Penulis: Sania Nabila Afifah | Komunitas Muslimah Rindu Jannah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hari Santri bukan sekadar momen perayaan atau seremoni tahunan untuk mengenang jasa para santri dalam sejarah perjuangan bangsa. Lebih dari itu, Hari Santri adalah pengingat tentang jati diri umat Islam — bahwa santri memiliki peran besar dalam menegakkan kembali kejayaan peradaban Islam yang pernah menerangi dunia dengan ilmu, keadilan, dan akhlak yang mulia.
Dalam sambutannya saat membuka Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional di Pesantren As’adiyah Wajo, Sulawesi Selatan, awal Oktober lalu, Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menegaskan bahwa kegiatan seperti MQK dapat menjadi langkah awal menuju kebangkitan kembali peradaban Islam.
Menurutnya, kebangkitan itu harus dimulai dari pesantren sebagai benteng utama peradaban Islam di Indonesia.
Menag juga menekankan pentingnya menjaga lima unsur utama pesantren: masjid, kiai, santri, tradisi membaca kitab turats, dan kehidupan kolektif dalam lingkungan pesantren. Selama kelima unsur ini tetap hidup, peluang Indonesia menjadi pelopor kebangkitan peradaban Islam akan semakin besar.
Menjaga Arah Kebangkitan di Tengah Arus Modernitas
Namun di tengah derasnya arus modernitas, makna “kebangkitan Islam” perlu dipahami secara jernih. Tema Hari Santri 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, memang penuh harapan, tetapi di tengah dominasi pandangan sekularisme dan liberalisme, arah perjuangan itu bisa kabur bila tidak dikawal oleh prinsip-prinsip syar’i.
Kini terdapat kecenderungan untuk menggeser peran pesantren dari pusat pengaderan ulama dan penjaga moral umat menjadi lembaga yang diarahkan pada proyek-proyek sekuler. Santri sering dijadikan “duta budaya”, penggerak “kemandirian ekonomi”, atau agen “perdamaian global” dalam kerangka pemikiran Barat.
Padahal, hakikat peran santri adalah pewaris perjuangan para nabi, yang utama tugasnya adalah menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. an-Nisa [4]: 144).
Dan dalam ayat lain: “Berpalinglah dari orang yang menolak peringatan Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia.”
(QS. an-Najm [53]: 29).
Membangun Peradaban Islam sebagai Kewajiban
Menghidupkan kembali peradaban Islam bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan kewajiban syar’i bagi setiap muslim. Peradaban Islam dibangun di atas aqidah yang kokoh, menjadikan hukum syara’ sebagai standar perbuatan, dan menempatkan ridha Allah sebagai tujuan utama, bukan kemewahan duniawi.
Pesantren memiliki peran strategis dalam menjaga ilmu, adab, dan identitas keislaman. Namun untuk memulihkan peradaban Islam secara utuh, diperlukan gerakan dakwah dan pendidikan politik Islam yang berorientasi pada penerapan nilai Islam secara menyeluruh (kaffah).
Sejarah mencatat, peradaban Islam mencapai puncaknya ketika sistem pemerintahan Islam menegakkan keadilan dan keilmuan secara seimbang — seperti masa keemasan Daulah Abbasiyah di Baghdad dan kejayaan Andalusia di Eropa, di mana ilmu pengetahuan, hukum, dan spiritualitas berpadu dalam harmoni yang memuliakan manusia.
Hari Santri 2025 semestinya menjadi momentum refleksi bagi umat. Sudahkah pesantren tetap berada di jalur perjuangan untuk menegakkan peradaban Islam yang hakiki? Ataukah justru mulai hanyut dalam arus sekularisme global yang menjauhkan umat dari tujuan mulia tersebut?
Seruan “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” akan memiliki makna mendalam bila dikawal oleh pandangan Islam yang lurus — bahwa peradaban sejati hanya akan terwujud bila Islam kembali menjadi sistem yang menuntun kehidupan manusia.
Kini saatnya santri, ulama, dan seluruh umat bersatu mewujudkan kembali masa keemasan peradaban Islam — peradaban yang berlandaskan wahyu, berpuncak pada ridha Allah SWT, dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a‘lam bish-shawab.[]









Comment