A Al Katiri: Upaya Penangguhan Penahanan Ahok Tetap Tertahan

Berita493 Views
Pengadilan penist agama.[Dok/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Putusan Majelis Hakim yang memerintahkan Ahok untuk ditahan adalah semata-mata ditujukan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun upaya penangguhan penahanan untuk Ahok, adalah upaya yang sia-sia belaka.

Dikatakan demikian, oleh karena antara putusan pemidanaan dan perintah penahanan adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Keduanya, dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.

Ketika pengadilan menjatuhkan putusan, melekat kewenangan pada Majelis Hakim yang bersifat opsional sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 193 ayat (2) KUHAP. Opsi pertama, Ahok faktanya tidak ditahan, maka Hakim dapat memerintahkan Ahok untuk ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup. Opsi kedua, jika seandainya Ahok ditahan, maka Hakim dalam putusannya dapat memerintahkan tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, tentunya dengan adanya alasan yang cukup pula.

Perintah yang bersifat pilihan ini dipertegas pada Pasal 197 KUHAP. Pada ayat (1) huruf k disebutkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Terhadap tidak dipenuhinya ketentuan tersebut akan berimplikasi berupa putusan “batal demi hukum” (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Jadi, norma hukum pada Pasal 197 bersifat imperatif, konsekuensi yuridis berupa kebatalan putusan bersifat otomatis.

Terhadap putusan yang dinyatakan “batal demi hukum” menurut teori hukum diartikan sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) dan tidak memiliki nilai apapun secara hukum (legally null and void). Dengan sendirinya tidak dapat dilakukan eksekusi.

Perintah pengadilan yang secara serta merta menahan Ahok dalam Rutan harus dimaknai sebagai keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law), sehingga tidak boleh diabaikan. Majelis Hakim telah benar menerapkan norma hukum, bahwa faktanya Ahok sebelumnya belum pernah ditahan. Pada saat putusan pemidanaan dijatuhkan, seketika itu pula perintah penahanan dibacakan dalam amar putusan.

Putusan Mahkamah Agung dalam No.169 K/Pid/1988, menyatakan batal demi hukum putusan Pengadilan Tinggi karena tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

Perintah penahanan secara serta merta (uitvoerbarr bij voorrad, pada hukum pidana), memiliki kekuatan berlaku walaupun ada banding dan kasasi.

Berdasarkan uraian di atas, secara hukum upaya penangguhan penahanan tidak dapat diterima. Penangguhan hanya dapat dilakukan dalam tahap penyidikan sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP).

Seyogyanya, putusan pemidanaan dan perintah penahanan harus diterima sebagai kenyataan hukum yang pasti. Menjadi suatu prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai adanya putusan pengadilan diatasnya yang berwenang membatalkan putusan tersebut.

Majelis Hakim yang memutus perkara Ahok, tentunya mengetahui adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-X/2012 yang dalam amar putusan menyatakan bahwa putusan yang tidak mencantumkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP “tidak batal demi hukum”. Mahkamah juga membatalkan ketentuan huruf k pada Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Namun, pencantuman Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP pada putusan pemidanaan terhadap Ahok, menurut penulis lebih ditujukan kepada penegasan kepentingan Pasal 21 KUHAP, yakni adanya kekhawatiran yang bersangkutan akan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya. Adapun merusak atau menghilangkan barang bukti, kiranya tidaklah relevan.

Perintah penahanan oleh pengadilan yang memutus pemidanaan terhadap Ahok tidaklah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan perintah penahanan terkait dengan menegakkan hukum dan keadilan.

Adapun upaya banding dan mungkin kasasi tidaklah ditujukan kepada perihal penahanan, namun ditujukan kepada putusan pemidanaan.[]

Comment