Kasus Kekerasan Seksual Meningkat, Anak Darurat Konten Pornografi

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  BANJARBARU – Angka kasus kekerasan seksual menjadi paling tinggi terjadi dialami anak-anak di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Mirisnya, pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban. Dengan kata lain, kasus ini sama sekali tidak melihat siapapun korbannya, laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban dari kekerasan sekesual.

Praktisi parenting dan keluarga dari Banjarmasin, Rimalia Karim SKM MM menerangkan bahwa kasus kekerasaan seksual ini pun tercatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) maupun di daerah.

“Berbicara soal kekerasaan di Indonesia, tercatat baik di Kemen PPA maupun di daerah-daerah di Kalsel, kekerasaan seksual yang paling tertinggi terjadi dialami anak,” ujar Rimalia Karim saat wawancarai, Sabtu (24/2/2024) siang.

Disebutkanya anak bisa menjadi pelaku dan bisa menjadi korban. Dia pun mempertanyakan mengapa banyak anak terindikasi bisa melakukan hubungan atas dasar suka sama suka tersebut di usai yang baru menginjak bangku SD hingga SMP.

Melalui catatan yang dikeluarkan Kemen PPA, kata dia banyak hal yang dapat dilihat, salah satunya anak-anak bisa menjadi pelaku kekerasaan karena banyak terinspirasi oleh konten pornografi.

“Bisa dibilang anak-anak saat ini sedang darurat pornografi, seperti Kementerian Kesehatan 2017 mencatat 94 persen anak di Indonesia terpapar pornografi,” sebut dia.

Rimalia pun menjelaskan jika terpapar belum tentu teradiksi, sedangkan anak yang teradiksi bisa memungkinkan menjadinya seorang pelaku.
Baca juga: Sadarkan Orangtua akan” Happy Parents” Sebelum Anak Masuk Sekolah.

Katanya, anak yang teradiksi pornografi disebabkan karena pola pengasuhan yang buruk, kemudian anak yang krisis cinta sehingga melarikan segala hasrat dan rasanya dengan melihat pornografi atau bahkan narkoba.

“Ini yang tidak boleh diabaikan, kekerasaan seksual juga berhubungan dengan anak yang tidak merasakan pola pengasuhan berbasis cinta dari orangtua,” ungkap Rimalia yang juga ASN di Banjarmasin itu.

“Anak akan menganggap tidak ada tempat yang lebih menyenangkan dari pada menyalurkan perasaan bosan sepi sedih tersebut kepada pornografi dan narkoba,” sambung dia.

Begitu dengan fenomena LGBT di lingkungan sekolah. Dia menyebutkan persentase LGBT sulit dipresentasikan karena fenomenanya seperti gunung es, data akan masuk jika mereka melaporkan kejadian.

“Namun kita berani mengatakan tidak ada sekolah yang bebas dari LGBT saat ini, hanya saja mereka tidak terlihat,” ucap dia.

“Selama krisis ayah tidak diperbaiki maka angka LGBT pasti sangat mungkin meningkat secara mereka budaya luar akan terus menyebarkan faham mereka kepada anak-anak khususnya yang menjadi korban salah pengasuhan,” sambungnya menjelaskan.

Dia pun mengingatkan bahwa jika melihat asal usulnya, semua pelaku kekerasaan baik kekerasaan seksual hingg bullying, adalah korban sesungguhnya.

“Kenapa? karena dulunya mereka adalah korban yang pada akhirnya tidak pernah dipulihkan hingga menjadi seorang pelaku,” jelasnya.

Oleh sebab itu, sambung dia, semua yang disenut anak, baik itu pelaku maupun korban mendapatkan hak untuk dibantu oleh negara.

Baik korban maupun pelaku harus dibantu berupa rehabilitasi, pemulihan psikologis, begitu pun pemulihan fisiknya ketika mengalami cedera, hingga kepada pemulihan reintegrasi sosialnya.[]

Comment