Twin Cities: Sinyal IKN Mangkrak?

Opini104 Views

 

 

Penulis: Ria Nurvika Ginting, S.H, M.H | Dosen FH-UMA

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Megaproyek IKN diprediksi ke depan tidak akan semeriah dua tahun belakangan jika tidak ingin disebut mangkrak. Hal ini disebabkan anjloknya anggaran pembangunan IKN menjadi Rp143,1 miliar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025.

Penurunan anggaran drastis dari Rp42,5 triliun menjadi Rp143,1 milyar dalam APBN 2024 ini seperti ditulis tempo.com (27/8/24)  menunjukkan pemerintah berikutnya akan terseok untuk melanjutkan salah satu ambisi Joko Widodo ini.

Selain itu, untuk beberapa tahun ke depan sudah dipastikan Jakarta masih tetap menjadi ibu kota karena pembangunan IKN harus terus berjalan. Dari segi infrastruktur dan sistem pemerintahan belum memadai sehingga kegiatan administrasinya tetap berjalan di Jakarta.

Dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar kelayakan IKN menjadi ibu kota bisa optimal. Dengan kondisi demikian, Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) mengusulkan konsep Twin Cities dengan konsep membuat dua kota menjadi ibu kota secara bersamaan.

Munculnya konsep Twin Cities ini menimbulkan perkiraan dari para netizen bahwa pembangunan IKN mangkrak. Bahkan tidak sedikit yang kontra terhadap konsep ini – mengingat biaya pembangunan IKN sangat besar sehingga pemerintah harus menyediakan anggaran lagi jika Jakarta ikut andil menjadi sebuah ibu kota.

Mantan kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Bambang Susanto yang saat ini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Kerja Sama Internasional Pembangunan IKN seperti ditulis inilah.com (11/10/24) menyampaikan bahwa mau tidak mau, suka atau tidak suka, Jakarta masih akan tetap menjadi ibu kota dalam beberapa tahun mendatang.

Mangkraknya pembangunan IKN juga disampaikan oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Ia menyebutkan pertanda proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) akan mangkrak sudah dilihat oleh Presiden Jokowi karena setelah lengsernya Jokowi pembangunan IKN masih sangat jauh dari kelayakan sebuah kota apalagi menjadi ibu kota.

Sehingga wajar Jokowi belum menerbitkan (Keppres) tentang pemindahan ibu kota dari Jakarta ke ‘Nusantara’ yang menjadi persyaratan pemindahan ibu kota.

Proyek IKN harusnya tetap dilanjutkan mengingat IKN sudah masuk sebagai produk undang-undang sehingga tidak mungkin tidak dilanjutkan. Hal ini disampaikan oleh Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensat) sebagaimana ditulis rmol.id (28/9/24).

Di laman yang sama, dia berharap proyek ini diselesaikan. Walaupun tidak menjadi ibu kota tetapi menjadi sekedar destinasi wisata juga tidak apa-apa, asal jadi. Karena proyek ini sudah memakan anggaran yang cukup besar. Jika mangkrak maka kita rugi.

Kembali lagi pembahasan pembangunan yang dilakukan saat ini ujung-ujungnya untung rugi (bisnis) bukan memikirkan apa manfaat yang akan didapat oleh rakyat luas. Sungguh di balik megahnya pembangunan IKN hanya ada kepongahan dan ambisi besar bukan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Megahnya IKN dan Nafsu Politik

Proyek IKN masuk dalam kategori PSN (Proyek Strategis Nasional) namun jauh dari tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Dari awal pembangunan sudah banyak menimbulkan sengketa terutama sengketa lahan.

Selain itu banyak terjadi kerusakan lahan akibat lokasi pembangunan yang dipaksakan. Belum lagi anggaran yang dibutuhkan sangat besar sehingga kembali lagi untuk membangun butuh dana dan dana ini hanya bisa didapat dari “mengundang” para investor.

Undangan yang diberikan oleh pemerintah kepada investor tidak tanggung-tanggung hingga memberikan jangka waktu yang sangat panjang untuk para investor dapat menguasai lahan di IKN.

Ambisi besar rezim sebelumnya pun tampak jelas dalam pembangunan IKN. Pembangunan IKN terlihat dipaksakan seakan-akan hanya untuk memuaskan nafsu politik yang menggebu-gebu. Sebelum lengser ingin menunjukkan betapa hebat dan glamornya ia setelah berhasil menjadi eksekutor pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser, Kalimantan.

Hal ini terlihat dari tidak adanya rasa empati pada rakyat ketika tetap kekeh pada pelaksanaan HUT RI yang lalu. Di saat kondisi ekonomi rakyat semakin terjepit, hanya untuk sebuah perayaan dihabiskan begitu banyak dana yang seharusnya bisa digunakan untuk meringankan kondisi rakyat saat ini.

Inilah gaya kapitalis-sekuler yang berdiri atas dasar pemisahan agama dari kehidupan yang menjadikan standard kehidupan berorientasi keuntungan materi. Wajar bila ada yang berharap pembangunan IKN tetap berjalan walaupun hanya menjadi sebuah destinasi wisata. Asal tidak rugi.

Selain itu, demokrasi yang lahir dari sistem kapitalis-sekuler memberikan kebebasan sehingga siapa saja dapat memiliki apapun asal punya modal. Dari sini dipastikan pembangunan IKN yang menggunakan dana para investor sejatinya bukan milik rakyat Indonesia tapi milik investor swasta atau pun asing. Hal ini dikarenakan sistem kapitalis-sekuler memposisikan negara hanya sebagai regulator bukan mengurusi rakyat secara menyeluruh.

Selain itu, demokrasi liberal meletakkan kewenangan pembuatan UU ada di tangan manusia sehingga UU dapat ditawar sesuai dengan kepentingan para pengusaha yang telah mengeluarkan modal.

Sesungguhnya, Indonesia yang merupakan negara kaya ini memiliki kesempatan menjadi negara adidaya namun dengan diterapkannya sistem kapitalis-sekuler,  kesempatan itu hilang. Potensi yang dimiliki dijajah dengan imprelialisme gaya baru yang disebut dengan “Investasi”.

Pandangan Islam

Islam merupakan sistem yang sempurna dan berdiri atas dasar aqidah Islam dengan seperangkat aturan-aturan yang berasal dari Sang Khaliq. Aturan ini mengatur seluruh lini kehidupan manusia.

Manusia tidak diberikan wewenang untuk membuat aturan sendiri. Islam telah mengatur secara terperinci mengenai investasi. Islam mengharamkan investasi yang dapat membuat sebuah perusahaan memungkinkan menguasai kekayaan alam atau harta milik umum.

Selain itu, Islam juga mengatur kepemilikan atas tanah. Dalam Islam, seseorang boleh memiliki tanah ketika ia membelinya atau mendapatkan hibah, warisan dan hadiah. Negara dalam konsep Islam dapat membagikannya bahkan masyarakat yang mampu mennghidupkan tanah mati dapat memiliki tanah tersebut.

Ketika negara dalam konsep Islam ingin membangun sebuah kota maka negara membangunnya dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat. Negara meyediakan fasilitas yang dibutuhkan rakyat sebagai tanggung jawab negara. Membangun kota bukan dalam kaitan bisnis atau pun keuntungan semata.

Hal ini dikarenakan negara memiliki fungsi sebagai periayah (pengurus) rakyat bukan hanya sekedar regulator. Dalam hal ini Islam memiliki metode yang mudah, murah dan efisien dalam upaya memilih pemimpin yang akan menerapkan satu hukum saja yakni hukum syara’.

Sehingga tidak akan muncul politik balas budi seperti dalam sistem demokrasi liberal yang akan mengembalikan pinjamam kepada sipemberi modal dalam masa pemilihan.

Terakhir, Islam menerapkan sistem ekonomi yang mengatur secara terperinci mengenai pengelolaan kepemilikan. Kepemilikan umum yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, haram untuk dimiliki oleh individu/swasta.

Negara wajib mengelola dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat. Islam tidak akan membiarkan para pemodal menguasai sumber kekayaan alam, kota apalagi negara.

Sejatinya pembangunan di masa pemerintahan baru hanya memihak kepada kesejahteraan dan kepentingan rakyat dengan menerapkan Islam secara menyeluruh dan sempurna.

Jika tidak maka yang ada hanya pembangunan dengan nafsu politik yang berlandasakan sistem kapitalis-sekuler sebagaimana saat ini.[]

Comment