RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Jelang dua (2) hari lagi Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta di tahun 2017 ini cukup menarik dan mengundang perhatian, nuansanya tak hanya menyedot sorotan media nasional namun secara internasional pula. Tak terasa proses ‘pesta rakyat’ Ibukota DKI Jakarta mencoblos antara pasangan calon nomor urut 2 dan 3 akan digelar pada Rabu (19/4) nanti.
“Konstetasi bukan hanya program dibicarakan, namun banyak isu sensitif. Tak hanya pertarungan sosok, program namun juga persoalan agama dan sensitifitas, Pemahaman liberalis melahirkan kesemua itu,” Ujarnya.
Saat diskusi publik dilangsungkan puluhan aktivis, masyarakat umum, perwakilan mahasiswa/i, Indra J Pilliang (Politisi Muda Golkar), Indria Samego (Pengamat Politik LIPI), dan Arbi Sanit (Pengamat Politik UI) dengan didampingi Rouf Qusairi (Sekjen KMI) selaku moderator.
Indra J Piliang, Politisi Muda Golkar berpendapat, pilgub DKI adallah proses mendahului proses dan pola politik berikutnya. Dinamika politik terjadi adalah pola atau konten lima (5) tahun ke depan, baik di daerah lain ataupun di Indonesia.
Aktivis muda partai berlambang beringin menceritakan flash back situasi Pilkada DKI Jakarta semenjak tahun 2002, 2007, dan 2012. Ia mengingatkan Pada tahun 2002, massa kepung gedung DPRD DKI supaya tidak terjadi proses pemilihan. Ada calon lain dari PDI P, namun elite politik tidak menginginkan, kemudian proses pemilihannya terjadi sangat luar biasa,bahkan hinggaa bang ‘Yos’ sampai diangkut gunakan Helicopter.
“Pada 2012, sangat mengandalkan relawan lapangan dan diperbantukan dengan relawan partai. Masing-masing partai, PDI P dan Gerindra siapkan, jadi sekitar 40.000 yang kawal TPS,” imbuhnya.
Memang tak bisa ditepis bila dilihat Pilkada DKI selalu menjadi semacam Pemilu, kemukanya kembali.”Karena diadakan 2,5 tahun percepatan sebelum pemilu atau pilpres diadakan,” paparnya.
“Isu yang dikaitkan dengan agama, di mana pertarungan kaum agama dan nasionalis, itu sudah selesai. Soalnya di Jakarta ini sudah tidak ideologis lagi,” ungkapnya, seraya mengutarakan permisalan, ada isu dimana bila Anis Sandi menang Syariah akan dijalankan.
“Dimana coba wilayah di Indonesia menjalankan hukum syariah, sampai hari saja belum ada satu jari pun dipotong. Kalaupun ada juga hukum cambuk, itupun peradilan menurut syariah Islam, dihukum cambuk. Hukum Islam yang digunakan di Aceh itu disesuaikan dengan UU di Aceh,” jelasnya.
Sementara itu, Arbi Sanit pengamat Politik senior dari Universitas Indonesia (UI) menjelaskan situasi yang mengancam kedaulatan dan melawan Negara yang menurutnya gerakan semacam terstruktur, terpola.”Setelah reformasi, ada yang mau bikin Negara Islam, dan bermacam macam,” bebernya.
Kalau dahulu di era Pasca Kemerdekaan 1945, di masa Presiden Pertama RI, Ir.Soekarno ada gerakan DI/TII, komunis, kemuka Arbi.”Mereka melawan tidak menerima dengan apa yang telah disepakti dari awal,” paparnya.
Ketika itu, kemuka Guru Besar UI itu mengungkapkan kalau dari sistem Demokrasi Liberal dirubah haluan ke Otoriter.”masyarakat tidak merasa terpenuhi secara ekonomi, tidak kuat hadapi krisis dunia,” jelasnya.
Lalu era Reformasi pasca 1998 sekarang sudah 20 tahun, Arbi pun menjelaskan kalau gerakan sebelahnya anti penguasa, dimana kelompok kritik pemerintahan era Gus Dur, habibie, SBY juga.
“Kemudian Negara ini harus dirubah, agar yang kita inginkan pada orang lain itu tercapai. Selalu saja mereka gunakan aksi aksi massa. Ada golongan yang merasa tidak puas, dan terus menerus melawan. Bagaimana mereka didemo oleh gerakan aksi massa. Bukan saja gedung di DKI, bahkan di gedung KPK maupun DPR,” jelasnya.
Menurut Arbi, seraya menjelaskan bahwa aksi massa yang besar sekali, baginya Mengerikan, seperti yang terjadi saat aksi massa yang dikenal dengan sebutan baik 411,212, dan 313 itu.”Itu mengerikan sekali. Apa yang mereka inginkan, ideologi yang mereka anut, sebenarnya mengerikan. Ini negara NKRI ini diganti, ini sudah sampai kesana. Agama yang dijadikan ideologi politik tadi, namun tidaklah semudah itu, malahan perang terus,” ujarnya.
Arbi merasa sebaiknya tentu saja harus menggunakan rasio dengan yang liberal, dimana di dalamnya ada kebebasan, hak asasi manusia. Soalnya, Jakarta adalah punya nilai dan makna strategis dalam konteks ke Indonesiaan.”Apa yang terjadi akan berpengaruh tentunya pada tren politik mendatang.
Baginya, kontestasii dan politik elektoral yang berjalan secara dinamik perlu diupayakan penguatan ke arah sana, karena ada persebaran sentral kekuasaan dan di era reformasi ini ada persebaran politik.
“Proses liberasi politik dalam proses elektoral, semoga sukses dan berlangsung smooth, karena sudah ditunjuk. Siapapun dia, pemimpin itu berasal dari produk kontestasi dan partisipasi. Kegiatan yang violence ditinggakan, dalam proses demokrasi itu. Soalnya, Pilkada Jakarta ini serasa Pilpres. 2017, test case untuk Pilpres dan upaya untuk menggiring para pemilih tidak balik kanan, sedangkan uang itu hal lain,” jelasnya. [Nicholas]
Comment