RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kasus hukum yang menjerat Gunawan Muhammad, mantan perally nasional era 90-an, semakin menuai perhatian publik karena dinilai tidak adil. Gunawan dituntut 3,5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Gunawan yang hanya bertindak sebagai kuasa jual justru menghadapi tuntutan lebih berat dibandingkan dua terdakwa lainnya, Sa’ad Fadhil Sadi dan Ropina Siahaan, yang masing-masing dituntut 1,5 tahun.
Fakta persidangan menunjukkan bahwa Gunawan tidak memiliki tanah yang menjadi objek sengketa. Ia hanya menjalankan tugas sebagai kuasa jual berdasarkan dokumen yang diserahkan oleh pemilik tanah. Anehnya, tidak ada satu pun fakta yang membuktikan bahwa dokumen yang digunakan adalah palsu.
Bahkan, saksi ahli yang seharusnya memberikan analisis atas dokumen-dokumen tersebut tidak pernah dihadirkan oleh JPU.
Menurut Zerry Syahrial, S.H, Penasehat Hukum Gunawan, tuduhan menggunakan surat palsu tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Sampai saat ini, tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan dokumen itu palsu. Bagaimana mungkin klien kami dituduh menggunakan surat palsu jika keabsahan dokumen tersebut tidak pernah terbantahkan secara hukum?” ujarnya.
Fakta lain yang terungkap dalam persidangan adalah dokumen girik yang dipermasalahkan sebenarnya terdaftar dan didukung oleh kepemilikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sesuai.
“Bahkan, pengakuan dari kelurahan bahwa buku Letter C tidak ada, membuktikan bahwa tidak ada upaya pemalsuan dari pihak terdakwa,” jelas Zerry.
Junaidi, Ketua LSM Kperlink, menambahkan bahwa kasus ini semakin tidak masuk akal karena Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang menjadi dasar sengketa telah dibatalkan melalui putusan inkrah di PTUN.
“Dengan pembatalan ini, tuduhan terhadap Gunawan Muhammad terkait penggunaan surat palsu seharusnya gugur. Tuntutan ini terkesan dipaksakan tanpa dasar hukum yang jelas,” katanya.
Fakta persidangan menunjukkan bahwa ahli waris tanah telah memenangkan sengketa ini di pengadilan tingkat tinggi pada tahun 2020. Keputusan ini seharusnya menjadi dasar yang kuat.
Pertanyaan besar kini muncul, bagaimana seseorang yang hanya berperan sebagai kuasa jual bisa dianggap memalsukan dokumen yang bukan miliknya?
Dengan fakta persidangan yang justru membantah tuduhan, banyak pihak menilai proses hukum ini jauh dari prinsip keadilan.[]
Comment