Tegas Terhadap Etnis China, Hamengkubuwono IX Juga Dicintai Rakyat

Berita587 Views
Sultan HB IX
RADARINDONESIANEWS.COM,
YOGYAKARTA  – Bagi warga DI Yogyakarta di atas 50 tahun, tentu bisa
mengenang kiprah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau adalah
Raja Kasultanan Yogyakarta, Kepala Daerah DIY, mantan Wakil Presiden RI,
pejuang dan pahlawan negara Ini adalah ayah dari Sri Sultan HB X yang
saat ini memerintah. 

Almarhum Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin yang amat sangat merakyat dan dicintai rakyat Beliau sering blusukan ke pasar-pasar bukan untuk cari dukungan tapi ingin membantu warga miskin Beliau sudah kaya dan terhormat dari lahir sehingga tidak butuh pencitraan. Sejarah mencatat, beliau punya peran besar dalam kemerdekaan RI dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Sampai-sampai beliau dan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Jogja untuk mempertahankan kemerdekaan serta beliau membangunkan gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai sekarang masih ada gedungnya, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).

Sejarawan mencatat, beliau beberapa kali ditawari menjadi Presiden dan beberapa kali berkesempatan menjadi Presiden tapi beliau tidak mau. Beliau hanya sekali menjadi Wapres (jaman Soeharto) dan itupun hanya satu periode dan setelah itu tidak mau lagi dipilih.

Kecintaan warga DIY terhadap almarhum sangat tinggi. Wajar ketika beliau wafat tahun 1988, sepanjang jalan dari Keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman) dijejali para pelayat. Diatas 500 ribu pelayat. Guiness Book Of International Record mencatat peristiwa itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia yang pernah ada. Koran dan media besar nasional pun menjadikannya sebagai topik bahasan utama: perginya pemimpin besar, pembela rakyat nan sejati.

Yang menarik dari beliau ialah sikapnya terhadap warga keuturuan Tionghoa. Belau orang yang sangat humanis dan tidak membeda-bedakan, namun urusan kebijakan pemerintahan beliau sangat tegas. Salah satu aturan peninggalan beliau ialah melarang warga keturunan Tionghoa untuk memiliki tanah di Jogjakarta, dalam artian tanah sebagai hak milik. Warga keturunan hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan. Aturan ini sampai sekarang masih berlaku di DIY, dan ini salah satu keistimewaan DIY.

Aturan itu lahir karena ada sejarahnya. Yakni pada saat tahun 1948, atau tahun-tahun saat mempertahankan kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa lebih memilih membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ketimbang ikut berjuang bersama elemen bangsa lainnya untuk mengusir Belanda. Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, yakni Desember 1948. Saat itu komunitas Tionghoa yang ada di Jogja justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia 350 tahun.

Sejak itulah Kanjeng Sultan Hamengkubuono IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Tionghoa akan eksodus dari Yogyakarta. Namun Kanjeng Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan ke mereka bahwa meskipun mereka telah berkhianat kepada Negeri ini tetapi tetap akan diakui sebagai tetangga. “Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak anda, yaitu hak untuk memiliki tanah”.

Itulah kenapa hingga sekarang ini pengusaha Tionghoa tidak punya hak milik atas tanah di berbagai pusat bisnis di kota Jogja. Mereka hanya bisa punya hak guna atau hak pakai sampai jumlah tahun tertentu. Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan wali kota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi. Surat ini masih berlaku.

Surat instruksi tersebut mengizinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, lalu dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.(haris/gin)

Comment