Ketika UU TaxAmnesty Jadi Teror Bagi Rakyat: Ferdinand Hutahaean

Berita511 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – UU
Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty sudah efektif berlaku sejak awal
bulan Juli lalu dan terus bergulir sampai sekarang. Dua bulan berjalan,
mimpi-mimpi indah dan jargon heroik Tax Amnesty yang katanya dulu akan
menarik 4000T uang parkir diluar negeri kini berubah jadi mimpi buruk
dan jadi jargon teror. 
Tax Amnesty kini jadi
mimpi buruk bagi rakyat dan bukan mimpi buruk bagi negara tax heaven
seperti Singapore. Tax Amnesty juga jadi jargon teror bagi rakyat dan
bukan jargon heroik seakan bangsa ini mampu menakuti negara tax heaven
karena dananya akan berpindah ke Indonesia hanya bermodal UU TA yang
sesungguhnya dari awal sudah banyak pihak yang menolak.
Mimpi
indah pemerintah yang merasa akan mampu menarik uang parkir di luar,
kini beralih jadi menyasar rakyatnya sendiri yang sedang kesulitan
pertumbuhan ekonomi dan bahkan bekerja keras untuk sekedar mampu
bertahan di tengah ketidak pastian yang ada.
 
Tax Amnesty yang dari awal
digembar gemborkan akan menargetkan uang orang Indonesia yang parkir
di luar negeri kini berubah. Presiden bahkan dalam beberapa kali
pidatonya selalu mengatakan bahwa sudah mengantongi nama, alamat dan
tempat penyimpanan dana di luar kini tak mampu menarik dana tersebut.
Presiden bahkan seperti mengancam dan menakut nakuti secara halus para
pemilik uang tersebut, tapi presiden sepertinya lupa bahwa kepastian
politik dan kepercayaan pada pemerintah adalah modal utama arus modal
masuk, dan inilah yang tidak dimiliki oleh pemerintah.
Setelah
gagal menarik uang dari luar, sekarang pemerintah menjadikan rakyatnya
jadi target Tax Amnesty. Pemerintah menjadikan aset sebagai sesuatu yang
harus dipajak berganda. Aset rakyat harus diperas lagi untuk pemasukan
negara. Pemerintah melakukan teror psikologis pada rakyatnya yang
memiliki aset. Masyarakat jadi korban teror oleh pemerintah dan menjadi
resah takut dituduh macam-macam bahkan takut hartanya dirampas. Aset
yang dengan susah payah didapat rakyat melalui sebuah proses kehidupan
yang tidak mudah, kini pemerintah merasa berhak atas aset tersebut dan
meminta bagian dari aset tersebut atas nama Tax Amnesty. Ini kejahatan
oleh rejim kepada rakyat.
Aset yang didapat
melalui proses jual beli, yang mana rakyat sudah bayar Pajak saat
membeli aset tersebut dan membayar kewajiban pajak tahunan atas aset
tersebut kini harus membayar lagi pajak preman tax amnesty andai aset
tersebut belum dilaporkan dalam SPT tahunan. Memangnya semua orang punya
NPWP? bukankah PBB tanah dan rumah, PKB kendaraan serta pajak-pajak
lain itu adalah bentuk pelaporan harta kepada negara? Mengapa sekarang
jadi masalah dan dengan akal-akalan tax amnesty seolah rakyat yang
menyembunyikan asetnya? Padahal sistem pemerintah ini yang buruk dalam
mengelola pajak tapi rakyat yang diteror seolah menyembunyikan asetnya.
Lazimnya
pajak itu harusnya adalah untuk produktifitas, untuk hasil atau
pendapatan bukan kepada aset. Lama-lama sendok garpu didapur juga harus
masuk laporan tax amnesty. Yang paling parah, bisa jadi isi septic
tank
juga harus lapor pajak karena dianggaP aset oleh rejim ini.
Pemerintah
mestinya sadar diri belum mampu meningkatkan taraf hidup dan pendapatan
masyarakat. Dengan demikian, rakyat tidak seharusnya dibebani dengan
pungutan macam-macam dan pajak. Pemerintah bahkan jika perlu
membebaskan pajak untuk satu tahun menjadi insentif produktifitas bagi
rakyat seperti PBB dan PKB. Tidak elok rakyat harus dipaksa menanggung
beban biaya pemerintah untuk menindas rakyatnya (pembayar pajak).
Terlebih menggunakan teror terselubung lewat UU Tax Amnesty. Kalau
awalnya itu untuk memaksa uang diluar untuk masuk sebaiknya pemerintah
fokus di situ bukan malah menjadikan rakyatnya sebagai korban kebijakan.
Ironi
hitam bangsa ini ketika rejim menggunakan cara-cara berbau teror
psikologis untuk menarik dana rakyat membiayai pemerintah yang tidak
punya kemampuan bangkit.[Nicholas]

Comment