Ekonomi Semakin Memburuk Jokowi Hilang Pegangan Bertahan Hingga 2019

Salamudin Daeng.[Dok/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –  Perekonomian Indonesia semakin memburuk. Ini diungkapkan Salamudin Daeng (AEPI) dan ini menjadi lemahnya posisi Jokowi bertahan hingga 2019. Berikut tulisan Salamudin Daeng menyoroti lemahnya perekonomian yang dibangun pemerintahan dan kabinet Jokowi.

Kenaikan tarif dasar listrik dalam setengah tahun terakhir meningkatkan inflasi menjadi 4,9% dari rata-rata tahunan 3.2%. Sebetulnya kenaikan TDL tidak hanya menyerang hajat hidup orang banyak, tapi akan membawa dampak pada penerimaan pemerintah sendiri akibat penurunan daya beli, penurunnan konsumsi dan akhirnya penurunan pajak pemerintah.

Sektor perbankkan Indonesia memburuk yang ditandai dengan meningkatnya non-performing loans (NPL) perbakkan yang sudah berada diatas batas atas yang ditetapkan dalam Basel III threshold. Ini adalah implikasi kebijaka bunga yang mencekik. Sektor pemerintah dan sektor perbankkan berlomba menaikkan bunga untuk mengejar penerimaan. Dampaknya penurunan ekonomi, produksi dan akhirnya kredit macet.

Jakarta Composite Index (JCI) telah jatuh sekitar 8% tahun ini dan imbal hasil dari investasi asing dalam berbagai investasi di Indonesia telah jatuh. Investor asing memang merupakan faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi indonesia yang menginginkan imbal hasil yang lebih tinggi menghadapi inflasi dan defresiasi nilai tukar yang juga tinggi.

Defisit transaski berjalan meningkat menjadi 1 % GDP lebih tinggi dibandingkan dengan kwartal 4 tahun 2016 sebesar 0,9% GDP. Untuk tahun 2017 defisit transaksi berjalan akan meningkat pada posisi 1.8% GDP. Defisit trannsaksi berjalan Rp. 250 sampai 300 triliun adalah angka sangat besar dalam kapasitas ekonomi indonesia saat ini. Itulah yang menyebabkan resiko besar dalam nilai tukar yang akan menciptakan efek berganda dari defisit transaksi berjalan itu sendiri.

Resiko keuangan pemerintah terjadi disebabkan pemotongan anggaran 2016 yang menimbulkan ketidakpastian karena penganggaran APBN yang tidak realistik. Resiko keuangan indonesia yang besar menuntut imbal hasil yang lebih tinggi dalam surat utang negara yang akan menyulitkan pemerintah membayar bunga. Sementara pendapatan pajak pemerintah relatif menurun terhadap nilai tukar dibandingkan periode sebekumnya.

Defisit Anggaran Pendapatan dan bealnja Negara 2017 akan meningkat dari 2.4% GDP pada tahun 2016 menjadi 2,6% GDP pada tahun 2017. Itupun dengan asumsi penerimaan pajak tercapai. Jika tidak maka defisit bisa berada di atas 3 %. Defisit di atas 3 % berarti melewati batas yang ditetapkan UU keuangan negara. Jika pemerintah melakukan pemotongan anggaran belanja lagi maka akan semakin menurunkan kredibilitas indonesia dan selanjutnya menciptakan resiko keuangan lebih besar.
 

Sampai dengan bulan Mei 2017 pemerintah telah mengambil 53% dari rencana utang untuk mengatasi defisit,penurunan penerimaan pendapatan negara, dan utang jatuh tempo. Padahal utang jatuh tempo pada 3 tahun ke depan sangat besa dan lima tahun ke depan sudah lebih dari seruh utang jatuh tempo.
 
Penjualan ritel yang merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi menurun tajam menjadi 4,6% sampai dengan Mei dibandingkan rata rata pertumbuhan kwartal II 2016 sebesar 9,5%. Daya beli masyarakat jatuh merupakan penyebab merosotnya penjualan ritel. Dampaknya buruk pada ekonomi karena 53 % lebih pertumbuhan ditopang sektor konsumsi.

Menurut Bank Dunia, tahapan pemilu yang akan dimulai pada tahun 2018 akan menghambat reformasi struktural, menimbulkan ketidakpastian dan akan menjadi pertimbangan utama bagi investor asing. Investor melihat jika imbal hasil lebih tinggi maka hanya itu yang akan menjadi daya tarik mereka pada 2017 -2019. Sementara kemampuan pemerintah membayar kewajiban bunga semakin melemah.[]

 
Penulis
Salamuddin Daeng (AEPI) 

Comment