Maharati, S.Pd: Pendidikan Sekuler Tak Jadi Tonggak Kemajuan Bangsa

Opini864 Views

RADARINDONESIANEWS. CON, JAKARTA – Permasalahan dalam pendidikan khususnya di Negeri kita tercinta yaitu Indonesia, mulai dari kuantitas subjek pelajaran, siswa yang cenderung abai dengan pendidikan, guru yang juga lalai akan tugas dan tanggung jawabnya, Sehingga menghasilkan pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan.

Perubahan kurikulum yang senantiasa digonta-ganti sejak dulu, setiap ada pergantian menteri pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu pendidikan yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006 hingga kurikulum 2013.

Baru-baru ini juga pendidikan nasional kembali guncang. Setelah kedatangan ‘orang’ baru, benar saja, gebrakan kebijakan pendidikan mulai digulirkan. Menteri Nadiem meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar.

Menurutnya, langkah ini diambil setelah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Merdeka Belajar menyangkut 4 hal pokok, yaitu USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional), UN (Ujian Nasional), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).

Mulai tahun 2020 akan diterapkan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. UN juga akan dihapus dan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, mulai 2021.

Asesmen ini terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan matematika (numerasi) serta penguatan pendidikan karakter.
Tentang RPP, guru diberi kebebasan untuk mengembangkan format RPP, sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. PPDB juga direvisi sehingga lebih fleksibel dengan mempertimbangkan kondisi daerah.

Masalah ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang dan berbagai peristiwa yang mengiringinya. Dan semua itu akan mengungkap apa maksud dari kebijakan yang cukup mengundang kontroversi itu. Nadiem menyatakan bahwa arah kebijakan ini juga mengacu pada hasil pemeringkatan internasional PISA (Program for International StudentAssessment) dan TIMSS (The Trends in International MathematicsandScience Study) (https://republika.co.id/berita/q2bwtq354/empat-program-pokok-kebijakan-merdeka-belajar-ala-nadiem).

Sebagaimana diketahui nilai PISA 2018 baru saja keluar pada 3 Desember ini. Dan Indonesia berada di peringkat enam terbawah (untuk kemampuan membaca) dari 79 negara yang mengikuti. Posisi teratas diduduki oleh Cina. PISA menguji murid-murid berusia 15 tahun melalui tes literasi dasar yaitu matematika, membaca, dan sains.

Indonesia mengikuti PISA sejak tahun 2000. Bagi Indonesia PISA telah mendorong perubahan kurikulum pendidikan secara nasional.

Lahirnya Kurikulum 2013 pun didasarkan faktor-faktor eksternal, salah satunya adalah arus globalisasi dan rendahnya capaian nilai pendidikan Indonesia dalam PISA(Program for International Student Assessment) dan TIMSS(The Trends in International Mathematics and Science Study).

Kemudian capaian PISA sebenarnya merupakan upaya politik untuk membakukan dan menguniversalkan sistem pendidikan di seluruh dunia agar siap dalam persaingan di kancah global dan memenuhi standar norma dan nilai yang didefinisikan oleh OECD (Organization for Economic Cooperatio and Development).

Dengan demikian, PISA sebenarnya merupakan produk neoliberalisme.

Ketika kebijakan pendidikan didasarkan pada penilaian PISA, maka pendidikan tidak lain ditujukan hanya untuk melahirkan manusia-manusia yang siap memenuhi kebutuhan ekonomi kapitalis abad 21. Dan makin terbukalah peluang bagi kapitalis untuk menguasai dunia pendidikan. Inilah yang menyebabkan pendidikan hanya berorientasi nilai jual pasar kapitalis.

Hal ini tentu sangat berbahaya. Sebab, tujuan utama pendidikan seharusnya memperhatikan aspek identitas/kepribadian keIslaman, termasuk pembentukan perilaku yang luhur, bukan semata aspek kognitif (pengetahuan dan capaian angka-angka dalam PISA). Apalagi jika berorientasi ekonomi sebagaimana konsep KBE (KnowledgeBasedEconomy) yang berasal dari Barat.

Dari sini, nampaklah kekeliruan pemerintah dalam menentukan standar arah pendidikan. Dan Merdeka Belajar menjadi batu loncatan ke arah tujuan pendidikan yang lebih sekuler kapitalis.

Ketika merdeka belajar dimaknai dengan kebebasan berpikir dan berinovasi tanpa memperhatikan rambu syariat, maka jelas ini sebuah kekeliruan serius yang amat berbahaya terhadap pendidikan bangsa ini.

Terlebih jika hanya mempertimbangkan manfaat materi, untung rugi dan kemajuan pendidikan ala Barat. Perbaikan apapun tidak ada nilainya karena landasannya sejak awal sudah keliru. Dan pastinya, tidak akan mengantarkan pada tujuan sahih pendidikan.

Meski kontroversi, kebijakan Merdeka Belajar sebenarnya hanya menyentuh hal-hal teknis saja. Memang, nampaknya lebih efisien. Misalnya, ujian yang tidak lagi mengandalkan soal pilihan ganda dan nilainya tidak menjadi penentu kelulusan. Demikian juga efisiensi kinerja guru dan proses penerimaan murid baru yang lebih mengakomodir kondisi daerah.

Namun, masalah pendidikan sebenarnya bukan itu. Justru hal paling mendasar malah tidak digarap.

Persoalan paradigma pendidikan, apa tujuan negara menyelenggarakan pendidikan, bagaimana kurikulumnya, metode pembelajarannya hingga tata kelolanya.

Selama ini semuanya disusun dengan kerangka sekularisme kapitalisme. Dan inilah sebenarnya persoalan mendasar sistem pendidikan di Indonesia.

Hal-hal seperti ini sebenarnya hanya mengalihkan dari tanggung jawab negara sesungguhnya dan menutupi kezalimannya.
Negara ini telah gagal menciptakan suatu perwujudan masyarakat yang cerdas, berkompoten, dan beradab yang mampu menjadi tonggak yang kokoh dalam menciptakan peradaban bangsa yang tinggi.

Karena begitu banyak permasalahan dalam pendidikan sekuler kapitalis saat ini dan solusi yang ditawarkan juga hanya menambah rumitkan masalah-masalah yang ada.

Sedangkan Dalam Islam, negara berkewajiban (diberi amanah) untuk menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi rakyat. Syariat Islam juga telah memberikan seperangkat aturan6 dalam bentuk sistem pendidikan Islam yang harus diwujudkan negara.

Sistem pendidikan Islam mengatur paradigma pendidikan, tujuan, metode mewujudkan tujuan hingga tata kelola pendidikan berdasar akidah dan syariat Islam.

Sistem pendidikan Islam juga akan menjawab semua problem pendidikan bangsa ini. Semua itu dilaksanakan karena keyakinan akan kesempurnaan aturan Allah Subhanahu wata’ala yang terbaik bagi manusia.

Memang, hal ini tak bisa diwujudkan dalam sistem kapitalis saat ini. Oleh karenanya, menjadi kewajiban seluruh kaum muslim untuk mewujudkan sistem Islam kaffah dalam wadah Khilafah. Hingga keberkahannya terwujud dalam pendidikan yang unggul bagi kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Bishawaab.[]

Comment