![]() |
Yuni Damayanti |
RADARINDONESIANEWS.OM, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode April 2019 mengalami defisit sebesar Rp 101,104 triliun. Defisit ini lebih besar ketimbang periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 54,9 triliun.
Ani menjelaskan defisit anggaran ini terjadi karena pendapatan Negara stagnan. Pada April 2019 pendapatan Negara mencapai Rp 530,7 triliun atau 24,51 persen dari target APBN 2019. Sementara itu dari realisasi belanja Negara , tercatat mencapai Rp 631,78 triliun atau sudah 25,67 persen dari pagu APBN 2019. Realisasi tersebut sekitar 8,38 persen lebih besar dinandingkan realisasi APBN pada periode yang sama tahun lalu sebesar 582,95 triliun.
Sedangkan defisit APBN per April 2019 mencapai 0,63 persen terhadap PDB. Sementara periode yang sama di tahun 2018, defisit mencapai 0,37 persen. Menkeu pun mengatakan bahwa masih bakal terus mengenjot pendapatan dengan penerimaan pajak (Kompas.com, 16/05/2019).
Neraca perdagangan Indonesia pun belum bisa keluar dari jeratan tekor alias defisit. Parahnya lagi, tekor neraca perdagangan pada April tahun ini menjadi sejarah baru dan terparah sejak Indonesia merdeka. Sebelumnya, tekor paling parah pada Juni 2013.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat neraca dagang Indonesia pada April defisit US$ 2,5 miliar. Angka ini berasal dari ekspor pada April 2019 sebesar US$ 12,6 miliar dan impor sebesar US$15,1 miliar. Ekspor Indonesia pada April 2019 sebesar US$ 12,6 miliar. Angka ini turun sebesar 10,80 persen dibanding Maret 2019, sedangkan secara tahunan turun lebih dalam yaitu 10,30 persen. Sedangkan impor, tercatat sebesar 15,10 miliar atau turun 12,25 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya pun turun 6,58 persen. Dengan menggabungkan ekspor dan impor terjadi defisit USD 2,50 miliar di April kata kepala BPS Suharyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2019) (Detik.com, 6/5/2019).
Selain itu, pemerintah mulai mewaspadai penurunan ekonomi tahun ini. Tanda-tanda penurunannya pun terlihat dari pemasukan negara yang mulai seret. Seperti yang dikatakan Sri Mulyani dalam konpers APBN bahwa sudah melihat tanda-tanda perekonomian mengalami penurunan dengan penerimaaan pajak yang mengalami pelemahan dari sisi pertumbuhannya.
Berdasarkan data APBN kita, Jumat (17/5), pendapatan negara per April ini hanya Rp 530,7 triliun, tumbuh hanya 0,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 528,1 triliun. Jika dilihat lebih jauh, pertumbuhan pendapatan negara pada April 2018 tumbuh hingga 13,3 persen. Bahkan di April 2017, pendapatan negara mampu tumbuh hingga 20,5 persen.
Seretnya pendapatan negara tersebut lantaran pertumbuhan penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) juga anjlok. Hingga akhir April 2019, perpajakan hanya mencapai Rp 530,4 triliun, tumbuh 0,6 persen dari periode yang sama tahun lalu. Padahal di tahun lalu, dengan penerimaan yang hanya Rp 527,1 triliun, perpajakan mampu tumbuh hingga 13,2 persen. Bahkan di April 2017, perpajakan mencapai Rp 465,8 triliun atau tumbuh 20,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Untuk realisasi pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak (nonmigas), hingga akhir bulan lalu mencapai Rp 364,8 triliun atau hanya tumbuh 0,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal di April 2018, pajak nonmigas mampu tumbuh 11,5 persen dan di April 2017 mampu tumbuh hingga 16,9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara untuk pajak migas mencapai Rp 22,2 triliun atau tumbuh 5,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh 0,7 persen. Sri Mulyani mengungkapkan, situasi global yang masih tak menentu juga mengakibatkan penerimaan pajak melambat. Apalagi ekspor dan impor sama-sama mengalami tekanan. Hal tersebut juga dapat terlihat dari komponen kepabeanan dan cukai yang menggambarkan laju ekspor dan impor di Indonesia.
Total Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) hanya sebesar Rp 76,38 triliun, atau tumbuh 1,24 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sementara di April 2019, total PDRI mampu tumbuh hingga 25,08 persen. Secara rinci, realisasi bea masuk per akhir bulan lalu sebesar Rp 11,8 triliun, tumbuh 0,73 persen dibandingkan periode April 2018 yang tumbuh 14,5 persen. Sementara bea keluar mencapai Rp 1,46 triliun atau turun 29,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh hingga 75,3 persen.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor sebesar Rp 56,4 triliun, tumbuh 0,72 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai pertumbuhan hingga 24,8 persen. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) impor bahkan turun 10,48 persen menjadi Rp 1,24 triliun per akhir April 2019. Untuk bea keluar yang mengalami penurunan, Sri Mulyani menyebutkan, hal tersebut karena kegiatan Freeport Indonesia yang beralih melakukan kegiatan produksi di tambang bawah. Ia pun mengatakan bahwa harus mulai meningkatkan kewaspadaan, karena situasi ini mirip dengan 2014-2015, di mana ekspor maupun impor menurun (Kumparan.com, 16/05/2019).
Carut-marut perekonomian Indonesia tidak lain karena penerapan sistem kapitalis neoliberal, yang mana sudah jelas menjerumuskan Indonesia yang kaya raya diambang kebangkrutan. Indonesia negeri yang dikenal dengan sumber daya alam yang melimpah, bahkan emas kualitas terbaik di dunia pun ada di Indonesia. Namun, sangat disayangkan sekarang kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Belum lagi hutang luar negeri yang sudah mencapai US$ 387,6 miliar atau sebesar Rp 5.542,6 triliun (kurs Rp 14.300) angka ini tumbuh 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Ibarat bangunan, pondasi kapitalisme sangat rapuh yaitu sekulerisme. Adapun tiang penyangga bangunan kapitalisme juga sangat rapuh, yakni: Pertama, ekonomi berbasis investasi asing. Kedua, ekonomi berbasis utang dan menjadikan utang luar negeri sebagai tumpuan dalam pembiayaan pembangunan. Ketiga, ekonomi berbasis uang kertas (fiat money). Keempat, ekonomi berbasis sektor moneter/ keuangan non real. Kelima, privatisasi pengelolaan sumber daya alam yang merupakan barang milik dan kebutuhan publik.
Penerapan prinsip-prinsip tersebut mengakibatkan kerusakan dan kesengsaraan bagi umat manusia dalam bentuk kerusakan alam, kemiskinan serta kesenjangan ekonomi yang sangat lebar baik di antara individu di suatu negara maupun kesenjangan ekonomi antar negara. Gejala utama kegagalan sistemik ekonomi kapitalis yaitu semakin lesunya pertumbuhan ekonomi. Inilah yang sedang dialami Indonesia. Untuk mengatasi masalah keuangan maka tidak lain harus keluar dari pakem kapitalisme dan menggunakan kerangka berfikir Islam.
Sungguh sistem ekonomi Islamlah satu-satunya solusi ampuh untuk mengatasi krisis ekonomi. Karena sistem ekonomi Islam benar-benar telah mencegah semua faktor yang menyebabkan krisis keuangan dengan melarang riba secara tegas dan penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya. Karena itu, haram menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil.
Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan. Dalam Islam tidak mengenal dualisme ekonomi, yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor riil dan sektor keuangan, dimana aktifitasnya didomnasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil. Dengan demikian semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar.
Mengakhiri dominasi dolar dengan sitem moneter berbasis dirham. Karena telah terbukti memiliki keunggulan yaitu: Pertama, dinar-dirham merupakan alat tukar yang adil bagi semua pihak, terukur dan stabil. Dalam perjalanan sejarah penerapanya, dinar-dirham sudah terbukti sebagai mata uang yang nilainya stabil karena didukung oleh nilai intrinsiknya. Kedua, tiap mata uang emas yang dipergunakan di dunia ditentukan dengan standar emas. Ini akan memudahkan arus barang, uang dan orang sehingga hilanglah problem kelangkaan mata uang kuat dan dominasinya. Selama ini mata uang dolar sering dijadikan alat Amerika Serikat untuk mempermainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Wallahu a’lam bisshowab.[]
*Pemerhati sosial
Comment