RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Para santri sebaya, sholih terlihat bersahaja menyejukan pandangan, berjalan bergerombol dengan penuh tawadhu sambil memegang erat Al-Qur’an menuju surau. Godhul Bashor mereka sangat terlihat, tatkala berpapasan kaum perempuan sekalipun orangtua santri di ruang tunggu. Merekapun tak lupa menyapa dengan memberi salam.
Pakaian mereka sangat sederhana yaitu sarungan. Bahkan pondok-pondok pesantren di pulau Jawa, kurang afdhol jika santrinya tidak sarungan, jadi jangan heran jika kaum santri memakai jas tapi sarungan.
Begitupun tatkala libur mondok, aktivitas sholat fardhu tak boleh tertinggal berjamaah di masjid, ya lagi-lagi sarungan. Bahkan kaum bapak-pun hampir semuanya sarungan.
Lain Indonesia, lain pula di Mesir.
Percakapan singkat dengan putraku via line, membuat suasana rindu terobati, dan pembahasan kali ini begitu menggelikan. Ia menceritakan diiringi gelak tawa dengan kejadian tersebut.
Pertama kali menginjakkan kaki di negeri kinanah ini, stay di Saqqoh. Para santri tak diperkenankan pergi jauh tanpa keperluan penting, tidak lain tuk menjaga keamanan karena visa pelajar belum turun.
Mereka hanya diperkenankan datang ke Ma’had Syaikh untuk menyetor hafalan Al-qur’annya. Perjalanan inipun dilakukan setiap jam 4 subuh waktu eropa timur (EET) secara rombongan.
Dalam perjalanan, tak disangka warga Mesir memandang mereka dengan pandangan yang sedikit aneh.
Merekapun bertanya-tanya ada apa dengan kita ya? Apa yang keliru dengan penampilan kita ?
Mereka bertanya-tanya, padahal mereka berpakaian rapi kok yaitu gamis lengkap dengan sarung, layaknya saat mondok di pesantren Indonesia.
Sesampai di Saqqoh, para santri baru ini bertanya-tanya kepada Syaikh terkait apa yang terjadi pada diri mereka. Mengapa banyak orang, terutama orang dewasa Mesir melihat dengan pandangan yang aneh.
Syaikh-pun tertawa dan akhirnya menjelaskan bahwa apa yang membuat mereka aneh melihat santri berasal dari Indonesia karena kalian sarungan.
“Hmm, kok aneh dengan sarungan kami syeikh?” tanya santri penasaran.
Syeikh menjelaskan bahwa di Mesir orang yang memakai sarung hanyalah orang yang habis berjima’ (hubungan suami istri) dan itu hanya dipakai di dalam rumah saja.
“Sehingga masyarakat Mesir melihat kalian sarungan tentu merasa aneh”. Jelas syeikh kepada santri.
Para santri inipun akhirnya faham, bahkan saling membalas senyum satu dengan yang lain. “iyaya kita anak santri keluar rombongan pakai sarung, emangnya habis berjima’, Hmm, inilah yg menjadi aneh bagi mereka.
Ya itulah biah di Mesir, tak akan dijumpai santri atau jamaah masjid yang sarungan kecuali santri dari Asia. Namun ini menjadi sesuatu yang dimaklumi jika santri masih memakai gamis plus sarung saat keluar rumah karena di Indonesia ini bukanlah aib, sarungan menjadi pakaian yang biasa digunakan. Bahkan di moment istimewa di daerah tertentu, sarungan menjadi pakaian khas.
Syaikhpun membiarkan jika ada santri-santri yang berasal dari indonesia masih sarungan, karena perbedaan itu hanyalah sekedar beda persepsi saja bukan sesuatu yang haram.
Hukum Asal Benda
Sarung merupakan salah satu benda. Benda adalah sesuatu yang digunakan untuk melakukan perbuatan. Bagaimanakah hukumnya memakai sarung ? Hukum benda tentu dikembalikan kepada syara.
Hukum asal benda adalah ibahah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah hukum syara’ :
“Al aslu fi asya’ al ibahah malam yaarid dalilu tahrimi” (asal dari sesuatu/benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya).
Adapun benda yang haram di antaranya :
1. Dzatnya Haram
Terbuat dari material yang jelas diharamkan dalam Al-Qur’an. Misal benda yang terbuat dari kulit hewan yang secara mutlak haram untuk dikomsumsi. Maka apapun bagian yang ada didalamnya haram dimanfaatkan.
Sekalipun kulit hewan yang diharamkan tersebut telah disamak, tidak lantas menjadi suci dan boleh digunakan untuk bahan dasar aneka produk Seperti baju, jaket, tas, dompet, karpet, sepatu dll.
Imam As-Syafii. Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi menyatakan,
مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ جَمِيعُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْمُتَوَلِّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا
Pendapat As-Syafii, bahwa kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah semua kulit bangkai binatang, kecuali anjing, babi, dan spesies keturunannya. (Syarh Shahih Muslim, 4/54).
2. Madaniyah mengandung Hadhoroh
Dalam kitab Nidzamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan bahwa:
Madaniyah adalah benda (hasil karya manusia/bentuk fisik yang yang terindera) yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Bisa bersifat umum dan bisa bersifat khas, jika sifatnya umum maka boleh digunakan berdasarkan asal hukum suatu benda.
Hadhoroh adalah sekumpulan mafahim/pemahaman (yang mengandung ide/pandangan kehidupan tertentu), hal ini bersifat khas.
Adapun madaniyah (benda) yang mengandung hadhoroh (pemahaman kaum atau agama tertentu) misal : baju biarawati, baju biksu, topi kerucut ala yahudi, kalung salib dan lain-lain.
Aktivitas menyerupai perbuatan kaum tertentu disebut tasyabbuh. Baik benda maupun perbuatannya adalah haram.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad )
3. Benda yang digunakan untuk kesyirikan (Tamimah)
Tamimah pada asalnya digunakan untuk mencegah ‘ain, yaitu pandangan dari mata hasad (dengki). Namun saat ini meluas,
banyak benda yang dipercaya memiliki kekuatan ghaib, seperti seperangkat kotak klenik ada cincin, kalung, batuan, benang, keris yang dijadikan jimat.
Benda-benda ini digunakan manusia jahil untuk meraih pesugihan (kekayaan), langgeng usaha, menarik lawan jenis, mendapat jodoh atau memberi kekebalan tubuh, yang biasa di berikan oleh dukun.
Benda dan perbuatannya diharamkan Allah, sebagaimana dalil di bawah ini :
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)
Ayat tersebut menjelaskan larangan bergantung atau meminta pertolongan selain kepada Allah SWT.
Islam tidak memiliki pemahaman bahwa ada benda-benda sakti atau keramat yang bisa menangkal kejahatan sehingga sampai dikultuskan, hanya kebiasaan jahiliyah saja yang memahami hal rusak seperti itu. Islam hanya mengajarkan umatnya untuk bergantung dan memohon pertolongan hanya kepada Allah Azza Wajalla.
Demikianlah Islam membahas hukum asal sebuah benda, sekalipun satu negara dengan negara lain memiliki persepsi yang berbeda tentang sebuah benda, selama itu tidak haram maka hukumnya ibahah (boleh) saja.
Perbedaan persepsi tersebut tidak akan terjadi jika segala hukum asal benda dikembalikan kepada hukum syara dan Kholifah (pemimpin umat Islam) yang akan melegalkan segala hukum agar tidak terjadi khilafiyah hingga menimbulkan fitnah. Wallahu’alam bishowwab.[]
Comment