Kemiskinan Tersembunyi dalam Angka, Ilusi Kesejahteraan Rakyat

Opini210 Views

 

Penulis : Dinar Rizki Alfianisa | Warabatul Bait

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat  penurunan angka kemiskinan di Indonesia pada bulan September 2024 dibandingkan bulan Maret 2024. Jumlah penduduk miskin pada September 2024 sebesar 24,06 juta orang, menurun 116 juta orang dibandingkan Maret 2024 dengan standar Garis Kemiskinan (GK) pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242,00 per kapita per bulan.

Berbeda dengan standar Garis Kemiskinan yang ditetapkan oleh global terhadap Indonesia. Indonesia yang tercatat sebagai negara dengan pendapatan menengah atas, Bank Dunia menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin.

Berdasarkan standar ini, seperti ditulis liputan6.com (30/4/25), sekitar 60 persen penduduk Indonesia, setara dengan 171,9 juta jiwa, masih tergolong miskin.

Perbedaan yang sangat signifikan terhadap penetapan standar di atas dapat menyebabkan seseorang mendapatkan dua status yang bertolak belakang pada waktu bersamaan.

Seseorang dikatakan tidak miskin secara nasional, namun termasuk dalam kategori miskin ekstrim secara global. Oleh karena itu butuh data akurat dan standar yang jelas terhadap realitas kemiskinan di lapangan.

Perbedaan standar kemiskinan terjadi oleh karena penerapan sistem kapitalisme dalam tata kelola ekonomi. Dengan menetapkan standar yang rendah, negara mengklaim telah “mengurangi angka kemiskinan”.

Sangat berbeda dengan kondisi masyarakat – masih jauh dari kata layak. Kesenjangan ekonomi sangat jelas terlihat. Hal ini dilakukan untuk menarik para investor agar mau berinvestasi di negeri ini.

Selain itu kapitalisme juga gagal menyejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan yang diklaim meningkat karena menurunnya angka kemiskinan hanyalah ilusi. Fakta yang ada di masyarakat sungguh jauh panggang dari api. Orang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin.

Negara seakan abai menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara hadir hanya sebagai regulator pembuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan pengusaha bukan rakyat. Rakyat hanya dijadikan alat untuk bisa menduduki kursi kekuasaan. Tak heran jika dalam sistem kapitalisme kekayaan dan kekuasaan hanya berpusat pada segelintir orang yang punya jabatan dan uang.

Berbeda dengan sistem Islam. Syariat membebankan negara bertanggung – jawab pada kesejahteraan rakyatnya. Islam dengan sistem ekonominya menjadi solusi dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Islam  menjaga agar tidak terjadi kesenjangan dengan mengatur hak kepemilikan sesuai syariat. Salasatunya adalah sumber daya alam yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum.

Segala hal yang merupakan harta kepemilikan umum tidak boleh dimiliki baik oleh individu, swasta maupun negara. Negara hanya berhak mengelola untuk diberikan sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat.

Jika dilihat dari satu sisi saja, yaitu sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini, sudah lebih dari cukup untuk menjamin kebutuhan seluruh rakyat. Kesejahteraan bukanlah hal yang mustahil dirasakan jika Islam menjadi standar aturan. Wallahu a’lam.[]

Comment