Penulis: Iin Karlina | Muslimah Peduli Generasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Awal tahun 2024 kasus bullying kembali mengemparkan masyarakat. Seorang anak dari artis yang sedang naik daun bersama kelompok gengnya terlibat melakukan perundungan terhadap teman sekolahnya di salah satu sekolah internasional di Serpong Tangerang.
Hingga saat ini seperti ditulis Suara.com (1/3/2024), korban harus dirawat di RS karena luka memar dan luka lecet di leher, luka bekas sundutan rokok pada leher bagian belakang dan luka bakar pada lengan tangan kiri.
Mirisnya, belum selesai kasus perundungan oleh siswa sekolah internasional di serpong tetsebut, kasus yang sama terjadi di sebuah pondok pesantren di Kediri. Peristiwa ini bahkan menghilangkan nyawa sang korban. Atas kejadian ini, Kepolisian sebagaimana ditulis laman BBC (29/2/2024) menetapkan empat orang tersangka yang merupakan senior korban di pesantren.
Menyusul kemudian, perundungan di Batam, korbannya adalah 2 remaja putri kakak beradik yang dikeroyok 4 teman-temanya remaja putri yang ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini seperti ditulis kompas (2/3/ 2024) bermula ketika pelaku dan korban saling ejek di aplikasi WhatsApp. Pelaku kemudian mengajak beberapa temannya untuk mendatangi korban. Korban dan pelaku sama-sama sudah tidak sekolah atau putus sekolah. Mereka juga saling mengenal satu sama lain.
Sungguh miris, Plt Direktur SMP, I Nyoman Rudi Kurniawan menyebut ancaman perundungan di sekolah sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan, kasus perundungan di sekolah di Indonesia juga tercatat dalam survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 meraih urutan ke 5 di dunia.
Jumlah kasus perundungan di sekolah-sekolah Indonesia seperti dikutip medcom.com (24/10/2024) berada di atas rata-rata. Di mana sebanyak 41,1 persen pelajar Indonesia pernah mendapatkan perundungan di sekolah. Hal ini berada di atas rata-rata perundungan di satuan pendidikan dalam skor PISA, di mana rata-ratanya 23 persen.
Makin hari kasus perundungan makin meningkat. Ibarat fenomena gunung es, satu kasus nampak, yang lain masih belum terungkap. Satu kasus tertangani, kasus lain masih banyak lagi yang terabaikan.
Kasus perundungan telah menjadi fenomena di berbagai daerah. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa ada 87 kasus perundungan pada 2023 (RRI, 9-10-2023). Ini adalah kasus yang dilaporkan ke KPAI, sedangkan kasus yang tidak terlapor tentu lebih banyak lagi.
Perundungan saat ini bisa terjadi kepada siapa saja dan yang paling sering terjadi justru di lingkungan sekolah.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dari bulan Januari – Agustus 2023 diantaranya Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) menyumbang sekitar 25%, di lingkungan Sekolah Menengah Akhir (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), masing-masing dengan persentase sekitar 18,75%.
Sedangkan di Madrasah Tsanawiyah dan Pondok Pesantren, insiden perundungan tercatat masing-masing sekitar 6,25%. (Inilah.com 26/5/2023)
Masalah Perundungan pada anak yang tak berkesudahan ini penyebabnya sangat komplek. Di saat harga-harga kebutuhan hidup makin tinggi namun pendapatan yang stagnan memaksa para orang tua fokus pada pekerjaan dan melalaikan tugasnya dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi saleh.
Akibatnya, muncullah generasi minus kasih sayang yang bertindak tanpa arahan, semata demi memuaskan rasa kasih sayang yang tidak dia temukan di rumah.
fenomena maraknya perundungan juga menunjukkan gagalnya sistem pendidikan mencetak anak didik berkepribadian mulia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak, justru dipenuhi aksi kekerasan.
Hal ini disebabkan asas pendidikan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Akibatnya, anak hanya menerima informasi/maklumat tentang materi pelajaran, tetapi tidak mendapatkan pendidikan terkait baik dan buruk dalam tingkah laku mereka. Anak-anak dijejali aneka materi pelajaran, tetapi tidak dibentuk menjadi orang yang bertakwa.
Akibat sistem pendidikan sekuler ini anak merasa bebas untuk berbuat sesukanya, apalagi didukung mudahnya mengakses tontonan yang buruk dampak lemahnya kontrol negara terhadap informasi tekhnologi yang berkembang saat ini.
Sedangkan dari sisi hukum kepada pelaku perundungan tidak mampu memberikan efek jera karena UU Perlindungan Anak seakan menjadi tameng bagi pelaku.
Dengan dalih masih di bawah umur, pelaku kriminalitas menjadi tidak tersentuh hukum. Tentu hal ini dilematik.
Proses yang terjadi pada anak yang berhadapan dengan hukum seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi memberi perlindungan dan pendampingan hukum kepada pelaku, di sisi lain meniadakan hukuman yang justru mencederai keadilan bagi korban
Jika kita mengevaluasi sistem kapitalisme sekuler yang banyak mengakibatkan kerusakan pada generasi mestinya kita harus sadar bahwa kita membutuhkan sistem yang mampu memberikan solusi utama dan mendasar atas problematika umat saat ini. Solusi itu tak lain adalah Islam yang memiliki seperangkat sistem efektif mencegah bullying.
Dari sisi pengasuhan, Islam mewajibkan orang tua dan sekolah bersinergi mendidik anak-anak berasaskan aqidah Islam agar menjadi orang yang sholih dan dijauhkan dari azab neraka
Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)
Ditopang pula sistem ekonomi Islam yang menyediakan lapangan kerja dan menciptakan kemudahan mendapatkannya, seperti bantuan modal usaha, memberi sebidang tanah untuk dikelola, pelatihan keahlian tertentu, dan sebagainya sehingga terwujudlah kesejahteraan.
Dengan demikian, para penanggung nafkah dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik. Para orang tua bisa menjalankan fungsi pengasuhan dengan optimal dengan kesadaran bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga dengan baik.
Dari sisi hukum Islam, anak yang sudah dibebani hukum syara’ adalah yang berusia baligh. Rasulullah saw. bersabda, “Diangkat pena dari tiga golongan, yakni dari orang gila hingga ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia balig.” (Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514, Sunan at-Tirmidzi (II/102/693)).
Oleh karenanya, jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum baligh), ia tidak dapat dihukum. Jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itulah yang dijatuhi sanksi.
Namun, jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum. Namun, negara akan melakukan edukasi terhadap wali dan anak yang melakukan pelanggaran tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).
Pada fase baligh, anak sudah seharusnya menyadari masalah hukum perbuatan yang melanggar hukum syara’, karena masa sebelumnya yaitu masa pramumayiz dan mumayiz mereka sudah diberikan pendidikan akidah dan membentuk pemahaman mengenai Sang Pencipta pada anak.
Ini bertujuan agar anak memahami keberadaan Sang Pencipta sekaligus memiliki kesadaran hubungannya dengan Allah.
Dengan sendirinya, anak berproses menjadi generasi khoiru ummah yang bertakwa dan memilah perbuatan baik dan buruk sesuai standar syariat. Wallahu a’lam bishowab.[]
Comment