Ironisme Garam di Negara Kepulauan Indonesia

Berita399 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sebagai negara kepulauan, Indonesia sejatinya tak kekurangan garam. Tapi faktanya berbicara lain. Dalam beberapa tahun terakhir, impor garam di negeri ini terus mengalami peningkatan. Dari semula puluhan ribu ton, kini mencapai hampir satu juta ton.

Pada 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir realisasi kebutuhan garam nasional mencapai 2,8 juta ton. Naik 0,3 juta ton dibanding tahun sebelumnya. Dan, meningkat menjadi 3,2 juta ton di tahun 2016.

Sementara produksi garam nasional rata-rata mencapai 1,95 juta ton setiap tahunnya. Kekurangannya, tentu lah didapat dari hasil impor. Angka impor garam ini menjadi meningkat seiring dengan merosotnya produksi garam nasional di tahun 2016 akibat badai La Nina.

Impor komoditas dalam industri perdagangan, sah-sah saja. Tapi dalam hal garam, rasanya kok tak elok. Bagaimana mungkin apabila Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan dua per tiga luas wilayahnya diselimuti laut, mengimpor garam?

Data KKP menyebutkan, hingga akhir 2016, luas lahan produksi garam saat ini tercatat 22.000 hektare dengan produktivitas lahan rata-rata 75 ton/ha. Luas lahan produksi garam itu, tentu saja sangat ironis dengan luas lautan yang dimiliki Indonesia plus daratannya.

Ketersediaan lahan memang dinilai menjadi persoalan krusial dalam industri garam di Indonesia. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengakui, lahan menjadi kendala utama dalam industri garam di Indonesia. Sofyan menyebut, lahan di Teluk Kupang, NTT sejak 1992 dikuasai oknum pengusaha yang tidak memanfaatkan kepemilikan tanahnya tersebut. Padahal, Teluk Kupang berpotensi menghasilkan garam 1,2 juta ton/tahun.

Persoalan garam nasional menjadi tambah ironis manakala sebagian kebutuhan garam diimpor dari sejumlah negara yang notabene memiliki luas laut yang sangat jauh lebih kecil dibanding Indonesia seperti Jerman dan Singapura.


Sudah saatnya persoalan garam ditangani secara lebih serius di negeri kepulauan ini, dari hulu ke hilir. Bukan hanya kuantitas produksi yang ditingkatkan, tapi juga kualitas garam di mana kandungan airnya maksimal 0,5 persen dan NaCl 98 persen, sebagaimana banyak dibutuhkan industri makanan dan minuman (mamin) dan industri CAP (petrokimia). (has/TB)

Berita Terkait

Baca Juga

Comment