Lonely in the Crowd: Dampak Buruk Media Sosial dalam Sistem Sekuler-Liberal

Berita258 Views

 

Penulis: Dwinda Lustikayani, S.Sos  Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA– Perkembangan pesat digitalisasi membuat arus kehidupan media sosial kian deras dan tak terbendung. Fenomena yang hadir di ruang maya kini begitu kuat menggerus perhatian manusia, hingga tanpa sadar banyak pengguna yang mengalihkan fokus dari dunia nyata ke dunia digital.

Akibatnya, media sosial justru melahirkan sikap antisosial, merusak konsentrasi, bahkan menggerogoti kesehatan mental penggunanya.

Salah satu dampak yang kian terasa ialah fenomena Lonely in the Crowd — perasaan kesepian meski berada di tengah keramaian. Kondisi ini banyak dialami generasi muda, terutama kalangan Gen-Z yang hidupnya begitu lekat dengan media sosial.

Perasaan kosong dan terasing muncul ketika seseorang tidak menemukan pemahaman dan dukungan emosional di dunia nyata, sehingga ia mencari pelarian di dunia maya. Ironisnya, media sosial yang dianggap dapat menghibur dan memahami justru membuat penggunanya semakin jauh dari relasi sosial yang otentik.

Sebagaimana dijelaskan dalam teori Hiperrealitas, “representasi digital sering kali dianggap lebih nyata daripada realitas itu sendiri.” Akibatnya, emosi dan persepsi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental serta hubungan sosial seseorang.

Maka, sebagaimana ditulis kemendikbud.go.id, tak mengherankan bila banyak pengguna aktif media sosial justru minim interaksi sosial, hidup dalam kesepian yang terselubung, dan menjadi korban Lonely in the Crowd.

Media sosial sejatinya adalah pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat besar ketika digunakan untuk berkomunikasi, menjalin persahabatan, menambah wawasan, bahkan berdakwah secara luas dan efektif.

Namun dalam sistem sekuler-liberal yang kini menguasai kehidupan masyarakat, media sosial lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat hiburan, kampanye gaya hidup hedonistik, serta sarana penyebaran pola pikir kapitalistik.

Tak heran bila media sosial berubah menjadi ruang yang menjerumuskan banyak orang dalam kesepian eksistensial, kehilangan makna, dan keterasingan sosial.

Islam tidak menolak teknologi, termasuk media sosial. Namun penggunaannya harus berada dalam koridor syariat. Jika media sosial digunakan untuk kemaksiatan, penyebaran kebohongan, atau perusakan moral, maka hukumnya haram.

Sebaliknya, ketika dimanfaatkan untuk dakwah, pendidikan, dan penyebaran nilai-nilai Islam, maka penggunaannya menjadi bagian dari amal saleh yang dianjurkan.

Karena itu, negara memiliki peran penting dalam mengarahkan pemanfaatan teknologi agar membawa kebaikan. Dalam Islam, negara bertanggung jawab menyediakan dan mengawasi media dengan konten-konten positif yang mendidik dan mencerdaskan generasi.

Melalui lembaga seperti Departemen Penerangan, negara akan menyaring setiap konten negatif dan tidak bermanfaat agar masyarakat terhindar dari kerusakan moral dan kesepian spiritual.

Selain itu, negara juga membangun sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Pendidikan Islam berfokus pada pembentukan pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan iman, sehingga peserta didik memiliki visi hidup yang berorientasi akhirat.

Dengan akidah yang kuat, mereka tidak mudah terombang-ambing oleh arus media sosial dan tidak akan terjebak dalam fenomena Lonely in the Crowd.

Kini, saatnya umat kembali kepada aturan Islam yang menyeluruh (kaffah). Hanya dengan penerapan syariat Islam, generasi dapat hidup tenang di tengah gempuran digitalisasi dan terhindar dari kesepian yang menyesakkan. Wallahu a‘lam bish-shawab.[]

Comment