Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si | Peneliti Institut Muslimah Negarawan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, Prabowo Subianto bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, telah meresmikan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang mencakup empat program strategis.
Keempat program tersebut fokus pada infrastruktur, digitalisasi, insentif guru, dan bantuan pendidikan demi percepatan kemajuan bangsa.
Kebijakan Populis Oportunis
Sayangnya, banyak pihak yang menyangsikan program ini akan berhasil karena beberapa alasan.
Pertama, dana yang dibutuhkan sangat besar sedangkan, telah diketahui bersama bahwa – APBN kita mengalami defisit. Misalnya, terkait dengan infrastruktur, pemerintah akan menganggarkan Rp17 triliun untuk memperbaiki bangunan sekolah. Anggaran tersebut rencananya hanya cukup untuk merenovasi 11.000 sekolah pada 2025. Padahal, jumlah sekolah yang rusak dan harus diperbaiki mencapai sekitar 300.000 sekolah di seluruh Indonesia.
Begitu pula dengan kebijakan terkait insentif guru. Pemerintah akan memberikan uang tunai sebesar Rp300.000 per bulan kepada 13.500 guru honorer di Indonesia dan Rp3 juta per semester kepada guru yang belum mendapatkan jenjang D4 atau S1 dan ingin melanjutkan pendidikan.
Padahal, menurut data dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), jumlah guru honorer mencapai kurang lebih 2 juta orang.
Kedua, melihat dari pengalaman sebelumnya, program serupa pun kerap mangkrak. Sebut saja program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menelan dana superjumbo dan kini implementasinya penuh dengan persoalan. Sehingga, bukan tidak mungkin PHTC berakhir sama dengan program-program sebelumnya.
Ketiga, yang lebih kentara dari program ini adalah kebijakan populis oportunis, yaitu kebijakan yang seolah-olah ditujukan untuk rakyat namun tidak lebih dari sebuah pencitraan. Begitu pun dengan keuntungan yang hanya bersifat jangka pendek. Kebijakan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang, seperti semakin terkurasnya anggaran untuk kebijakan-kebijakan populis yang tidak menyelesaikan akar persoalan.
Akar Persoalan
Potret buram persoalan pendidikan di tanah air seharusnya bisa dilihat dari akar permasalahannya, yakni tata kelola negara yang kapitalistik. Kapitalisme menjadikan negara terus mengalami defisit sehingga tidak memiliki kekuatan untuk membangun bangsa. Negara mengandalkan swasta dalam penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Alhasil, pendidikan berkualitas tidak dapat dirasakan oleh seluruh warga.
Kapitalisme menyebabkan negara tidak bisa fokus terhadap urusan umat, termasuk pendidikan. Buktinya, negara lebih memilih membangun infrastruktur untuk kepentingan ekonomi pemilik modal ketimbang membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat seperti sekolah.
Bayangkan, berpuluh-puluh tahun kondisi bangunan sekolah yang tidak layak pakai masih banyak di negeriini, terutama di daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan).
Setiap rezim berganti, kebijakan yang ditetapkan tidak mampu menyelesaikan persoalan karena tata kelola yang kapitalistik masih terus dipertahankan. Padahal, pendidikan adalah hal krusial dalam membangun masa depan bangsa. Sayangnya, para penguasa malah semakin asyik mengutak-atik kebijakan yang menguntungkan para elite.
Sistem Ekonomi dan Pendidikan Islam
Islam mampu menjawab akar persoalan pendidikan negeri ini dengan sistem ekonomi dan sistem pendidikan Islam. Sistem ekonomi Islam yang kuat menjadikan APBN atau Baitul Maal selalu melimpah sehingga mampu membiayai seluruh roda pemerintahannya.
Salah satu yang menjadikan Baitul Maal kuat adalah regulasi kepemilikannya.
Jika negara kapitalis membebaskan kepemilikan sehingga hampir seluruh sumber daya alam (SDA) dikuasai asing, maka pemasukan negara hanya bertumpu pada pajak dan utang.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang mengharamkan SDA dikuasai swasta, apalagi asing. Dengan demikian, kas negara akan melimpah hanya dari hasil pengelolaan SDA. Ini menjadi jaminan bahwa seluruh kebutuhan umat akan terpenuhi, termasuk pendidikan.
Bukan hanya bangunan sekolah yang prima dan merata di seluruh pelosok negeri, insentif bagi guru pun begitu besar karena profesi guru adalah profesi mulia yang layak diberikan insentif tinggi.
Dalam buku Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab karya Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi disebutkan bahwa guru pada masa itu menerima gaji sekitar 15 dinar per bulan, yang jika dikonversikan ke nilai saat ini, setara dengan sekitar Rp33 juta rupiah.
Begitu pula sistem pendidikan dalam Islam yang diurus langsung oleh negara, sehingga pendidikan merata dan dapat diakses oleh semua rakyat. Baik mereka yang berada di perkotaan maupun di pedesaan – yang kaya ataupun miskin, semua mendapatkan haknya dalam pendidikan.
Khatimah
Oleh karena itu, kebijakan tunjangan guru honorer dan kebijakan serupa lainnya tidak akan mampu menyelesaikan persoalan pendidikan di negeri ini. Sebab, akar persoalannya adalah kapitalisme yang menyebabkan negara abai terhadap urusan rakyat. Negara pun selalu mengalami defisit karena seluruh kekayaan, yang sejatinya milik umat, malah dikuasai oleh swasta.
Maka satu satunya solusi adalah mencari pengganti kapitalisme yang telah terbukti gagal dan mengimplementasikan sistem ekonomi dan pendidikan Islam.[]
Comment