Gaza Tak Butuh Simpati, Tapi Aksi

Opini237 Views

 

 

Penulis: Poppy Kamelia P. BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS | Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dari balik reruntuhan bangunan yang hancur, dari tenda-tenda pengungsian yang penuh debu dan kelaparan, dari tubuh-tubuh kecil yang menggigil tanpa selimut dan harapan, Palestina terus memanggil kita. Suaranya lirih, namun mengguncang langit. Jeritannya bukan hanya seruan minta tolong, melainkan teguran untuk seluruh umat Islam yang masih diam dalam kenyamanan, sementara darah saudara mereka tumpah setiap hari.

Gaza kembali berduka, dan dunia kembali menjadi saksi yang bungkam. Di antara deretan nyawa yang melayang, ada Fatima Hassouna. Seorang jurnalis foto yang pernah menggugah nurani dunia lewat pesan-pesannya untuk Gaza.

Ia tewas bersama tujuh anggota keluarganya akibat serangan brutal Israel di rumah mereka, Jalan Al Nafaq, Kota Gaza. Ia bukan pejuang bersenjata, hanya seorang perempuan yang mencintai negerinya dan ingin hidup. Namun di Gaza, hidup telah menjadi kemewahan. (CNN Indonesia, 19/4/2025)

Di tempat lain, seorang ayah menggali tanah demi sesuap makanan untuk anak-anaknya. Di dapur pengungsian, daging kura-kura menjadi santapan terpaksa. Bukan karena selera, tapi karena itulah satu-satunya yang tersisa. Dua juta jiwa kini menggantungkan hidup mereka pada bantuan yang tak menentu. (Metrotvnews.com, 20/4/2025)

Di tengah penderitaan itu, dunia hanya bisa mengirimkan kata-kata. Kecaman demi kecaman dilayangkan, namun tak satu pun menggetarkan nyali penjajah. Mereka tetap meluncurkan bom, menghancurkan sekolah, rumah sakit, masjid, bahkan tenda-tenda yang mereka sendiri sebut sebagai “zona aman.” Tak ada tempat yang benar-benar aman di bawah langit Gaza. Bahkan pelukan seorang ibu pun tak bisa lagi menjamin keselamatan anaknya.

Lebih menyakitkan lagi, adalah diamnya para pemimpin negeri-negeri muslim. Mereka memiliki tentara, persenjataan, kekuasaan, namun tak satu pun digerakkan untuk menolong.

Mereka memilih tetap duduk dalam ruang-ruang rapat yang dingin, berbicara atas nama diplomasi, padahal yang dibutuhkan saudara-saudara kita di Palestina adalah pertolongan dan aksi nyata, bukan simpati kosong.

Sungguh, bagaimana bisa kita mengaku sebagai satu tubuh, jika kita tak merasa sakit saat bagian tubuh kita yang lain dipukul habis-habisan? Rasulullah ﷺ telah bersabda bahwa umat Islam adalah satu tubuh. Satu bagian luka, seluruh tubuh merasa nyeri. Tapi hari ini, tubuh itu seperti mati rasa. Mungkin karena hati kita sudah terlalu lama dibungkus sekat-sekat buatan bernama nasionalisme.

Kita memandang Gaza seperti memandang negeri asing, bukan rumah sendiri. Kita menganggap mereka sebagai ‘mereka’, bukan ‘kita’. Padahal, Allah telah menyatukan kita dalam ikatan aqidah. Satu kalimat syahadat. Satu kiblat. Satu iman. Maka mengapa kita masih terpecah?

Inilah warisan penjajah yang terus kita pelihara. Yaitu, batas-batas buatan, bendera-bendera berbeda, rasa bangga pada negeri masing-masing yang justru memisahkan kita dari tubuh umat yang besar.

Selama kita masih terikat pada nasionalisme sempit, selama itu pula kita akan lemah. Selama itu pula seruan jihad akan selalu dianggap ancaman, bukan kewajiban. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk menolong saudara kita yang dizalimi. Bukan dengan doa saja, tapi dengan kekuatan, dengan keberanian, dengan pengorbanan.

Palestina tak bisa dibebaskan dengan konferensi. Tak bisa diselamatkan oleh resolusi. Palestina hanya akan merdeka jika umat ini bersatu dalam kekuatan politik dan militer yang satu. Dan itu hanya akan terwujud jika kita kembali pada satu kepemimpinan global di bawah satu bendera islam yang diwariskan Rasulullah. Sebuah perisai bagi umat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Imam adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”

Kini saatnya kita menyerukan kebangkitan. Bukan hanya di media sosial, tapi dalam setiap ruang dakwah, dalam setiap majelis ilmu, dalam setiap bisikan kepada diri sendiri. Kita harus menyadarkan umat bahwa jalan keluar bagi Palestina dan seluruh penderitaan umat ini hanya satu: persatuan dalam naungan syariat Islam secara kaffah.

Kita harus menuntut para pemimpin negeri-negeri muslim untuk bangkit, bukan sekadar mengecam. Kita harus mendukung jamaah dakwah ideologis yang terus bergerak, menyerukan jihad, menyalakan harapan, dan menuntun umat menuju tegaknya kepemimpinam Islam dunia di bawah satu bendera islam.

Palestina tak hanya menunggu tapi ia merintih dalam kesunyian yang mengguncang Arsy. Setiap tetes darahnya mengetuk langit, setiap jeritannya menggetarkan jiwa-jiwa yang masih memiliki nurani.

Dunia menyaksikan, tapi banyak yang memilih membisu. Namun langit mencatat satu per satu nama mereka yang memilih untuk peduli, yang hatinya menangis bersama Gaza, yang langkahnya tak diam meski kecil, yang doanya melangit setiap malam, memohon kemenangan dan kemuliaan.

Semoga, saat pertolongan Allah itu datang—saat tirani runtuh dan tanah suci itu kembali merdeka—nama kita termasuk di antara barisan hamba yang tak berpaling. Tidak hanya berkata, tapi bergerak. Tidak hanya merasa iba, tapi mencintai sungguh-sungguh. Karena siapa yang mencintai saudaranya seiman, tak akan membiarkannya terluka sendirian. Wallahu A’lam Bisshawaab.[]

Comment