RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Realisasi pendapatan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mencapai Rp 218,6 triliun tahun 2022. Angka yang besar ini tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) di bagian Laporan Arus Kas (LAK).
Menariknya dari hasil Outlook Indonesia Institute on Social Development memaparkan banyak ragam kebohongan publik yang terjadi pada industri tembakau.
“Pengendalian tembakau itu kalau di Indonesia musuhnya banyak, termasuk pemerintah, DPR komisi kesehatan tidak berpihak terhadap pengendalian tembakau, lebih banyak pertimbangan soal pemasukan pajak, industri dan pekerja, “ terang Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam diskusi publik, Hotel Horison Ultima, Menteng, Jakarta,
Selasa (30/01/24).
Mengutip Pasal 151 UU Kesehatan 2023 yang berbunyi, ”Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok”.
UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut.
Bukti pemerintah tidak hadir secara penuh memberikan perlindungan terhadap bahaya merokok.
“Ada 3 isu pokok yang berhubungan dengan tembakau: 1. Rokok mengandung nikotin 2. Variasi tembakau 3. Sikap monoksolid. Memang diperlukan waktu yang panjang untuk Indonesia dalam penanggulangan tembakau, kenapa Amerika lebih berhasil karena mereka memiliki data yang solid, sehingga industri rokok di Amerika tidak bisa mengelak lagi, “ ujar Dr. (HC). Sudibyo Markus, MBA.
Bagaimana existing petani tembakau, bagaimana pelaksanaan tata niaga tembakau dan bagaimana persepsi petani tembakau tentang tata niaga tembakau di Indonesia. Masih menjadi PR bagi pemangku kebijakan dalam memberikan kesejahteraan bagi petani dan buruh kasar tembakau.
Misalnya di Kab. Temanggung menjadi masalah existing petani tembakau sendiri, baik secara sosial ekonomi maupun kultural. Petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan kategori kualitas dan harga tembakau yang diproduksi.
Petani tembakau hanya berusaha untuk bertahan hidup, sementara industri rokok kokoh berdiri dengan arogansi kartelnya.[]
Comment