Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM,JAKARTA — Minyak goreng yang sebelumnya bak hilang ditelan bumi, seketika muncul dengan stok sangat banyak di pasaran. Namun tak berarti persoalan minyak goreng sudah usai. Kali ini justru muncul persoalan baru, di mana masyarakat harus membeli minyak goreng tersebut dengan harga yang tinggi.
Hal itu terjadi pasca pemerintah mengeluarkan kebijakan terbaru yakni harga minyak goreng kemasan dibebaskan dengan harga berdasarkan mekanisme pasar sedangkan untuk minyak goreng curah dibatasi Rp 14.000 per liter.
Selanjutnya harga eceran tertinggi (HET) atas harga minyak goreng kemasan yaitu Rp 14.000 per liter sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 6 Tahun 2022 resmi dicabut oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah tersebut disampaikan oleh Oke Nurwan selaku Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag pada Tribunnews.com (16/3). Dengan demikian, pemerintah memberikan keleluasaan kepada produsen minyak untuk menetapkan harga minyak goreng kemasan dengan harga keekonomian.
Tak hanya itu, pemerintah yang sebelumnya mencabut subsidi minyak goreng kini menetapkan kembali subsidi dengan menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan harapan minyak sawit akan tersedia baik di pasar modern maupun di pasar tradisional.
Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag, harga minyak goreng curah masih tertahan tinggi di angka Rp 16.300 per liter pada Selasa 15/3/2022. Sementara harga minyak goreng kemasan sederhana di angka Rp 16.300 dan kemasan premium di angka Rp 18.300. (Bisnis.com, 16/3/2022)
Setidaknya ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Pertama, munculnya migrasi permintaan. Permintaan minyak goreng akan bergeser dari minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah dengan adanya kebijakan pemberian subsidi. Pada kebijakan sebelumnya yakni penurunan harga minyak goreng, penyaluran minyak goreng kemasan ke ritel modern kini akan beralih ke minyak goreng curah.
Kedua, kenaikan harga baik minyak goreng curah maupun kemasan biasa dan premium akan menambah beban hidup masyarakat seiring dengan naiknya beberapa barang komoditas lainnya. Tak hanya harga minyak goreng yang naik, produk yang memanfaatkan minyak goreng sebagai bahan utama pun akan mengalami kenaikan harga.
Ketiga, pengawasan akan sulit dilakukan sebab minyak goreng curah tidak memiliki barcode dan kode produksi sehingga ada kemungkinan bisa dioplos dengan minyak jelantah. Praktek kecurangan dari produsen minyak curah kemungkinan akan terjadi di ruang ini dan hal tersebut akan sangat merugikan konsumen.
Keempat, penggelontoran subsidi atas minyak goreng curah dari pemerintah tak akan cukup untuk menutupi tingginya kebutuhan masyarakat terhadap minyak goreng curah, khususnya bagi konsumen rumah tangga dan pelaku UMKM. Dengan begitu, stok minyak goreng curah akan habis di pasaran dan terjadilah kembali kelangkaan yang pada akhirnya harga minyak goreng curah pun akan mengalami kenaikan harga.
Kelima, akan ada kemungkinan bermunculan banyak merk-merk baru minyak goreng kemasan. Harga minyak goreng kemasan dengan harga mekanisme pasar dapat memicu tindak penipuan, minyak goreng curah disulap menjadi minyak goreng kemasan karena potensi keuntungannya sangat besar.
Sederet polemik di atas seolah menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan minyak goreng sekaligus gagal dalam menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Fenomena banjirnya stok minyak goreng yang sebelumnya langka dengan dugaan adanya penimbunan menunjukkan tak berdayanya pemerintah di hadapan mafia-mafia yang bermain di tengah kesulitan yang di hadapi rakyat untuk mendapatkan kebutuhan pokok mereka.
Hal tersebut bahkan diakui oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com (17/3). Ia menyampaikan permintaan maafnya karena belum mampu mengatasi para mafia dan spekulan yang mengambil keuntungan dari kelangkaan minyak goreng yang terjadi di negeri ini.
Alih-alih menyidik dan menindak para pelaku penimbunan, pemerintah justru mengulang kembali kesalahan yang sama, berkutat pada pembuatan kebijakan yang lagi-lagi hanya menciptakan masalah baru. Bagaimana tidak, pemerintah dengan kebijakannya yang baru membuat banyak rakyat yang menjerit akibat mahalnya harga minyak goreng.
Sementara kartel-kartel akan bermain di penetapan harga. Dengan orientasi keuntungan, mereka akan menjual minyak goreng dengan harga yang tinggi dan meraup keuntungan yang besar. Nampak nyatalah keberpihakan pemerintah kepada pengusaha-pengusaha minyak goreng lantas bersikap abai terhadap jeritan rakyat.
Demikianlah wajah sistem kapitalisme-demokrasi, pemerintah sekedar berfungsi sebagai regulator, sekedar mengeluarkan kebijakan lalu berlepas tangan dari kewajibannya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat.
Rakyat dibiarkan berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka. Seolah sudah menjalankan tugasnya dengan membuat kebijakan, selanjutnya rakyat sendirilah yang harus berjuang agar mampu membeli minyak goreng sesuai dengan harga yang telah ada.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam sistem pemerintahan Islam, seorang pemimpin adalah raa’in yang berkewajiban untuk mengurusi urusan rakyat termasuk menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat terpenuhi secara merata dan sempurna.
Pemerintahan Islam akan memberikan perhatian besar pada sektor pertanian. Potensi lahan dan SDM akan disatukan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Penguasa kaum muslimin atau khalifah akan menerapkan hukum-hukum Islam pada aspek perdagangan seperti larangan menimbun barang termasuk mencegah penguasaan barang dimonopoli oleh sejumlah pihak sebab hal tersebut akan merugikan masyarakat.
Sanksi yang tegas juga akan diberikan kepada mereka yang melakukan kecurangan, tindak penipuan dan permainan harga yang menyebabkan pasar tidak berjalan sehat. Pengontrolan pasar tersebut akan dilakukan oleh seorang Qadhi Hisbah dibantu sejumlah syurthah (polisi). Mereka akan berkeliling dan mengawasi muamalah yang terjadi di pasar demi mencegah tindak kedzaliman yang mungkin akan dilakukan oleh para pedagang kepada konsumen.
Dalam hal produksi minyak goreng, khalifah akan memberikan bantuan dan dukungan penuh kepada para petani kelapa sawit serta meningkatkan keahlian mereka guna menghasilkan produk terbaik. Semua kegiatan pertanian tersebut akan dibiayai oleh negara melalui kas baitul maal sehingga biaya produksi yang harus ditanggung para petani kecil. Hal ini akan menghasilkan harga minyak goreng murah dan sangat mudah dijangkau masyarakat.
Kelangkaan produk minyak goreng juga kemungkinan kecil terjadi sebab Islam akan menutup kesempatan bagi kelompok kapital untuk menguasai lahan pertanian dan hutan. Hal tersebut karena lahan dan hutan adalah milik umum (rakyat) sehingga haram untuk dikuasai oleh segelintir orang. Lahan dan hutan hanya boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin atau dikelola oleh negara dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.
Dalam Islam juga tidak ada pungutan pajak dan cukai atas produk-produk pangan yang dijual oleh masyarakat sebab hal itu akan menyebabkan mahalnya harga produk dan rakyat akan kesulitan untuk membelinya.
Fenomena kelangkaan pangan mungkin saja akan terjadi akibat gagal panen atau cuaca ekstrim misalnya. Namun hal itu akan mampu diatasi dengan strategi persiapan stok pangan.
Di saat petani menghadapi masa panen raya di mana hasil panen berlimpah, khalifah akan membeli hasil panen petani tersebut menggunakan kas baitul maal lalu akan disimpan sebagai persediaan pangan untuk mengimbangi kekurangan stok pangan yang mungkin akan terjadi di masa paceklik. Dengan begitu, stok tetap stabil dan kenaikan harga yang disebabkan kelangkaan tidak akan terjadi.
Demikianlah pemerintahan Islam berlaku sebagai eksekutor dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Mengambil peran penuh tanpa menyerahkan kepada pihak lain baik produksi maupun distribusi. Pemerintahan Islam juga tidak memandang rakyat sebagai konsumen, namun rakyat wajib untuk dipenuhi segala kebutuhannya secara adil dan merata.
Pelayanan negara dalam Islam berhak untuk dirasakan oleh seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim, baik miskin ataupun kaya.
Konsep keadilan Islam tersebut membuatnya mampu bertahan selama 13 abad memimpin 2/3 wilayah dunia dan menyebarkan rahmat bagi seluruh makhluk yang bernaung di dalamnya.[]
Comment