ilustrasi; Mhe/radarindonesianes.com |
meminta maaf dan memaafkan. Karena Hari Lebaran diyakini sebagai prosesi
penutup dalam menyempurnakan upaya kembali ke suci selama berpuasa di
bulan Ramadhan.
Kembali ke fitrah’, kembali ke suci dan asli bak bayi kembali dilahirkan. ‘Back to square one’, ‘back to zero’,
demikian ungkapan dalam bahasa kekinian. Upaya meminta maaf biasanya
didahulukan untuk orang – orang terdekat dan terpenting dalam kehidupan:
orang tua yang utama, lalu saudara, tetangga, kerabat dan handai
taulan. Bahkan upaya ini kadang dilakukan dengan berbagai cara dan upaya
agar bisa bertemu, bersalaman atau menghambur ke pelukan dalam tangis
permintaan maaf dan penyesalan. Namun sepertinya prosesi ini, sudah
semakin langka dan jarang dilakukan. Walaupun mudik ke kampung halaman
tetap dilakukan, namun esensi bersilaturahmi bermaaf – maafan sudah
banyak mengalami perubahan. Betulkah demikian?
Dewasa ini, cara
meminta maaf memang semakin beragam, apalagi saat teknologi komunikasi
canggih, hadir dalam berbagai ragam media dan layanan, sekaligus
beraneka macam jenis dan bentuknya, demi dan tujuan sebuah kemudahan.
Dikombinasikan dengan semakin mendunianya jaringan internet, komunikasi
dan interaksi manusia semakin dimudahkan sekaligus dimungkinkan untuk
menembus batasan jarak dan waktu. Mudah, cepat dan ‘saat itu juga’ atau real-time, dalam berbagai bentuk cara berkomunikasi dan menyampaikan pesan.
Cara
meminta maaf semakin mudah saja, tapi memaafkannya apakah semudah itu
juga? Jika menelisik kembali sifat manusia, yang digambarkan dalam
ungkapan yang bisa dan biasa berlaku untuk semua, yakni ‘easy come, easy go’,
apakah mudah meminta maaf, berarti mudah pula untuk berharap orang lain
untuk memaafkan dan melupakan? Apakah mudah meminta maaf, berarti mudah
untuk melakukan kesalahan yang sama lagi dan berulang?
Apakah
mudah meminta maaf, akhirnya melakukan kesalahan lalu ‘digampangkan’?
Semoga tidak demikian, karena urusan manusia dengan manusia lainnya
harus diselesaikan antar mereka selagi masih hidup di dunia. Dan meminta
maaf atas kesalahan yang dilakukan kepada orang lain seharusnya
didasari keSUNGGUHan, keIKLASan dan TANPA PAMRIH apapun, kecuali untuk
mendapatkan keikhlasan Tuhan. Apalagi jika permintaan maaf dilakukan
dengan menyertakan alasan sepihak pembenaran atas kesalahan yang
dilakukan. Karena jika setiap kesalahan diminta untuk diwajarkan karena
adanya alasan – alasan yang melatarbelakanginya, maka apa gunanya
permintaan maaf jika demikian. Kadang malah seolah menyalahkan balik,
misalnya:
“Maafkan aku, telah menendang pantatmu, habis kamu
telah memunggungiku” atau “Maafkan aku telah mengkhianatimu, karena kamu
sih … tak bisa membahagiakanku.”
Lalu permintaan minta maafpun
dilanjutkan dengan: “Maafkan aku ya, karena aku telah memaafkan kamu
kok.” Jika demikian halnya, bisa saja jawabannya, “Maafkan aku juga ya,
karena aku tak memaafkanmu tuh.”
Lebaran, silaturahmi, saling
meminta maaf dan memaafkan, diyakini atau tidak, memang telah mengalami
banyak perubahan dalam cara dan makna. Perubahan yang tak terelakkan
karena manusia telah mencapai tahapan kemudahan yang menggampangkan
hampir semua hal termasuk menggampangkan kesalahan yang diperbuat.
Disimbolkan dengan fasilitas ‘copy-paste-edit-undo atau delete’ dalam ragam aplikasi di gadget kita masing – masing.
hanya kesalahan saya dalam menafsirkan perubahan jaman, namun saya pun
punya sebab untuk beralasan. Oleh karena itu, maafkan.[vem]
Comment