Sistem Buruk, Tatanan Keluarga  Semakin Terpuruk

Opini269 Views

 

Penulis:  Rizka Adiatmadja | Praktisi Homeschooling

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga semakin mencengkeram tatanan keluarga, tentakelnya yang kukuh sanggup membuat perlindungan utama runtuh.

Banyak keluarga yang bungkam dan bertahan seperti dalam sekam. Jiwa dan raga rusak tersiksa. Padahal sejatinya berumah tangga adalah ikatan persahabatan,  di dalamnya penuh dengan ketenteraman, bukan berlimpahnya penderitaan.

Berkeluarga adalah perisai kebersamaan. Suami dan istri saling mencintai, orang tua dan anak saling melindungi. Satu sama lain menjaga, tak ada yang rela jika ada yang menderita. Bagaimana jika derita itu malah diberikan oleh orang yang disayangi hingga nyaris terkapar mati?

Dikutip dari KOMPAS.com – seorang mantan perwira Brimob berinisial MRF, menganiaya istrinya (RFB) sejak 2020 sehingga mengalami penderitaan psikis dan fisik tentunya. Terdakwa menyiksa istrinya hingga perdarahan dan keguguran. Menurut Renna A. Zulhasril sebagai kuasa hukum korban, ia mengatakan bahwa korban dipukul, dibanting, dan diinjak-injak.

KDRT bukan hanya terjadi pada pasangan suami istri. Sudut peristiwa yang paling mengerikan terjadi kepada anak kecil. Sejatinya orang tua adalah pelindung bagi anak kecil yang ada dalam lingkup keluarganya. Tak hanya anak kandungnya. Kasus yang menjadi bukti suramnya sistem kehidupan sekularisme salah satunya adalah kekerasan seksual.

Dikutip dari kumparan.com – Seorang kakek berinisial BS (58 tahun) di Taput tega mencabuli keponakannya yang berusia 11 tahun. Si kakek ditangkap pada Kamis (21/3/2024).

Menurut Kasi Humas Polres Tapanuli Utara (Taput) Aiptu Walpon Baringbing, pencabulan itu diungkap oleh seorang saksi berusia 14 tahun, tetangga korban tersebut tak sengaja memergoki pelaku sedang melecehkan korban. Ibu korban pun melaporkan ke Polres Tapanuli Utara.

Pelaku yang tepergok kemudian kabur ke Pekanbaru. Atas perbuatan bejat itu, pelaku dijerat Pasal 76E juncto Pasal 82 ayat 1 UU No 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.

Dua peristiwa yang membuat kita mengurut dada, kemudian harus ditambah lagi dengan potret anak durhaka. Banyak sekali kejadian anak yang menyiksa orang tua bahkan tak segan menghilangkan nyawa. Bukan kali pertama, tragedi tersebut menghiasi kanal berita.

Dikutip dari Kumparan.com –
Seorang menantu laki-laki bernama Joni Sing (49 tahun) di Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang Sumut, tega membacok ibu mertuanya, Sanda Kumari. Ia kesal ditegur oleh ibu mertuanya itu lantaran melakukan KDRT kepada istrinya.

Kapolrestabes Medan Kombes Pol Teddy Marbun mengatakan aksi pembunuhan itu dilakukan pada Senin (11/3) sekitar pukul 05.30 WIB. Sementara, pelaku berhasil ditangkap Kamis (21/3) malam. Penangkapan pelaku pun cukup dramatis karena dia menusuk-nusuk dirinya sendiri di bagian dada dan kepala hingga bersimbah darah.

Ketahanan keluarga begitu rapuh, bahkan kepemimpinan seorang laki-laki pun lumpuh. Perlindungan untuk keluarga semakin tak ada karena beberapa fungsi tidak bekerja dengan semestinya.

Permasalahan ekonomi menjadi salah satu penyebab KDRT, hadirnya orang ketiga yang menambah panjang angka perselingkuhan, masih begitu kentalnya budaya patriarki sehingga rumah tangga seperti atasan dan bawahan, serta banyak lagi hal yang mudah sekali muncul ke permukaan sebagai pemicu kekerasan dalam rumah tangga.

Dominasi sekularisme telah membentuk pandangan manusia hari ini menjadi keras dan bebas. Tak mau menyelesaikan permasalahan dengan mengambil solusi dari sudut pandang Islam. Islam hanya dianggap sebagai arena ritual semata, tidak dilibatkan sebagai solusi dari setiap problematika yang ada, termasuk di ranah keluarga.

Indikasi kegagalan negara dalam menangani permasalahan KDRT pun semakin kentara. UU PKDRT terasa mandul, padahal disahkan sejak 20 tahun lalu. Mengapa dikatakan gagal? Jawabannya, jelas saja data yang membuktikan.

Di tahun 2022 saja kasus KDRT mencapai 5.526. Angka yang begitu tinggi telah membuktikan bahwa negara tidak punya kendali yang jeli dalam menuntaskan KDRT yang berulang terjadi.

Sejatinya kerusakan sistemis ini harus dituntaskan dengan jalan keluar yang mengacu pada standardisasi sistem pula. Solusi yang tidak parsial – tentu saja hanya Islam yang bisa menyelesaikan semua secara integral.

Islam memandang bahwa keluarga adalah titik sentral yang harus memiliki fondasi kukuh agar tidak rentan runtuh. Meskipun bangunan terkecil, tetapi menjadi tolok ukur dan memberikan pentingnya sebuah andil.

Andil yang bisa memetakan perwujudan perlindungan, rasa aman yang tercipta akan membentuk generasi karena memiliki kasih sayang yang cukup dengan segenap penjagaan. Orang tua bukan sebagai induk semata, seorang ayah, suami, bukan sekadar cukup berjibaku di ranah nafkah, tetapi memberikan kekuatan sebagai pahlawan yang sanggup melindungi dan menjadi pemeran utama mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.

Seorang istri yang dilindungi suami akan merasa leluasa dan lapang meski ujian mengadang, tenang saat melaksanakan amanah sebagai guru pertama dan utama di rumah. Kebahagiaan istri adalah tolok ukur ketenteraman buah hati.

Islam memberi jaminan di berbagai aspek kehidupan agar ketahanan keluarga tangguh. Sistem pendidikan yang ada, mampu membentuk setiap individu memiliki kepribadian Islam, sehingga jiwa takwa mengalir. Seseorang yang bertakwa tentu tidak akan berani menyakiti dan menzalimi.

Sistem perekonomian Islam pun ditata sedemikian rupa agar permasalahan ekonomi tidak menjadi alat pacu keguncangan di dalam keluarga. Kesejahteraan setiap keluarga menjadi hal yang sangat diprioritaskan.

Begitu pun dalam masalah pergaulan, Islam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dengan batasan-batasan syariat yang jelas. Sehingga potensi perselingkuhan itu tidak ada. Aturan untuk media massa dan sosial pun tentu tidak sebebas hari ini sehingga tayangan atau konten terfilter dengan baik. Tidak menjadi pemicu untuk kasus pemerkosaan atau perzinaan.

Keadilan hukum Islam tidak akan sulit kita temukan. Ada kisas sebagai bentuk konsekuensi ketika individu melakukan penganiayaan atau pembunuhan. Hukuman mati adalah sanksi terberat ketika pelaku dengan sengaja melakukan pembunuhan.

Beratnya sanksi akan melahirkan efek jera bagi pelaku. Disebut jawabir artinya adalah sebuah pelaksanaan hukuman atau sanksi pidana yang bertujuan untuk menyadarkan pelaku agar memiliki rasa jera dan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Zawajir artinya menjadi pembelajaran bagi orang lain agar tidak berani melakukan tindak kejahatan yang sama (preventif).

Begitulah pemandangan indah dan berkah dari kehidupan keluarga yang dilindungi sistem Islam. Tak hanya butuh individu dan masyarakat yang bertakwa, tetapi tentu memerlukan ketakwaan negara dan sistem. Sehingga stabilitas kehidupan bisa terwujud.

Fungsi dari setiap peran tidak bertolak belakang, semua akan berjalan di relnya masing-masing dengan berkesinambungan dan bersandar pada syariat Islam secara totalitas. Wallahualam bissawab.[]

Comment