Penulis: Khaeriyah Nasruddin, Mahasiswi Pascasarjana UIN Alaudin Makassar
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Presiden Indonesia Prawobo Subianto menyatakan Indonesia siap menampung ribuan warga Gaza yang menjadi korban kekejaman militer Israel dengan mengirim pesawat menjemput mereka. Untuk gelombang pertama diperkirakan jumlahnya sekitar 1.000 orang sebagaimana ditulis berita satu (09/4/25).
Agar evakuasi terealisasi ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mendapat dukungan penuh negara-negara tetangga di Timur Tengah (Uni Emirat Arab, Qatar, Mesir, Turki, dan Yordania). Kedua, kewajiban mengembalilan setelah kondisi aman dan proses penobatan sudah dianggap cukup. (Republika/12/4/25).
Rencana ini sebenarnya masih dalam tahap konsultasi dengan beberapa pihak terkait dan untuk itu pula Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Sugiono untuk berkoordinasi dengan Palestina terkait mekanisme evakuasi.
Sekilas, rencana ini baik karena bertujuan membantu warga Gaza, apalagi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tentulah harapan besar ada di sana. Namun apakah menolong warga Gaza hanya dengan evakuasi?
Pernyataan presiden Prabowo siap mengevakuasi warga Gaza akan berdampak memuluskan agenda pengusiran rakyat Gaza sebagaimana yang diinginkan oleh penjajah zionis. Langkah dan dampak ini perlu dipertimbangkan secara bijak. Israel memang sangat mengharapkan seluruh warga Gaza meninggalkan tanah mereka.
Sikap brutal zionis tak ubahnya binatang – mereka lakukan seperti membunuh, mengebom bahkan sampai membuldozer manusia dengan satu tujuan mengosongkan Palestina agar mereka segera memiliki tanah itu sepenuhnya.
Selain itu, pernyataan ini juga justru kontra produktif dengan seruan jihad yang disuarakan oleh banyak pihak termasuk ulama muslim dunia yang telah mengeluarkan fatwa jihad melawan Israel.
Terkait dengan solusi Palestina satu-satunya cara untuk membebaskan mereka tak lain adalah dengan jihad sebab beragam solusi yang dijalankan tak mampu menghentikan penjajahan dan genosida.
Namun sayangnya dengan adanya sekat nasionalisme negeri-negeri kaum muslimin tidak mampu bersatu dan tidak cukup gagah dalam menyambut serusn jihad. Inilah fakta, nasionalisme dan prinsip tak boleh campur tangan dengan urusan negara lain – menghalangi umat islam membantu saudaranya meskipun mereka selalu diingatkan dengan hadist bahwa setiap muslim itu bersaudara.
Nasionalisme jauh lebih mendarah daging di tubuh umat dibanding persaudaraan islam yang ditekankan dalam hadits. Lagi-lagi ini menunjukkan sebuah penyimpangan pemahaman Dan pemikiran para pemimpin negeri muslim.
Negeri muslim seharusnya menjadi negara adidaya yang mampu memimpin dunia tapi fakta hari ini, hal itu sulit karena mereka berada di bawah cengkeraman AS. Namun kekuatan sebagai negara super power itu akan hadir ketika terbangun kekuatan Islam secara internasional di bawah satu bendera dan syariat secara sempurna.
Umar bin Khattab dan Salahuddin Al Ayyubi membebaskan Baitul Maqdis. Mereka tidak melakukan evakuasi, kecaman, ataupun mendamaikan kedua pihak berkonflik tapi mereka menggerakkan pasukan militer untuk menjalankan aksi jihad.
Dengan melihat fakta yang terjadi di Palestina sudah seharusnya umat ini sadar bahwa solusi hakiki hanya didapatkan melalui jihad.
Hal ini akan terwujud melalui kepemimpinan partai ideologis untuk menggerakkan umat agar tetap berada di jalur perjuangan yang benar sehingga memberi pengaruh besar dalam upaya mendorong penguasa negeri muslim dan mengirimkan tentara demi jihad.[]
Comment