Penulis: dr Mustika Kumaladewi | Praktisi Kesehatan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di dalam diri manusia terdapat suatu potensi hidup yang senantiasa mendorong manusia melakukan kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut memiliki dua bentuk manifestasi:
Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa. Inilah yang dinamakan ‘Kebutuhan jasmaniah’ (hajatul ‘udluwiyah) seperti makan, minum dan membuang hajat.
Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan saja, tetapi jika tidak dipenuhi manusia tidak akan mati, melainkan merasa gelisah, hingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan naluri (gharizah).
Dari segi munculnya dorongan (tuntutan pemuasan), naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Sebab dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal (misalnya, orang ingin makan karena lapar, dan ini tidak memerlukan dorongan dari luar). Sedangkan naluri, sesungguhnya yang mendorong atau yang melahirkan suatu perasaan yang menuntut pemenuhan adalah dari luar diri manusia, dapat berupa pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan, atau berupa suatu kenyataan yang dapat diindera yang mendorong perasaan untuk memenuhinya.
Di antara naluri itu ada naluri beragama. Naluri beragama merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia, sebab naluri ini merupakan perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut.
Perasaan ini bersifat fitri yang selalu ada, selama ia menjadi manusia. Baik ia beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadapNya (beriman kepada materialisme dan naturalisme).
Perwujudan perasaan dalam diri setiap manusia ini bersifat pasti. Sebab, perasaan ini tercipta sebagai salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak mungkin memisahkan atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang disebut tadayyun (perasaan beragama).
Adapun perwujudan dari tadayyun adalah adanya perasaan taqdis (pensucian) terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, atau terhadap segala sesuatu yang digambarkannya sebagai penjelmaan dari Sang Pencipta. Kadangkala ‘taqdis’ itu terwujud dalam bentuk yang hakiki (sempurna), sehingga menjadi suatu ‘ibadah’. Tetapi terkadang terwujud pula dalam gambaran/bentuk yang sederhana sehingga hanya menjadi sebuah kultus (pengagungan).
Kebutuhan Manusia akan Agama
Agama merupakan kebutuhan manusia sepanjang sejarah kehidupan manusia. Tidak ada satu zaman pun kecuali manusianya memeluk suatu agama, baik dengan cara menyembah matahari, bulan, bintang, api, berhala maupun menyembah satu Dzat tetentu (monotesime), atau beberapa Dzat tertentu (politeisme). Cara penyembahan tersebut merupakan bagian dari agama mereka. Pada bangsa yang diperintah oleh penguasa diktator, yang memaksa mereka melepaskan agamanya sekalipun, mereka tetap beragama dan menyembah sesuatu, meskipun harus melawan kekuatan yang menguasainya. Mereka rela menanggung siksaan yang dideritanya agar dapat menjalankan ibadah·tersebut.
Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mencabut rasa beragama dari diri manusia, atau menghilangkan usaha taqdis terhadap al-Khaliq, atau mencegah manusia beribadah. Hal yang mungkin dilakukan hanya meredamnya untuk sementara waktu. Sebab, ibadah adalah perwujudan alami dari rasa beragama yang merupakan salah satu naluri yang ada dalam diri manusia.
Secara rasional, manusia dengan berbagai kelemahan dan kekurangan yang dimiliki pasti membutuhkan “yang lain” dalam rangka memenuhi dan menyalurkan kondisi lemah dan kurangnya manusia. Ini sebenarnya fitrah. Di sinilah, agama menjawab kebutuhan itu. Ini terlepas manusia menyalurkannya secara benar atau tidak
Islam Menjawab Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Standar ukur yang menjadikan pilihan “mengapa harus Islam” sebagai “the only one truth claim” menjadi penting, mengingat beragamnya agama atau isme yang ada. Sehingga pilihan kebenaran akan Islam menjadi logis, bisa dipertahankan secara argumentatif (Islam vs kekufuran), memuaskan (muqni’ah) dan memiliki sandaran normatif yang kokoh (naqliyah).
Islam menjawab kebutuhan manusia terhadap agama. Pertanyaannya, menjawab kebutuhan apa? Bagaimana islam menjawabnya? Perlu kita ketahui bahwa manusia memiliki kebutuhan yang sifatnya non materi dan materi. Non materi bersifat fikriyah (memuaskan akal) dan sakinah (menentramkan hati). Sedangkan materi bersifat jasadiyah pemenuhan kebutuhan makan, minum, seksual, dll.
Islam dalam konteks ini menjawab keduanya dengan sangat memuaskan. Islam menjawab kebutuhan manusia akan agama dari sisi rasionalitas sekaligus fitrahnya.
Karena itu kenapa harus Islam, karena:
Pertama; Islam menawarkan aqidah yang rasional, yang dibangun atas dasar kaidah berfikir yang shahih dan sehat sebagai jawaban atas kepuasan akal dan intelektualitasnya. Konsep monoteisme (tauhid) yang mudah dan tidak berbelit-belit, memuaskan akal dalam konteks causa prima dan kemutlakan. Konsep Dzat Maha (Tuhan) yang bersifat wajibul wujud dan azali, menggaransi manusia yang berfikir terpuaskan daya kritisnya.
Al-Khaliq dalam Islam adalah Dzat dengan seluruh sifat keabsolutanNya yang berbeda dengan makhluk. Konsep keimanan Islam ini akan memberi kemerdekaan kepada manusia untuk menjadi hamba bagi Dzat maha yang benar-benar maha, buka psedo maha alias palsu.
Kedua; Islam menjawab dimensi terpenuhinya keserasian naluri beragama dengan fitrah kecondongan taqdis manusia. Taqdis adalah menisfestasi tertinggi sikap dan perasaan kehambaan. Manusia dipandang dari sudut manapun adalah makhluk. Maka dia adalah dia dzat yang mempunyai keterbatasan dan kebutuhan. Maka Islam menjawab ini dengan memberikan jalan penyaluran taqdis yang tepat, yaitu kepada Sang Khaliq, Dzat Yang Maha
Ketiga; Islam menjawab kebutuhan manusia akan otentisitas dan keterjagaan sumber keyakinan dan ajaran. Sepanjang sejarah manusia, rujukan rasional dari sebuah produk intelektualitas adalah referensi (kitab, buku). Ini menjadi penting, karena dia menjadi sumber pokok agama, yang menjadi perantara ajaran dari Tuhan dan RasulNya.
Adanya otentisitas dan keterjagaan sumber keyakinan dan ajaran akan memberikan kepuasan kepuasan intelektual dan ketenangan batin terkait semua hal dari agama yang dianut. Karena dia menjadi sandaran secara normatif dan tekstual. Islam memberi jaminan itu. Secara faktual, kita bisa melihat bagaimana teks Al-Qur’an tidak berubah dari awal turunnya hingga hari ini (kiamat).
Jika sumber rujukannya sudah menjadi sebuah problematika, maka kerusakan dan kebingungan serta ketidakpastian akan menimpa pemeluknya. Inilah yang terjadi pada agama selain Islam.
Keempat; Islam menjawab kebutuhan manusia terkait coverage (cakupan) dan universalitas ajaran. Islam benar-benar memiliki cakupan yang lengkap dan memuaskan dari tataran konsep (fikrah) dan aplikasi (thariqah) untuk berbagai level pengaturan kehidupan.
Begitu detail dan indah Islam mengarahkan manusia dengan konsep dan tatacaranya, membawa pada satu puncak peradaban agung manusia dalam semua segi. Universalitasnya juga menjadikan Islam compatible di ruang dan waktu yang berbeda. Maka tidak ada yang bisa menjawab ini kecuali Islam.
Kelima; Islam menyediakan central figure sebagai uswatun hasanah utama, yaitu Nabi Muhammad SAW. Konteks kebutuhan manusia terhadap Rasul adalah: Pertama, sebagai penyampai ajaran dan aturan dalam agama. Kedua, sebagai penjelas utama terhadap ajaran dan aturan agama. Ketiga, sebagai role model.
Dengan karakteristiknya sebagai agama wahyu, yang secara ketat berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW dalam semua aspek kehidupan, maka umat islam memandang bahwa pelaksanaan hukum Islam bagian dari peneladanan terhadap sunnah Rasulullah.
Di sinilah posisi Nabi SAW sebagai suri tauladan utama dalam seluruh aspek kehidupan pengikutnya. Secara fakta, hanya umat Islam yang memegang teguh konsep uswatun hasanah terhadap Nabinya (panutannya). Karena beliau adalah figure lengkap dan paripurna, gambaran agama Islam.
Keenam; Islam memberikan jaminan kepuasan atas kejelasan dan kepastian identas secara normatif tekstual terkait penyebutan identitas Tuhan (Allah SWT), identitas nama agama (Islam) serta identitas nama pemeluknya (muslim). Kejelasan dan kepastian identitas ini tidak ada dalam agama lain.
Inilah Islam, satu satunya agama yang layak dan menjembatani secara tepat keinginan manusia menyalurkan fitrah naluri beragamanya. Agama pembentuk peradaban yang agung. Agama yang menyediakan seluruh perangkat hidup dari level induvidu sampai negara. Agama yang benar benar memanusiakan manusia dalam batas dia sebagai makhluq.
Tantangannya, bagaimana umat Islam bangga dengan keislamannya dan menyadarkan selainnya akan kebutuhan terhadap Islam. Wallahu a’lam bi shawab.[]
Referensi
1. Bunga Rampai Pemikiran Islam (Muhammad Ismail, Gema Insani Press)
2. Diskursus Islam Politik Spiritual (Hafidz Abdurrahman, Al-Azhar press)
3. Peraturan Hidup dalam Islam (Taqiyuddin An-Nabhani, PTI press)
4. Pendidikan Islam membentuk manusia berkarakter beradab (DR. Adian Husaini)
Comment