Penulis: Poppy Kamelia P. BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS | Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Gelombang protes mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap” bukan sekadar unjuk rasa di jalanan, melainkan jeritan nurani generasi muda yang tak ingin masa depan bangsanya luruh dalam kegelapan.
Ini bukan sekadar suara sumbang dari mereka yang kecewa, tetapi gema dari hati nurani yang tersakiti melihat ketidakadilan merajalela. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas turun ke jalan, memenuhi kawasan Patung Kuda di Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia, menyuarakan satu pesan yang tak bisa lagi diabaikan yaitu negeri ini sedang sakit, dan para pemimpinnya semakin tuli terhadap suara rakyat. (BBCNews, 21/2/2025)
Di tengah gonjang-ganjing legitimasi pemerintahan Prabowo Subianto yang dinilai “sudah oleng”, mahasiswa berdiri tegak sebagai garda terdepan perjuangan, bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi yang selama ini dielu-elukan sebagai cahaya peradaban justru semakin terang membuktikan kegagalannya.
Janji kesejahteraan hanyalah ilusi yang terus dijual di panggung politik, sementara rakyat terperangkap dalam bayang-bayang ketidakadilan.
Aksi ini tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari akumulasi kekecewaan yang semakin menumpuk akibat berbagai kebijakan yang menekan rakyat kecil. Pemotongan anggaran di sektor-sektor vital, kebijakan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang, dan ketidakmampuan pemerintah dalam menghadapi krisis sosial-ekonomi hanyalah sebagian kecil dari luka yang semakin menganga.
Jika terus dibiarkan, bukan hanya kepercayaan terhadap pemerintah yang runtuh, tetapi harapan rakyat terhadap masa depan negeri ini pun bisa sirna.
Para akademisi dan pengamat politik memperingatkan bahwa jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan pemerintahan, krisis kepercayaan yang kini menggerogoti sendi-sendi negara akan semakin dalam dan sulit diperbaiki.
Rakyat yang selama ini menaruh harapan pada janji-janji pemimpin akan semakin kecewa ketika kenyataan yang mereka hadapi justru berbanding terbalik dengan harapan tersebut. Ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, kebijakan yang cenderung menguntungkan segelintir elite, serta berbagai keputusan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil hanya akan mempercepat keruntuhan legitimasi pemerintah di mata masyarakat.
Jika ketidakadilan ini terus berlanjut, rakyat bukan hanya akan kehilangan harapan, tetapi juga bisa benar-benar melepaskan ikatan emosional dan politis terhadap pemerintahan yang mereka anggap tidak lagi mewakili suara dan kepentingan mereka.
Ketika kepercayaan telah runtuh, efeknya bisa jauh lebih luas dan berbahaya. Ketidakpuasan yang semakin membesar dapat berkembang menjadi ketidakstabilan sosial, maraknya aksi-aksi protes yang tak terkendali, hingga potensi disintegrasi kepercayaan terhadap seluruh sistem yang selama ini diterapkan.
Tidak menutup kemungkinan, rakyat mulai mencari alternatif lain di luar sistem yang mereka nilai gagal. Inilah peringatan keras yang seharusnya menjadi alarm bagi para pemimpin negeri ini—bahwa mereka tidak bisa terus berdiam diri atau sekadar melakukan perubahan kosmetik untuk meredam gejolak sesaat. Hal yang dibutuhkan bukan hanya reformasi kebijakan, tetapi perombakan mendasar yang mampu mengembalikan kepercayaan rakyat dengan menghadirkan keadilan yang nyata, bukan sekadar janji manis tanpa realisasi.
Namun, pertanyaannya, apakah solusi yang ditawarkan dalam aksi ini benar-benar mampu menjawab akar permasalahan? Apakah hanya sebatas permintaan perubahan kebijakan dalam sistem yang telah terbukti gagal berulang kali? Ataukah ada solusi lain yang lebih mendasar, yang benar-benar mampu mengangkat Indonesia keluar dari kegelapan?
Jika kita mau berpikir lebih jernih, masalah ini bukan sekadar soal kebijakan pemerintah saat ini, tetapi lebih dari itu. Ini adalah kegagalan sistem yang dijadikan pedoman dalam mengatur negeri ini. Demokrasi, yang sejak awal digadang-gadang sebagai solusi terbaik, nyatanya terus melahirkan krisis demi krisis.
Pemimpin berganti, kebijakan diperbarui, tetapi ketidakadilan tetap mengakar, kesejahteraan rakyat tetap menjadi utopia, dan suara-suara keadilan tetap dibungkam oleh kepentingan segelintir elite.
Inilah saatnya mahasiswa tidak hanya menjadi pemrotes, tetapi juga menjadi pembawa solusi sejati. Tidak cukup hanya mengkritik dan menuntut perubahan dalam sistem yang telah berulang kali gagal. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, harus memiliki visi yang lebih besar yaitu menawarkan sistem yang benar-benar mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Dan sistem itu hanya ada dalam Islam.
Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana sebuah negara harus dikelola, bagaimana pemimpin harus bertanggung jawab kepada rakyatnya, dan bagaimana hukum harus ditegakkan dengan adil tanpa tunduk pada kepentingan segelintir orang. Islam tidak membiarkan kekayaan negara hanya berputar di antara orang-orang kaya, tetapi mengatur distribusi ekonomi yang adil agar kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Saat ini, pemuda, khususnya mahasiswa, harus mengambil peran sebagai pelopor perubahan sejati dengan membawa cahaya Islam dalam perjuangan mereka. Islam bukan sekadar agama yang mengatur ibadah ritual, tetapi juga sistem kehidupan yang lengkap, termasuk dalam bidang politik dan pemerintahan.
Mahasiswa harus bergerak lebih dari sekadar demonstrasi di jalanan; mereka harus menjadi bagian dari dakwah ideologis yang menyeru pada perubahan mendasar, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam mengubah masyarakat jahiliah menjadi umat yang penuh keadilan dan keberkahan.
Jika Indonesia benar-benar ingin keluar dari gelapnya ketidakadilan, maka cahaya Islam harus menjadi solusi utama. Perubahan bukan sekadar menukar pemimpin atau mengganti kebijakan, tetapi dengan mengganti sistem yang terbukti gagal dengan sistem yang berasal dari Allah, yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Mahasiswa, sebagai pelopor perubahan, harus berani berdiri di garis depan perjuangan ini, bukan hanya dengan aksi, tetapi dengan ilmu, keyakinan, dan dakwah yang tak tergoyahkan.
Maka, bagi mereka yang turun ke jalan dengan membawa semangat perubahan, renungkanlah: apakah kita hanya ingin memperbaiki sesuatu yang sudah rusak, ataukah kita siap membawa solusi yang benar-benar mampu menerangi kegelapan ini?
Jika jawabannya adalah cahaya sejati, maka tidak ada pilihan lain selain kembali kepada Islam. Wallahu A’laam Bishawaab.[]
Comment