85 per kapita. Artinya, kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini karena itu adalah nilai tukar PPP yang basisnya 2017 sehingga angka hasil konversinya akan berbeda.
Ia juga mengatakan, garis kemiskinan dunia yang ditetapkan Bank Dunia tidak seharusnya langsung diterapkan oleh masing-masing negara. Sebabnya, tiap negara memiliki nilai garis kemiskinan sendiri.
Banyak negara yang memiliki garis kemiskinan di wilayahnya yang dihitung berdasarkan keunikan dan standar hidupnya masing-masing. Untuk itu wajar jika garis kemiskinan milik Bank Dunia juga berbeda dengan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah RI.
Namun demikian, atas dalih yang disampaikan oleh pemerintah, sekecil apa pun angka kemiskinan semestinya tidak dibiarkan, apalagi sampai berlarut-larut. Jika kita hendak jujur, angka yang dirilis Bank Dunia setidaknya lebih masuk akal karena tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia memang tidak begitu baik.
Hal ini terlihat dari gelombang PHK yang terus menghantam para pekerja dan banyaknya UMKM yang gulung tikar.
Selain itu, dampak dari kemiskinan pun terus meningkat. Misalnya stunting, kini angka stunting masih tinggi karena para orang tua tidak mampu memberikan asupan gizi bagi anak-anak mereka.
Para bapak stres lantaran tidak memiliki pekerjaan akibat PHK. Beban ekonomi yang tinggi, sedangkan penghasilan kian menurun menyebabkan konflik sosial pun bermunculan. Kasus kriminalitas seperti perampokan, pembegalan, dan pencurian kian hari kian banyak.
Bansos yang pemerintah berikan jauh dari kata cukup. Selain sering salah sasaran, jumlahnya pun tidak mampu menutupi kebutuhan hidup keluarga yang kian meningkat.
Dengan demikian, jika dikatakan kebijakan pemerintah mampu menurunkan angka kemiskinan, klaim ini jauh dari realitas. Alih-alih menyelesaikan kemiskinan, kebijakan pemerintah malah makin memberatkan masyarakat.
Selain itu, angka kemiskinan yang digunakan oleh Bank dunia maupun BPS sungguh tidak sesuai kenyataan sebab sepanjang mata memandang, siapa pun bisa mengindra bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Namun, lagi-lagi persoalannya di standar angka pengukuran garis kemiskinan.
Inilah politik angka, pemerintah seperti hanya bermain-main dengan angka dan tidak sungguh-sungguh mengentaskan kemiskinan. Bukan rahasia lagi bahwa dalam sistem politik demokrasi kapitalisme, rezim kerap bermain angka untuk menaikkan citranya, terlebih pada akhir kepemimpinannya.
Buktinya, pada akhir era kepemimpinan SBY misalnya, pada tahun 2014, BPS mengeluarkan angka yang menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintah dengan mengatakan bahwa angka kemiskinan menurun.
Standar angka kemiskinan hanya dikenal dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sedangkan di dalam sistem Islam, angka hanyalah alat bantu untuk menyelesaikan persoalan. Penguasa dalam Islam benar-benar tulus mengurus rakyatnya. Tidak seperti penguasa oligarki yang justru memanfaatkan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Lantas, bagaimanakah Islam menyelesaikan persoalan kemiskinan?
Islam mengukur kemiskinan bukan dengan nominal, tetapi terpenuhi tidaknya kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Ini merupakan ukuran yang riil dan akurat.
Ketika seseorang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya secara sempurna, dia layak disebut tidak miskin alias sudah sejahtera. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga, dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Islam memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar bagi rakyatnya orang per orang bukan dengan perhitungan kasar berupa total pengeluaran. Islam memiliki mekanisme berupa patroli yang dilakukan oleh khalifah atau wakilnya sehingga bisa menyisir penduduk dari rumah ke rumah untuk memastikan tiap-tiap orang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Kita lihat bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. melakukan patroli setiap hari. Beliau mendatangi tiap-tiap rumah warga untuk memastikan mereka bisa tidur nyenyak karena perutnya sudah kenyang. Ketika ada warga yang tidak bisa makan, beliau segera mengetahuinya dan memberi solusi seketika.
Hal ini sebagaimana kejadian Umar ra. yang memberikan sekarung gandum bagi janda yang merebus batu untuk membujuk anaknya yang kelaparan. Fakta kemiskinan tersebut langsung diketahui sang khalifah dan langsung disolusi.
Pengentasan kemiskinan dalam islam merupakan kerja serius pemimpin sebagai wujud tanggung jawab kepemimpinannya. Bukan ajang unjuk prestasi demi pencitraan untuk meraih penghargaan ini dan itu demi melanggengkan kekuasaan.
Islam juga memiliki standar makruf dalam pemenuhan kebutuhan, yaitu standar umumnya masyarakat. Dengan demikian, disebut sebuah kebutuhan terpenuhi jika sudah sampai level makruf.
Misalnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, maka bukan sekadar makan, asal perut kenyang. Namun, Islam memperhatikan kelayakan gizi makanan yang dikonsumsi, yaitu memastikan bahwa setiap warga negara sudah makan secara berkualitas.
Demikianlah, perhatian Islam terhadap kemiskinan memang pada orang per orang. Bukan mencukupkan pada perkiraan rata-rata seperti kapitalisme. Hal ini karena tanggung jawab seorang imam/khalifah terhadap rakyatnya memang bersifat orang per orang. Kelak di akhirat sang khalifah akan ditanya tentang riayah (pengurusan) rakyatnya satu per satu.
Konsep tanggung jawab kepemimpinan yang demikian hanya ada dalam Islam, bukan pada sistem lain. Pemimpin yang memiliki idrak silah billah (kesadaran akan hubungannya dengan Allah, akan bertanggung jawab penuh terhadap masing-masing rakyatnya.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu menjadi solusi kemiskinan secara efektif. Karena standard perhitungan dan pendataan kemiskinan sangat akurat sedangkan sistem yang lain gagal mewujudkan data yang akurat tersebut. Wallahu a’lam.[]
Comment