Beberapa Tokoh Menilai Ahok Arogan dan Kutu Loncat Sejati

Berita442 Views
Muchtar Effendi Harahap, Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian Studies (NSEAS).[Affu]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –  Ahok tak layak menjadi Gubernur DKI Jakarta. Salah satu alasan, di mata tokoh nasional sebagai Gubernur yang kerap berkata kasar, arogan, busuk dan lainnya. Kata kasar dari mulut Ahok, antara lain: bajingan, bego, dan brengsek, tai’, Panggil Nenek Gua Dong, sudah miskin, belagu, dan lainnya.

1. Dimata Tantowi Yahya, anggota DPR-RI: Ahok melanggar etika sopan santun warga Indonesia yang ketimuran dan dikenal beretika. “Jangan salahkan anak-anak kita ngomong ke orang tua ‘lu bajingan’, ‘dasar maling lu’, “ ujar Tantowi.

2. Dimata Yesaya Pariadji, Pendeta: Yesaya adalah seorang Pendeta Ternama di Indonesia, Pemimpin sidang jemaat keagamaan Gereja Tiberias. Ia menilai, Ahok sebagai “sosok pemimpin busuk”. Ahok adalah orang yang jauh dari kasih Tuhan Yesus. Ucapannya mencerminkan perangai kebusukan dibalik orang banyak. Ia bersembunyi dibalik pembelaan kata kata membela hak-hak rakyat, namun mengumbar kata kata busuk tidak pantas didengar oleh anak anak Tuhan.

Ditekankan. semestinya Ahok tidak perlu menunjukkan ketegasan dengan sikap dan perkataan keras dan kasar. Yesaya pun memberikan contoh pemimpin seperti Ali Sadikin dan Sutioso. Jika ingin menjadi pemimpin tegas tidak harus berkata kata seperti itu, contoh saja dua Gubernur terdahulu Ali Sadikin dan Sutioso. Berkat jasa kedua pemimpin tersebutlah Jakarta jadi lebih baik, kawasan penghijauan Jakarta pun terealisasikan, sarana masal transportasi busway pun dicanangkan, kepercayaan investor asing pun bergeliat, bahkan pembatasan bajaj pun terlaksanakan,” lanjutnya.

Yesaya pun mengapresiasi dua sosok tersebut sebagai pemimpin teladan di Jakarta. Ali Sadikin dan Sutiyoso, mereka adalah pemimpin yang tegas, cakap dan tidak korup namun mereka tidak pernah mengumbar kata kata binatang,” sambung Yesaya.

3. Dimata Seto Mulyadi, Psikolog: Perilaku Ahok kerap berbicara kasar di depan publik dinilai tidak sesuai dengan norma-norma budaya Indonesia. Budaya Indonesia mengajarkan sopan-santun dan kerendahan hati dalam menghadapi dan menyampaikan suatu permasalahan, apalagi di depan khalayak ramai. Aktivis pemerhati anak, Seto Mulyadi menilai gaya bicara Ahok cenderung kasar dan ceplas-ceplos dinilai tidak bisa dijadikan contoh baik, terutama bagi anak anak.

4. Dimata Amien Rais, Mantan Ketua MPR: Ahok sangat arogan, senang menantang berbagai pihak, bahkan terkesan meremehkan lembaga negara, termasuk BPK terkait kasus RSSW. Ahok tidak layak menjadi seorang pemimpin lantaran sikapnya kerap “nyeleneh” dan memicu timbulnya kontoversial. Jangankan Presiden, Gubernur saja bagi Amien kurang pantas. Ahok adalah satu-satunya pemimpin merasa paling benar dan ingin memborong kebenaran menurut kacamatanya sendiri.

Menurut Amien, Ahok adalah sosok manusia yang memiliki sifat beringas dan bengis. Sebagai pemimpin Ahok tidak pro terhadap rakyat kecil. Ahok harus dilawan karena sudah kelewatan menjalankan tugasnya. Selain itu, Ahok juga antek pemodal.

5. Di mata Wenny Warouw, anggota Komisi III DPR: Pernyataan Ahok menyebut audit investigasi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) “ngaco” menunjukkan dirinya tak punya etika.

6. Di mata Emrus Sihombing, Pakar komunikasi politik: Pada Rapat Panitia Angket DPRD DKI, mengaku bila gaya Ahok itu luar biasa, sehingga masyarakat Ibukota menganggap Ahok merupakan pemimpin transparan. Namun, bagi Emrus, hal tersebut tak cukup, apabila tidak memiliki etika. Jangankan jadi Gubernur, menjadi suami di rumah saja tak pantas.

7. Ahok di mata Rizal Ramli, Mantan Menko Maritim: Rizal mendapat laporan Ahok bohong, menggelar inspeksi mendadak ke Pelelangan Ikan Muara Angke, di Jakarta Utara. Rizal sekaligus menggelar dialog dengan kaum nelayan. Ia didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Selama ini, salah satu alasan Ahok mempertahankan reklamasi bermasalah adalah proyek tidak akan merugikan nelayan. Terang-terangan Ahok menegaskan, di pantai utara Jakarta sudah tidak ada lagi ikan tangkap yang berarti tidak ada lagi nelayan.

Rizal mengklarifikasi langsung kepada kaum nelayan. Dihadapan ratusan nelayanan hadir, Rizal bertanya apakah benar di Pantai Utara Jakarta sudah tidak ada lagi ikan untuk ditangkap. “Saya mau klarifikasi dulu, ada yang mengatakan nelayan sekitar Jakarta sudah tidak ada. Betul enggak? Saya ingin penjelasan dan klarifikasi,” lontar Rizal.

Para nelayan kompak menjawab bahwa yang disampaikan Ahok adalah bohong. Perwakilan nelayan mengatakan, nelayan Pantai Utara Jakarta masih sangat aktif. Totalnya sekitar 28 ribu nelayan bila termasuk di Kepulauan Seribu. Satu keluarga nelayan rata-rata memiliki empat anggota keluarga. “Semua itu bohong Pak. Kami masih eksis. Ikannya juga masih ada. Ahok bohong,” ujar salah seorang perwakilan.

Mendengar itu, Rizal mengaku ada ketidakberesan dalam proses reklamasi di teluk Jakarta mulai dari izin hingga AMDAL. Kejanggalan itu dipertahankan selama bertahun-tahun.

8. Di mata Hariman Siregar, Mantan Ketua Dewan Mahasiswa UI: Ahok kutu loncat sejati. Prestasi Ahok hanya mengumpulkan KTP untuk mendukung ambisinya. Kalangan aktivis masyarakat atau aktivis parpol, sebenarnya banyak yang gerah dengan langkah politik Ahok selama ini. Ahok dikenal sebagai kutu loncat sejati. Dia tidak peduli dengan misalnya jasa Partai Gerindra yang susah payah mencalonkannya sebagai Wakil Gubernur DKI.

Ahok menjadi anggota Partai PIB pimpinan Dr. Syahrir untuk menjadi Bupati Kabupaten Belitung. Baru setahun keluarga dari PIB ingin menjadi Calon Gubernur Provinsi Bangka Belitung. Karena gagal menjadi Calon Gubernur, dia meminta kepada PDIP untuk mendukung dirinya menjadi Calon Gubernur Sumatera Utara. Namun, PDIP menolak. Lalu dia pindah ke Partai Golkar untuk pencalonan anggota DPR-RI pada Pemilu 2009.

Masih menjadi anggota DPR-RI, Ahok mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI dan keluarga dari Golkar masuk ke Partai Gerindra. Setelah berhasil, Ahok keluarga dari Partai Gerindra. Inilah bukti Ahok menggunakan Parpol hanya untuk motif kekuasaan pribadi atau mencari jabatan.

Kesimpulan: Penilaian beberapa tokoh nasional ini bisa menjadi acuan bagi pendukung buta Ahok untuk membandingkan persepsi dan sikap positif mereka tentang Ahok. Ada baiknya pendukung buta Ahok juga mengajukan penilaian positif tokoh nasional sebagai pembanding tulisan ini, kalau ada. Tentu tingkat ketokohan setidak-tidaknya selevel anggota DPR di dalam tulisan ini.[affu]

Comment