LPG Langka, di Mana Peran dan Tata kelola Distribusi Negara?

Opini303 Views

 

 

Penulis: Diana Nofalia, S.P. |Pemerhati Kebijakan Publik, Alumnus IPB Bogor

Sejatinya ketika sebuah kebijakan diganti tentunya demi kepentingan masyarakat. Dan semestinya pemerintah juga harus memperhatikan dan memikirkan matang-matang masa pergantian kebijakan tersebut dari segi efek apakah yang akan ditimbulkan dan juga mempersiapkan tindakan untuk mengantisipasinya.

Tapi tidak begitu dengan kebijakan terkait distribusi LPG baru-baru ini. Masyarakat makin sulit sekadar mendapatkan satu tabung gas LPG saja. Mereka harus mengantri dalam waktu yang lama untuk mendapatkan LPG.

Merry salah satu pemilik pangkalan gas mengatakan di laman beritadatu.com mengatakan “Kelangkaannya seminggu lebih karena ada tanggal merah atau Imlek kemarin,” dia menjelaskan setiap minggu seharusnya sebanyak 1.500 tabung gas elpiji disuplai ke dari agen ke pangkalan miliknya. Namun, sepekan terakhir hanya 600-700 tabung saja yang disuplai, sehingga tak cukup memenuhi kebutuhan pelanggan.

Sejumlah wilayah di Indonesia mulai merasakan gas elpiji 3 kilogram langka di pasaran. Lantas apa penyebab gas elpiji 3 kg langka? Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 kg .

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung seperti ditulis tribunnews.com mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau sub penyalur resmi Pertamina.

LPG dikeluhkan langka di berbagai tempat. Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual.

Kenyataan yang terjadi saat ini kebijakan ini mempersulit masyarakat. Tidak hanya mempersulit masyarakat mendapatkan LPG dengan harus mengantri juga tentu menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan.

Perubahan tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi.

Pemerintah dalam praktek kebijakannya lebih memuluskan kepentingan korporasi dibandingkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Sehingga masyarakat pada akhirnya harus membayar mahal, padahal harusnya itu tidak mesti terjadi jika pengelolaan itu dilakukan oleh negara.

Menurut pandangan Islam negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan. Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum, dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai _raa’in_.

Negara juga berkewajiban memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas.

Pelaksanaan kewajiban ini tentunya berpijak pada dasar keimanan dan ketaqwaan sebagai abdi negara yang memiliki amanah untuk mengurusi kepentingan masyarakat. Pertanggungjawaban semua amanah tersebar adalah kepada Allah Swt.

Kesadaran yang dilandaskan ketaqwaan inilah yang menjadikan para pejabat berhati-hati menetapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan. Apalagi, jika kebijakan tersebut berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat.

Dengan demikian tidak akan ada masyarakat yang hanya untuk mendapatkan satu tabung gas LPG harus mengantri berjam-jam, berdesak-desakan dan sampai mengalami kelelahan. Wallahu a’lam.[]

Comment