Penulis: Furqon Bunyamin Husein| Pemred Radar Indonesia News
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tulisan ini saya buat lantaran ada sebuah kiriman video TikTok dari seorang yang sudah saya anggap sebagai orang tua saya sendiri, Hasan M. Soedjono, MBA. Banyak pemikiran beliau yang parkir di otak saya sebagai masukan penting terutama berkaitan dengan bisnis. Karena memang beliau memiliki segudang pengalaman yang sangat luar biasa.
Beliau pernah tercatat sebagai komisaris di sebuah media cetak nasional, direktur maskapai penerbangan dan juga sebagai konsultan bisnis.
Hari ini beliau berkirim sebuah video tentang eksperiment Universe 25 yang dilakukan oleh Dr. John B. Calhoun asal Amerika.
Video ini mendorong saya untuk menulis dan berbagi kepada pembaca bagaimana behavioral sink menjadi faktor – meski bukan satu satunya – bagi kepunahan manusia seperti eksperiment universe 25 tersebut.
Eksperimen Universe 25 yang dilakukan oleh Dr. John B. Calhoun pada 1968 menjadi salah satu penelitian paling menggugah dalam sejarah perilaku sosial.
Dalam eksperimen itu, Calhoun menciptakan “utopia” bagi sekumpulan tikus: makanan melimpah, air tak terbatas, tempat tinggal aman, dan tanpa predator. Namun beberapa tahun kemudian, seluruh koloni punah — bukan karena kekurangan, melainkan karena kehancuran perilaku sosial.
Calhoun menyebut fenomena ini sebagai behavioral sink — jurang perilaku, yaitu situasi ketika makhluk sosial kehilangan fungsi, peran, dan makna hidup di tengah kelimpahan.
Dalam fase akhir eksperimen, tikus-tikus menjadi apatis, agresif, bahkan menolak bereproduksi. Populasi berakhir pada kehampaan total — punah di tengah kemewahan.
“Behavioral Sink” dalam Cermin Al-Qur’an
Fenomena ini sejatinya bukan hal baru. Al-Qur’an telah menggambarkan pola kehancuran peradaban manusia dengan sangat serupa: bukan karena kemiskinan, melainkan karena kerusakan moral, penyimpangan sosial, dan hilangnya nilai ketuhanan.
️ 1. Kaum ‘Ād – Arogansi dan Kultus Kekuatan
Kaum ‘Ād dikenal tangguh dan maju secara teknologi. Namun kekuatan itu melahirkan kesombongan kolektif.
“Mereka berkata: Siapa yang lebih kuat daripada kami?” (QS. Fushshilat [41]: 15).
Mereka menolak nasihat Nabi Hud dan merasa tidak membutuhkan Tuhan. Dalam bahasa Calhoun, ini adalah behavioral sink kekuasaan: ketika kelimpahan dan kekuatan melahirkan dehumanisasi — manusia kehilangan rasa rendah hati dan cenderung menindas yang lemah.
2. Kaum Tsamūd – Hedonisme dan Penolakan Nilai Moral
Kaum Tsamūd ahli arsitektur batu dan hidup mewah di lembah-lembah subur. Namun kemewahan membuat mereka menolak kebenaran dan hidup berfoya-foya.
“Mereka lebih mencintai kesesatan daripada petunjuk itu.” (QS. Fushshilat [41]: 17).
Dalam konteks behavioral sink, kaum ini menggambarkan masyarakat yang kehilangan tanggung jawab sosial, hidup dalam kenikmatan tanpa arah moral. Seperti tikus dalam Universe 25, mereka jatuh dalam apatisme sosial dan memuja kesenangan sementara.
3. Kaum Nuh – Pembangkangan Kolektif dan Normalisasi Kesalahan
Kaum Nabi Nuh bukan hanya menolak peringatan, tapi menormalisasi penolakan itu. Mereka hidup dalam tatanan sosial yang menolak kebenaran secara sistematis.
“Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta mata hatinya.”(QS. Al-A‘rāf [7]: 64).
Inilah behavioral sink ideologis: ketika kezaliman dibungkus rasionalitas, dan kesesatan dijadikan budaya. Fenomena ini sangat nyata dalam masyarakat modern yang menyamakan kebenaran dengan opini, dan mengganti nilai moral dengan relativisme.
️ 4. Kaum Luth – Rusaknya Fitrah dan Normalisasi Penyimpangan
Kaum Nabi Luth tidak punah karena bencana biasa, melainkan karena penyimpangan orientasi seksual dan hancurnya sistem keluarga.
“Dan Kami turunkan hujan batu atas mereka; maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.”(QS. Al-A‘rāf [7]: 84).
Ini adalah behavioral sink biologis dan spiritual di mana manusia kehilangan fitrah, fungsi keluarga rusak, dan kehidupan sosial hancur. Calhoun mencatat gejala mirip — betina tikus enggan beranak, jantan kehilangan naluri sosial.
Fenomena ini kini muncul dalam bentuk krisis keluarga modern, di mana ikatan suami-istri, ayah-anak, dan nilai keibuan makin terdegradasi.
Sekularisme, Liberalisme, dan Feminisme: Bentuk Baru Behavioral Sink
Selain kerusakan perilaku yang bersifat biologis dan sosial, kerusakan pemikiran juga menjadi penyebab kepunahan moral peradaban.
Gagasan seperti sekularisme, liberalisme, dan feminisme ekstrem — jika dilepaskan dari nilai ilahiah — menjadi bentuk behavioral sink ideologis yang tidak kalah berbahaya.
Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, menafikan peran Tuhan dalam pengaturan sosial. Akibatnya, moral menjadi relatif dan spiritualitas kehilangan ruang.
Liberalisme menempatkan kebebasan individu di atas nilai kebenaran universal. Ketika segala sesuatu boleh atas nama “hak pribadi”, batas antara benar dan salah mengabur. Muncul masyarakat pelangi yang hanya suka dengan satu jenis tanpa terikat dengan keturunan biologis.
Feminisme ekstrem (bukan kesetaraan sejati) melahirkan konflik gender dan menolak kodrat fitrah laki-laki dan perempuan. Dari sini, lahir pola hidup yang menolak keluarga dan menormalisasi individualisme.
Ketiganya menggeser pusat kehidupan dari nilai ilahiah menjadi ego manusia, persis seperti yang ditunjukkan Calhoun: kemakmuran tanpa makna akan berujung kehampaan sosial.
Kehancuran Tak Selalu Karena Kemiskinan
Baik sains maupun wahyu menyimpulkan hal serupa. Peradaban tidak hancur karena miskin, tetapi karena kehilangan arah moral.
“Dan jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 96).
Kekayaan, teknologi, dan kebebasan tanpa iman akan menghasilkan masyarakat yang rapuh, bising, namun kosong. Inilah bentuk kepunahan yang paling halus — punahnya makna hidup.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Eksperimen Universe 25 adalah peringatan ilmiah.
Kisah kaum ‘Ād, Tsamūd, Nuh, dan Luth adalah peringatan wahyu.
Keduanya menunjukkan bahwa peradaban hanya bertahan jika manusia menjaga fitrah dan nilai ketuhanan.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah bukan sekadar kewajiban agama, tetapi jalan selamat peradaban.
Di tengah kelimpahan dan krisis makna, hanya iman dan akhlak yang mampu mengembalikan manusia dari jurang perilaku menuju kemuliaan.
“Jika tikus punah karena kehilangan makna sosial, maka manusia bisa punah karena kehilangan nilai ilahiah. Universe 25 bukan sekadar eksperimen laboratorium, tetapi peringatan keras bahwa kemakmuran tanpa iman hanyalah jalan singkat menuju kehancuran.”[]









Comment