Penulis : Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar di Ma’had Pengkaderan Da’i Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kita sering mendengar ungkapan Baiti Jannati yang artinya Rumahku Surgaku. Tulisan ini seringkali menjadi hiasan yang ditempel di dinding rumah.
Rumah memang bukan hanya sekedar bangunan atau tempat berteduh dan berlindung dari berbagai cuaca tetapi sejatinya menjadi tempat pulang, beristirahatnya jiwa dan raga dari kepenatan berbagai aktifitas yang sudah dijalani.
Rumah selayaknya menjadi tempat yang aman dan penuh rasa cinta. Di dalamnya ada keluarga yang saling menyayangi, cinta pasangan suami istri dan bakti anak kepada orang tua. Saling mengasihi satu sama lain dan menjalankan berbagai macam tugas masing-masing.
Ayah mencari nafkah dan menjadi kepala rumah tangga, ibu menjadi manager rumah dan ada juga yang berkiprah di masyarakat, anak-anak menuntut ilmu sampai akhirnya membentuk keluarga baru. Menjalankan peran berdasarkan panduan kalam ilahi. Terus berproses hingga peradaban manusia berjalan dalam koridor kebaikan.
Berawal dari keluarga hingga menebar rahmat ke seluruh dunia. Begitulah gambaran ideal bahwa ketahanan keluarga mewujudkan peradaban yang mulia.
Namun hari ini kita dihadapkan dengan sebuah kindisi di mana rumah tidak lagi menjadi tempat pulang, tidak lagi menjadi tempat yang aman, dan tidak lagi dirindukan. Rumah tempat disemainya benih peradaban justru menjadi tempat yang penuh luka. Anggota keluarga yang kini saling menyakiti, hingga tega menghilangkan nyawa.
Ayah membunuh anak, ibu membuang bayinya, orang tua menelantarkan anak-anaknya, anak-anak durhaka pada orang tuanya, suami menyiksa istri, suami membunuh istri, istri tega membunuh suami, kakak beradik saling melukai.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa berbagai masalah masih banyak terjadi di dalam keluarga kita. Sebagai contoh kasus yang terbaru di Jagakarsa Jakarta Selatan, ayah kandung membunuh keempat anak kandungnya. Ternyata tersangka beberapa waktu sebelum kejadian pembunuhan itu terjadi sempat dilaporkan oleh istrinya karena kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Dilansir dari artikel hukum pidana di situs kemenkumham.go.id, dinyatakan bahwa definisi KDRT, sebagaimana dikemukakan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Tindakan kekekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana.
Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya.
Disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Seringkali persoalan KDRT ini dikaitkan dengan isu yang dibawa oleh para aktifis feminis menjadi sebuah isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender.
Mereka menduga tingginya angka kekerasan terhadap perempuan adalah karena ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan akibat masih kurangnya kesadaran terhadap kesetaraan gender.
Budaya patriarki dianggap menjadi akar masalahnya. Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Seringkali Islam dijadikan kambing hitam karena dituduh sebagai agama yang mendukung budaya patriarki, hanya dikarenakan Islam menempatkan posisi laki-laki sebagai qowwam (pemimpin).
Mereka menganggap ayat Al-Quran (Q.S An-Nisa : 34) terkait hukuman bagi istri nusyuz/ yang membangkang pada suami adalah merupakan ayat misoginis – benci terhadap perempuan, yang perlu ditafsir ulang secara tekstual.
Tidak tanggung-tanggung tuduhan terhadap para ulama tafsir, dianggap hasil tafsirnya tidak relevan hanya karena beliau seorang laki-laki, dan tidak menggunakan sudut pandang perempuan saat menafsirkan.
Padahal siapapun yang menafsirkan baik dia laki-laki maupun perempuan selama memiliki otoritas keilmuan dan menggunakan metode yang benar maka akan menghasilkan kesimpulan hukum yang sama, apalagi terkait ayat-ayat yang tidak memungkinkan terjadinya multitafsir.
Dilansir dari artikel yang ditulis Ustadzah Najmah Saiidah di situs www.muslimahnews.id bahwasannya masalah KDRT adalah masalah sistemis. Banyak aspek yang berkaitan satu sama lain.
Untuk menyelesaikannya tidak cukup sekadar tindakan yang bersifat parsial, semisal menyelesaikan soal komunikasi suami istri saja. Lebih dari itu, harus juga menyelesaikan problem ekonomi, sosial, hukum, perundangan, serta pemerintahan.
Artinya, masalah KDRT butuh solusi yang sistemis pula. Sejak syariat Islam turun ke muka bumi, terdapat seperangkat solusi bagi kehidupan manusia, termasuk dalam berumah tangga. Islam mengatur hak dan kewajiban suami istri dan mewajibkan keduanya untuk bekerja sama saling menolong membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan penuh rahmat.
Islam mewajibkan suami istri saling bersikap baik dan lemah lembut, tidak kasar, memiliki adab yang baik satu sama lain. Laki-laki adalah pemimpin rumah tangga (qawwam). Segala permasalahan rumah tangga harus diselesaikan secara baik-baik dan tidak emosional.
Dalam bidang ekonomi, Islam mewajibkan laki-laki mencari nafkah untuk keluarganya. Jika tidak mampu, nafkah keluarga akan dibebankan kepada saudara atau keluarga dari pihak laki-laki. Jika tidak ada yang mampu lagi, negaralah yang akan memberikan bantuan langsung kepada keluarga tersebut.
Adapun bagi istri boleh-boleh saja untuk bekerja. Hanya saja, meski mubah, banyak hal yang harus diperhatikan dan tetap wajib terikat dengan syariat Islam dalam pergaulan dan menutup aurat secara sempurna.
Begitu pula dalam bidang sosial dan pergaulan, sistem Islam akan menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, seperti larangan khalwat dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan nonmahram tanpa aturan dan hajat syar’i).
Hal ini akan meminimalkan terjadinya perselingkuhan, zina, dan sejenisnya yang bisa saja memicu KDRT. Terakhir, hukum Islam memiliki sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan, termasuk KDRT. Dengan demikian, solusi tuntas hanya dengan diterapkannya konsep Islam secara totalitas.
Setiap anggota keluarga perlu memahami pentingnya memahami Islam bahkan sebelum menjalani hidup berkeluarga. Karena jika bukan dengan bimbingan agama, dengan apalagi kita mengarungi samudera luas kehidupan rumah tangga?
Biduk rumah tangga akan menghadapi berbagai macam cobaan, baik internal maupun eksternal. Maka modal awal yang harus dimiliki adalah pola pikir atau pola pemahaman yang benar tentang landasan berkeluarga.
Bukan hanya soal mengarungi hari demi hari begitu saja saat berumah tangga, tapi tentang visi misi masa depan umat yang bermartabat. Dari surga di dunia hingga surga yang abadi di akhirat. Wallahu ‘alam bishowab.[]
Comment