Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya
Novel
Karya Athfah Dewi
Bab 5. Suaminya, Mana?
__________
“Kamu apa-apan, Dhimas?” tanyaku agak berteriak juga.
“I-itu … maaf, Ra. Aku cuma … gak nyangka aja kalau kamu ….”
“Aku gak ada hubungan apa-apa dengan siapapun. Satu-satunya orang yang deket sama aku cuma kamu. Sahabatku!”
“Terus, kenapa tadi bilang kalau kamu curiga sama dia?”
“Kami pernah kejebak hujan habis ngerjain tugas.”
“Berdua aja? Di mana?”
“Iya. Di kampus.”
“Terus?”
“Aku ketiduran.”
“Terus?”
“Terus apa? Gak ada terusnya. Gitu doang.”
“Tapi, kamu tahu, gak kalau dia itu suka sama kamu?”
“Gak mungkin ….” Aku tertawa sinis.
“Kenapa gak mungkin? Anak-anak di kampus semua tahu itu. Kamunya aja yang gak ngeh!”
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Mungkin aja, kan kalau dia pelakunya?”
Dhimas tidak menjawab.
“Dhim. Mungkin saja dia, kan?” tanyaku lagi.
“Kamu jangan berhubungan sama dia. Jangan kasih nomor baru kamu ini sama dia atau siapapun.”
“Aku justru pengen ketemu sama dia. Pengen mastiin.”
“Jangan! Biar aku aja yang urus Yudi. Kamu, tetep di sana.”
“Tapi, Dhim.”
“Kamu percaya sama aku?”
Aku tidak menjawabnya. Aku percaya kepada Dhimas. Namun, untuk urusan ini, rasanya aku sangsi. Sebab, aku tahu Dhimas tidak akan bisa menghadapi hal sesulit ini sendirian.
**
Pukul sepuluh, Mbah Uti pergi ke pasar. Sedangkan aku, karena merasa jenuh akhirnya berjalan-jalan di belakang rumah. Di sana ada sawah yang menghampar luas. Padi yang masih berwarna hijau sungguh menyejukkan mata.
Kuhirup udara pagi hingga memenuhi rongga dada. Segar sekali. Aku memejamkan kedua mata. Menikmati alam yang masih asri ini. Berharap, beban yang sedang kupikul sekarang menghilang meski hanya untuk sejenak.
“Assalamu’alaikum, Mbak,” ucap seseorang membuyarkan ketenanganku.
Aku membuka mata, lalu melirik ke asal suara. Tampak seorang laki-laki muda dengan pakaian sederhana cenderung lusuh.
Celana kusam, kaos lengan panjang dengan warna yang sudah memudar juga. Sepatu boots dan topi yang aku pikir sudah layak untuk dibuang.
“Assalamu’alaikum, Mbak,” ucapnya lagi.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku singkat.
“Mbah Uti ada?”
“Gak ada.”
“Kemana, ya?”
“Gak tahu.”
“Masa gak tahu? Mbak ini cucu buyutnya dari Bekasi, kan?”
“Bukan.”
“Lah, terus?” Dia mengerutkan dahi.
Aku hanya mendelik kepadanya. Kenapa orang ini banyak tanya? Seharusnya, ketika aku bilang tidak ada. Sudah. Dia jangan bertanya macam-macam lagi.
“Sudah datang, Man?” tanya Mbah Uti tiba-tiba. Dia datang dari dalam.
“Ini ada Mbah Uti. Katanya mbaknya, Mbah gak ada,” ucap laki-laki itu mengadu.
“Mbah memang baru pulang dari pasar. Ayok, masuk. Mbah barusan beli cemilan. Kita ngobrol sambil ngeteh di dalam,” ajak Mbah Uti.
Aku mencibir ke arah laki-laki kampungan itu. Lalu, masuk rumah.
“Di sini saja, Mbah. Di dalem gerah, ada perempuan jutek,” jawabnya sambil berteriak lalu terkekeh.
Aku tidak menghiraukannya, tetapi terus masuk kamar. Lalu duduk di atas tempat tidur.
Apa selama tujuh bulan ke depan aku harus terus terjebak di sini? Bagaimana jadinya aku nanti? Belum satu hari saja, rasanya sudah sangat membosankan.
**
Waktu terus berlalu. Satu minggu sudah aku tinggal di sini. Selama itu juga, Mbah Uti selalu memperlakukanku dengan baik.
Perlakuannya itu membuat kecurigaanku sedikit terkikis. Ada rasa percaya, kalau Mbah Uti benar-benar orang baik.
Tentang Papa, hingga saat ini, dia tidak ada menghubungiku. Aku pun malas untuk meneleponnya terlebih dahulu. Untuk sekarang, memang tidak ada yang bisa aku lakukan untuk hal itu.
Bukan hanya Papa. Dhimas pun, tidak ada menghubungiku beberapa hari ini. Kukirim chat pun, tidak dibacanya.
Ada apa dengan dia? Apa masih marah karena masalah Yudi? Berlebihan sekali.
“Dhira, hari ini ikut mbah, ya?” ajak Mbah Uti di suatu pagi.
“Kemana?” tanyaku. Sejujurnya, aku agak tertarik. Karena, merasa sangat bosan setiap hari harus di dalam terus.
“Ada acara di halaman masjid.”
“Acara apa? Pengajian? Gak, ah. Palingan cuma nenek-nenek doang.”
“Bukan ….” Mbah Uti menggeleng.
“Emangnya, di masjid suka ada acara apa lagi selain pengajian sama shalat berjamaah?”
“Banyak. Rapat warga, kadang dilakukan di sana setelah shalat berjamaah selesai, acara amal, bazaar murah juga bisa.”
“Terus, nanti ada acara apa?”
“Ada bazaar murah. Kamu, bantuin mbah.”
“Emang, Mbah mau jualan apa?”
“Hasil kebun. Kemarin kita baru panen tomat sama kacang panjang.”
“Kenapa gak dijual ke pasar umum? Harganya pasti lebih mahal.”
“Sesekali kita gak cuma nyari keuntungan materi, boleh, dong?”
Mendengar jawaban Mbah Uti, aku hanya manggut-manggut.
Aku baru tahu, jika Mbah Uti ini memiliki kebun. Mungkin, dari sana dia mempunyai penghasilan untuk sehari-hari.
Awalnya, aku berpikir dia mau menampungku karena mengharapkan imbalan dari Papa. Ya, aku tahu, Papa sudah memberinya banyak uang.
“Gimana?”
“Boleh.” Aku mengangguk.
“Bagus. Setengah jam lagi, harus sudah siap, ya?”
“Lho, kirain siang?”
“Bazar dibuka pukul delapan, kita setengah jam sebelumnya sudah harus siap-siap.”
Aku tidak menjawab lagi.
**
Halaman masjid yang Mbah Uti maksud, ternyata cukup luas dan terletak di tengah kampung. Meski sederhana, tetapi masjid di sini sepertinya terrawat sekali.
Beberapa tenda sudah berdiri mengelilingi halaman. Berbagai macam barang dijajakan di sana. Dari mulai makanan, sampai pakaian. Pokoknya, hampir komplit.
Hanya saja, apa benar mereka menjual ini dengan harga murah?
Aku membantu Mbah Uti menata tomat dan kacang panjang yang terlihat masih segar-segar.
“Mbah, ini mejanya masih kosong banyak. Apa gak ada lagi yang mau kita jual selain ini?” tanyaku.
“Ada. Sebentar lagi datang,” jawab Mbah Uti. “Nah, itu dia.” Mbah Uti menunjuk ke jalan.
Tampak seorang laki-laki yang tidak asing sedang berjalan mendekati kami. Laki-laki dengan pakaian lusuh dan topi jeleknya. Di bahunya, dia memikul karung yang sepertinya cukup berat.
“Man! Ayok, cepet rapihin. Sebentar lagi dibuka ini!”
“Iya, Mbah. Tenang … ‘kan ada yang bantuin,” jawabnya sambil melirikku.
Aku mencebik, karena tahu apa maksud laki-laki menyebalkan ini.
“Nah, Dhira … kita lapaknya barengan sama Rahman. Karena, yang kita jual jenisnya sama.”
“Terus, itung-itungannya gimana, Mbah? Nanti, uang kita dicatut sama dia.”
“Jangan suudzoon ….” Laki-laki yang ternyata bernama Rahman itu memelototiku.
“Bukan suudzon, hanya waspada saja,” belaku.
“Sudah, kalian ini, bukannya beresin sayurannya.” Mbah Uti menengahi.
“Ogah. Itu punya dia, bukan punya Mbah.” Aku duduk di bangku yang sudah tersedia.
“Lagian, siapa yang minta dibantuin?”
“Tadi, kamu bilang sendiri.”
“Kapan?”
“Tadi pas baru dateng.”
“Enggak.”
“Iya!”
“Enggak!”
“Ih, gak ….”
“Astaghfirullahal adzim …,” sela Mbah Uti, membuat aku dan Rahman terdiam. Tampak Mbah Uti menatap aku dan Rahman bergantian.
“Ayok, cepetan, Rahman. Sebentar lagi bazaar dibuka,” ucapnya kepada laki-laki berkulit sawo matang itu.
“I-ya, Mbah. Maaf.” Gegas Rahman membereskan terong ungu dan sawi hijau. Selain itu, dia juga mengeluarkan bawang merah dari dalam karung itu.
Bazaar dimulai dan langsung ramai oleh pengunjung. Mereka berbelanja dengan riang gembira. Kata Mbah, bazaar seperti ini tidak tentu waktunya kapan biasa digelar. Tergantung warga yang siap ikut berpartisipasi.
“Ini jadi berapa, Mbah?” tanya seorang pembeli.
“Lima ribu saja,” jawab Mbah.
“Mas Rahman, ini calonnya, ya?” tanya ibu-ibu pembeli itu sambil melirikku.
“Bukaaan …,” jawab Rahman cepat sambil berdiri. Dia sedang merapikan karung di bawah.
“Ini cucu buyut mbah dari Bekasi, Yun,” sela Mbah Uti.
“Ooh, cucu buyut, Mbah. Kirain calonnya Mas Rahman.”
“Bukan.” Mbah Uti menggeleng sambil tersenyum.
“Sudah nikah, ya? Sepertinya sedang hamil,” ucap ibu-ibu yang lain yang sejak tadi sedang memilih tomat. Sorot matanya menyelidik.
Mendengar pertanyaan itu, aku melirik Mbah Uti dengan hati yang rasanya mulai tidak enak.
“Iya, Indhira sedang hamil muda,” jawab Mbah diiringi oleh senyuman.
“Hamil berapa bulan? Terus, kenapa sekarang ada di sini? Suaminya kemana?” tanya ibu-ibu itu lagi.
“Suaminya sedang bekerja di luar negeri. Dhira di sini sama mbah, biar kami ada temen. Sebab, kalau mbah yang ke Bekasi, kebun mbah gimana? Jadi, Dhira saja yang ke sini. Usia kehamilannya sudah sepuluh minggu.”
“Ooh, begitu ….” Bibir kedua ibu-ibu itu membulat. Lalu, salah satunya melirik Rahman. “Istri orang itu, jangan deket-deket!” ucapnya sambil terkikik.
“Enggaklah, jangankan istri orang. Single pun saya ndak mau. Soalnya judes,” gumam Rahman.
Namun, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Belum sempat aku memelototinya, kedua ibu-ibu itu bertanya, “Apa, Mas Rahman?”
“Nggak apa-apa,” jawabnya dengan wajah cemberut.
Hal itu membuat mereka tertawa semakin keras.
Sedangkan aku, langsung melirik Mbah Uti. Beliau sedang merapikan sayuran jualan kami yang tinggal sedikit.
Beliau tadi tampak tenang menjawab pertanyaan yang menurutku sulit. Apakah cerita bohong itu yang sudah Papa dan istrinya katakan kepada Mbah? Ya, sepertinya begitu.
Hal itu bagus, sehingga aku tidak perlu merasa malu dengan orang-orang. Sebab, aku juga malas menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apalagi, tidak menjamin mereka akan percaya. Bisa-bisa, mereka mengira kalau aku korban pergaulan bebas.
“Mbak, minta tomatnya sekilo,” ucap seseorang tiba-tiba.
“Oh, iya,” jawabku. Lalu mengambil tomat dan menimbangnya. Tadi, aku sudah diajarkan bagaimana cara menggunakan timbangan duduk itu.
Sebelum pukul dua belas siang, kami pun membereskan lapak. Sayur jualan Mbah Uti dan Rahman sudah habis sejak tadi. Bahkan, Rahman sudah tidak terlihat.
“Kita shalat berjamaah dulu di sini,” ucap Mbah.
“Tapi, Mbah, aku gak ada mukena.”
“Mbah bawa,” jawabnya.
“Oh, ya sudah.”
Untuk urusan agama, aku mungkin tidak termasuk orang yang taat. Namun, kalau hanya sekadar shalat lima waktu, aku sering melakukannya.
Dulu, ketika mama masih ada, dia selalu mengingatkanku untuk tidak pernah meninggalkan kewajiban yang itu. Sebab, katanya shalat itu adalah tiangnya agama.
Aku berjalan di belakang Mbah Uti yang menuju tempat wudhu. Di sana, sudah mengantre beberapa orang ibu-ibu.
Di tempat wudhu laki-laki pun, sudah banyak jamaah yang sedang bersiap-siap. Tidak ketinggalan anak-anak dan … sebentar. Siapa dia?
Seseorang yang rasanya familiar sekali. Dia memakai koko berwarna hijau mint dengan bawahan kain sarung yang terpasang rapi. Tangannya mengusap rambut yang basah oleh air wudhu. Wajahnya tampak segar dan bersih.
“Man, ayok adzan!” seru seseorang dari dalam masjid.
Laki-laki itu langsung menjawabnya dan bergegas masuk masjid.
Dia, Rahman? Kenapa berubah jadi semenarik itu? (Bersambung)
Comment