Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya (3)

Novel200 Views

 

Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel

Karya Athfah Dewi

Bab 3. Meski Masih Terus Melangkah

__________

 

Sontak kami melirik ke asal suara.

Tampak Dhimas sedang berdiri di ambang pintu. Lalu, laki-laki berwajah bulat itu mendekat. “Aku mau menikahi Indhira, Oom. Jadi, Dhira gak perlu ke mana-mana.”

“Kamu tahu apa yang barusan kamu ucapkan itu?” tanya Papa sambil menatap Dhimas dengan tajam.

“Aku tahu, Oom.” Dhimas mengangguk pasti.

“Orang tua kamu, setuju?”

Dhimas tidak langsung menjawab. Dia terdiam beberapa saat. Sepertinya, ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

“Oom tahu. Sudah, Indhira untuk sekarang biar diantar ke kampung saja,” ucap Papa.

“Aku janji, gak butuh waktu lama, ayah akan merestui kami, Oom.” Dhimas menatap Papa.

“Oom tahu ayah kamu, Dhimas. Sudahlah …. Oom juga tahu, maksud kamu baik, ingin membantu kami. Tapi, itu bukan jalan yang bagus. Oom gak mau, hubungan oom sama keluarga kamu rusak hanya karena masalah ini.”

“Lagipula, aku juga gak mau,” ucapku yang baru saja bisa menenangkan diri karena mendengar ucapan Dhimas tadi.

“Tapi, Ra ….”

“Kamu gak perlu berkorban sampe sebegitunya, Dhim. Kamu punya cita-cita yang masih harus diperjuangkan. Aku gak mungkin merusak itu,” ucapku.

“Ra, aku bisa menjadi suami kamu sambil mengejar cita-cita.” Dhimas menatapku dengan sorot mata meyakinkan.

“Bagaimana caranya? Nikah itu ribet. Lagian, kita gak saling cinta. Rumah tangga macam apa yang bakal kita jalani nanti? Aku gak mau.”

“Tapi, bagaimana dengan hidup kamu? Kuliah kamu juga, Dhira?”

“Itu udah gak penting. Tokh, hidupku sudah hancur sejak mama aku meninggal. Gak ada lagi yang benar-benar tulus sayang sama aku,” ucapku. Sekilas, kulirik Papa yang sedang menunduk.

“Sudah siang. Kamu berangkat sekarang.” Papa mengangkat wajahnya.

“Aku gak mau ke rumah keluarga dia!” Kutunjuk wajah ibu tiriku yang sejak tadi hanya terdiam.

“Ra, kamu gak apa-apa ke sana aja. Nanti, aku akan sering jengukin kamu,” sela Dhimas.

“Tapi, Dhim ….”

“Kalau kamu gak mau nikah sama aku. Setidaknya, kamu gak terlunta-lunta.”

Aku menatap Dhimas. Dia terlihat begitu cemas. Aku juga baru sadar, kalau wajahnya pun tampak agak pucat.

“Izinkan saya ikut nganterin Indhira, Oom.” Dia melirik Papa.

Papa menjawabnya dengan anggukkan.

Dhimas meraih tanganku. Lalu, menariknya keluar rumah. “Hayu, Ra.”

Sepertinya, aku harus menurut, untuk diungsikan ke rumah Mbah Uti. Meski tidak tahu, kehidupan macam apa yang akan aku jalani di sana.

Aku duduk di belakang sopir dan Dhimas di sampingku.

“Aku ikut ….” Tiba-tiba Arini yang baru sampai, berteriak.

“Gak usah, Arini …,” ucap mamanya.

“Aku harus ikut, Ma. Kalau Kak Dhimas ikut, aku juga harus ikut,” rengeknya.

“Kamu apa-apaan?” Ibu tiriku itu menarik lengan anak kesayangannya.

“Aku gak mau mereka pergi hanya berdua saja. Selama ini mereka selalu berdua. Kakak mau pergi juga, masih harus berdua sama Kak Dhimas? Aku gak rela ….” Arina menggerak-gerakkan kakinya persis anak kecil yang dilarang membeli permen.

“Kak Dhimas … aku ikuut …,” rengek Arini lagi.

“Jalan, Pak!” ucapku kepada sopir. Karena sudah merasa muak dengan orang-orang di rumah itu.

Papa yang sudah tidak peduli, ibu tiri yang so’ baik dan adik tiri yang lebay. Memuakkan!

Tanpa mengucapkan kata perpisahan, aku tinggalkan rumah penuh kenangan itu. Rumah yang dulu selalu nyaman untukku pulang. Rumah yang dulu, dipenuhi cinta di setiap sudutnya.

Aku menyandarkan punggung, lalu menatap keluar jendela mobil. Tampak di luar mulai mendung. Orang-orang bergegas memacu kendaraannya untuk segera sampai di tujuan. Mungkin, karena takut kehujanan. Terutama pengendara sepeda motor.

Setidaknya, mereka mempunyai tujuan. Sebuah tempat yang harusnya lebih nyaman dibanding jalanan ini. Sedangkan aku? Hidupku sekarang tanpa tujuan. Meski aku masih terus melangkah, tetapi tidak tahu sedang memperjuangkan apa?

“Ra, kamu tenang. Aku akan selalu ada buat kamu. Kamu gak sendiri,” ucap Dhimas membuyarkan lamunanku.

“Kamu gak perlu ngelakuin lebih lagi, Dhim. Cukup hidupku yang hancur. Kamu jangan,” jawabku tanpa meliriknya.

“Nemenin kamu, gak menghancurkan hidup aku, Ra. Aku justru akan bahagia.”

Aku tidak menjawab lagi. Pikiranku rasanya benar-benar kosong. Hampa.

Aku bahkan tidak tahu, sekarang sedang menuju kemana. Ibu tiriku itu berasal dari daerah Jawa Tengah. Hanya saja, tepatnya aku tidak tahu. Karena, selama ini aku tidak pernah tertarik mengetahui apapun tentang perempuan itu.

“Neng, mau istirahat dulu?” tanya Pak Abas, sopir Papa yang sedang mengantar kami sekarang.

“Iya, Pak. Aku pengen ke toilet.” Dhimas yang menjawab.

“Baik, Mas,” jawab Pak Abas sambil memutar kemudi masuk rest area.

Sambil menunggu Dhimas, aku duduk dan minum es kopi. Sedangkan Pak Abas tidak tahu kemana.

“Ra, coba pertimbangkan lagi tawaranku,” ucap Dhimas beberapa saat kemudian. Dia duduk di depanku.

“Tawaran apa?”

“Nikah sama aku ….”

“Jangan bahas itu lagi.”

“Ra, aku gak tega ngelihat kamu kaya gini.”

Aku tidak menjawab.

“Kamu pikirkan, ya, tawaranku? Kapanpun kamu siap, aku akan nikahin kamu.”

Aku bangkit, lalu membuang botol yang isinya sudah tandas. “Pak Abas kemana?” gumamku.

“Kamu gak makan dulu, Ra?” tanya Dhimas.

“Enggak. Kamu kalau mau makan, makan aja,” jawabku sambil berlalu meninggalkan Dhimas.

Aku menghubungi Pak Abas, memintanya segera bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.

Ternyata, Dhimas pun menyusul. Sehingga, kami langsung berangkat.

Sekitar empat jam perjalanan, kami pun tiba di sebuah desa. Desa dengan udara yang cukup dingin. Menyegarkan.

Namun, apakah hidupku di sini akan semenyegarkan udaranya? Aku yakin, tidak.

Pak Abas mambawa kami ke sebuah rumah. Rumah sederhana yang terletak di pinggir kampung. Sebelah kanan dan belakangnya pesawahan dan sebelah kiri ada rumah tetangga.

Pak Abas pasti sering ke sini. Mengantar ibu tiriku menemui keluarganya. Sehingga dia hapal sekali wilayah ini.

Kami turun dari mobil.

Dengan degup jantung yang terasa semakin cepat, aku menatap ke pintu rumah itu yang tertutup. Orang seperti apa yang akan menyambutku? Kehidupan macam apa yang akan jalani di sini?

“Hayu, Neng,” ajak Pak Abas sambil membawa koperku.

Aku melangkah perlahan, dituntun Dhimas sambil mengedarkan pandangan.

“Eh … sudah sampai? Yuk, masuk!” sapa seseorang.

Aku mengarahkan pandangan kepada orang tersebut. Seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi berdiri sambil tersenyum.

“Indhira? Ayok, masuk, Sayang. Kamu pasti capek sekali,” ucapnya.

Aku mengerutkan dahi. Siapa dia? Kenapa sambutannya begitu ramah dan hangat? Bukankah keluarga ibu tiriku ini seharusnya membenciku?

Atau, apa karena ada Dhimas dan Pak Abas, sehingga dia berpura-pura ramah? Ya, bisa jadi seperti itu.

“Assalamu’alaikum, Mbah. Sehat?” Pak Abas menyalami perempuan itu dengan sopan.

“Wa’alaikumussala. Alhamdulillah, sehat. Kamu bagaimana kabarnya?” Perempuan yang dipanggil Mbah itu pun balik bertanya.

“Alhamdulillah, baik, Mbah. Saya disuruh bapak dan ibu nganterin Neng Indhira ke sini.”

“Iya. Mereka sudah mengabari saya,” jawab si Mbah. “Hayu, kalian masuk.”

Perlahan, aku melangkah masuk rumah yang berubin warna merah itu. Di dalam, tampak sepi dan hawa dingin terasa semakin menusuk tulang.

“Duduk,” ucap perempuan yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan itu.

Kami pun duduk, sedangkan Mbah Uti masuk ke ruang tengah.

“Bapak sering ke sini?” tanya Dhimas setengah berbisik.

“Lumayan, Mas,” jawab Pak Abas.

“Di sini ada siapa aja?”

“Ada Mbah Uti sendiri.”

“Dia orangnya kaya gimana?” tanya Dhimas lagi.

“Maksudnya?” Pak Abas mengerutkan dahi.

“Itu ….”

“Ayok, diminum dulu. Kalian pasti haus habis perjalanan jauh.” Tiba-tiba Mbah Uti datang dan Dhimas urung bertanya.

“Indhira, kamu kalau mau bersih-bersih di kamar mandi belakang. Dan kamar kamu yang sebelah lemari di dalam.” Mbah Uti menunjuk ke ruang tengah. Meski aku tidak bisa melihat kamar mana yang dia tunjuk. “Sebentar lagi azan Magrib, kita shalat berjamaah,” lanjutnya sambil menyimpan gelas di atas meja.

Mendengar hal itu, aku hanya mengangguk pelan.

“Kalian gak langsung pulang lagi, kan?” Mbah Uti melirik Pak Abas dan Dhimas.

“Enggak, Mbah. Besok subuh, baru kami balik ke Bekasi,” jawab Pak Abas.

“Berarti, kalian istirahat di kamar ini.” Mbah Uti menunjuk kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu ini.

Setelah minum, kami langsung bersiap-siap untuk shalat Magrib. Pak Abas dan Dhimas pergi ke masjid, sedangkan aku shalat berjamaah bersama Mbah Uti.

Selesai salam, Mbah Uti meraih tanganku.

Aku celingukan karena tidak mengerti apa maksudnya.

“Kamu, yang tenang. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Yang penting, kamu sudah bertaubat dan berusaha memperbaiki diri,” ucapnya sambil mengusap pundakku.

Aku mengerutkan dahi. Maksud ucapannya apa? So’ tahu sekali nenek-nenek ini. Sama seperti ibu tiriku. Dia sering sekali menasihatiku, seolah tahu apa yang sedang kuhadapi.

Selesai shalat, aku masuk kamar dan duduk di sisi tempat tidur yang terasa agak keras. Sepertinya, kasurnya bukan busa melainkan kapuk dan jarang dijemur.

Kuedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan. Kamar ini hanya berukuran sekitar tiga kali tiga meter persegi. Dengan dipan tua, dan lemari yang tak kalah ketinggalan zaman.

Lantainya terasa sangat dingin. Membuat telapak kakiku membeku.

Apa aku akan betah tinggal di sini? Bersama orang asing dan lingkungan yang jauh berbeda dengan tempat tinggalku selama ini.

“Indhira, kita makan dulu.” Seseorang terdengar mengetuk pintu.

Aku tahu, dia adalah Mbah Uti. Namun, aku tidak langsung menjawabnya.

“Dhira, Mbah Uti masuk, ya?” tanyanya lagi.

Aku masih terdiam. Tidak berniat untuk menjawab perempuan tua itu.

Tidak lama, terdengar pintu kamar terbuka. Aku tetap tidak terpengaruh. Duduk membisu dengan pikiran yang masih terasa kalut.

“Kita makan, Sayang. Kamu harus banyak makan, nanti sakit, lho. Ada ayam kecap kesukaan kamu, sama lalap kol kukus,” ucap Mbah Uti.

Kenapa Mbah Uti tahu makanan kesukaanku? Ah, pasti Papa atau istrinya yang memberitahu dia.

“Kamu jangan sungkan. Anggap ini rumah kamu sendiri. Anggap juga Mbah Uti sebagai mbah kamu. Meski kita tidak ada ikatan darah apapun.”

Ternyata, perempuan tua ini pun sama seperti ibu tiriku. So’ perhatian. Pasti karena di luar ada Pak Abas dan Dhimas.

“Mbah tahu, kamu sedang merasa bingung. Tapi, kamu tetep harus makan.” Mbah Uti mengusap rambutku.

Aku langsung menepisnya.

Terdengar dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kembali dengan perlahan. “Yuk!”

Karena tidak mau mendengar bujukannya terus, selain itu perut pun memang terasa sangat lapar, akhirnya aku menurut.

Di meja makan, Pak Abas sudah mulai makan, sedangkan Dhimas belum.

“Ayok, makan yang banyak. Mudah-mudahan kalian suka.”

“Suka sekali, Mbah. Enak,” jawab Pak Abas dengan mulut penuh makanan.

Aku duduk di kursi. Sedangkan Mbah Uti mengambilkanku makanan. Benar saja, ayam kecap, sambal hijau dengan lalap kol kukus tersaji begitu menggoda. Membuat rasa lapar tidak bisa ditahan lagi.

Akhirnya, kami menyantap hidangan yang Mbah Uti sajikan dengan lahap. Masakannya benar-benar sesuai dengan lidahku.

Selesai makan, aku dan Dhimas duduk di ruang tamu. Mbah Uti sepertinya sedang beres-beres di dapur. Sedangkan Pak Abas sudah masuk kamar.

“Ra, apa yang akan kamu lakukan kalau orang itu ketemu?” tanya Dhimas.

“B******n itu?” Aku melirik ke arahnya. “Aku akan bunuh dia!” geramku.

Terlihat Dhimas menelan saliva dengan wajah yang tampak pucat seketika.

Bersambung (Insya Allah)

Comment