Oleh: Halizah Hafaz Hutasuhut S.Pd, Praktisi Pendidikan
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pada bulan Februari 2022, kembali terjadi permasalahan dalam dunia pendidikan. Kepala Sekolah SDN 060898 Jalan Brigjend Katamso, Gang Balai Desa Kelurahan Sei Mati terciduk melakukan tindakan pemungungutan liar (pungli) pada bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) tahun 2021.
Dengan sigap Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, Laksamana Putra Siregar, menginstruksikan Kepala Sekolah SDN 060898 untuk mengembalikan uang yang sengaja dipungut (pungli) kepada orang tua siswa, di mana setiap siswa dikenakan Rp25.000 sampai Rp 50.000 ribu rupiah, dari jumlah seharusnya yang diterima Rp450.000.
Menurut Kadisdik, setelah pengembalian uang pungutan tersebut, selanjutnya langkah yang dilakukan Dinas Pendidikan Medan adalah memberikan sanksi dan teguran keras sesuai dengan arahan bapak Wali Kota Medan. Artinya tindakan yang diambil untuk kepala sekolah tersebut sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 94/2021 tentang Displin ASN.
Seperti dikutip waspada.co.id (18/2/2022), laksamana Putra menambahkan, guna mengantisipasi dan mencegah hal tersebut kembali terulang pihaknya akan memastikan dan melakukan pengawasan terhadap sekolah dan berkoordinasi dengan pihak terkait termasuk pengawas sekolah.
Sungguh sangat memalukan tindakan pungli yang dilakukan oleh orang yang berpendidikan tersebut. Tidak hanya itu permasalahan ini terjadi langsung di lingkungan sekolah. Bahkan tindakan ini sering dilakukan oleh oknum yang memiliki jabatan di lembaga-lembaga pendidikan. Seolah-olah mereka tidak merasa bersalah dengan perbuatan mereka.
Begitu pula keadilan sungguh tidak tercermin pada diri mereka untuk bersikap adil pada tugas (amanah) yang mereka jalankan. Praktik pungli hingga kini tidak terlepas dari stigma “sudah menjadi rahasia umum”.
Ketidakberdayaan sistem demokrasi menghadapi pungli terus menjadi sorotan publik. Terpeliharanya praktik pungli dalam layanan publik, menjadikan publik sulit percaya dengan berbagai aturan administrasi pemerintah.
Padahal, praktik pungli melanggar hukum positif di Indonesia. Yaitu pasal 368 KUHP melarang pungli yang dilakukan swasta, sementara pasal 423 KUHP melarang pegawai negara untuk melakukan pungli.
Bahkan, praktik ini termasuk dalam delik korupsi yang tertera dalam pasal 12 UU No. 20/2001. Inilah hasil penerapan dari sistem kapitalisme-sekuler, meskipun pemerintah melakukan reformasi dalam sistem birokrasi dan memajukan penegakan hukum, nyatanya tidak menghasilkan efek jera.
Oknum pejabat hingga jajarannya tidak berhenti melakukan pungli. Terbukti dengan adanya oknum pejabat yang silih berganti tertangkap KPK. Sebab di dalam sistem kapitalisme-sekuler, asas manusia dalam melakukan perbuatan adalah manfaat.
Sehingga apapun itu yang memberikan manfaat bagi mereka, baik itu perbuatan baik (yang Allah ridhoi) atau perbuatan buruk (yang tidak Allah ridhoi) mereka akan rela melakukan perbuatan tersebut demi terpenuhinya kebutuhan hidup mereka.
Dalam Islam, pungli merupakan perbuatan zalim dan berujung dosa. Allah Swt. berfirman, _“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188).
Imam Adz-Dzahabi mengategorikan pungli sebagai dosa besar. Ia juga mengatakan bahwa orang yang melakukan pungli mirip dengan perampok jalanan yang lebih jahat daripada pencuri. Mereka menzalimi orang lain karena berulang kali memungut upeti.
Hal senada dinyatakan Imam Nawawi bahwa pungli adalah sejelek-jeleknya dosa karena menyusahkan dan menzalimi orang lain.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. telah memberikan contoh untuk selalu mengawasi harta yang diperoleh bawahannya secara ketat. Beberapa kali Umar mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah setelah menjabat. Terlebih lagi jika diketahui bahwa hartanya bukan didapat dari gaji yang diberikan negara.
Umar pernah mencopot Abu Hurairah ra. dari jabatannya sebagai gubernur di Bahrain. Ia diketahui memiliki banyak harta setelah menjabat. Setelah dihitung, Umar kemudian menyita sebagian hartanya.
Namun, Abu Hurairah ra. menegaskan kepada Umar bahwa hartanya yang bertambah bukan hasil korupsi. Umar ra. berkata kepada Abu Hurairah.
“Saya mengamanahkanmu menjabat di Bahrain. Waktu itu engkau hanya mengenakan sepasang sandal jepit. Setelah menjabat, saya mendapat laporan engkau sudah bisa membeli kuda-kuda sebesar 1.600 dinar.”
“Wahai Amirul Mukminin, sebelumnya kami memiliki kuda. Kemudian kami jadikan usaha, lalu kami kembang biakkan. Selain itu, ada juga dari hasil pemberian orang,” jelas Abu Hurairah.
Inilah bentuk ketegasan seorang kepala negara dalam menindak pejabatnya yang berbuat salah. Meski ini bukan bentuk korupsi dari Abu Hurairah ra., tapi Umar bin Khaththab menunjukkan sistem pembuktian terbaik bahwa Umar selalu mengawasi harta yang diperoleh para pejabatnya.
Sungguh jauh berbeda penyikapannya jika kita bandingkan dengan penegakan sanksi atas oknum pejabat yang korupsi dalam demokrasi.
Dalam Islam, pelaku pungli, suap, korupsi, atau penerima gratifikasi diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi, sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam. Dan orang yang mengambil pungli, pencatat, dan pemungutnya, semuanya bersekutu dalam dosa, mereka sama-sama pemakan harta haram.
Sementara dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan. Sanksi mereka bisa diringankan atau mendapat hadiah remisi dan bebas dari hukuman penjara.
Begitu pula dengan lembaga pendidikan di dalam Islam tidak akan mendapatkan suntikan-suntikan dana yang temporal dan berkala, karena pengadaan pendidikan adalah tanggung jawab penuh Negara yang akan digratiskan secara penuh.
Mengenai sistem gaji, mereka akan diberikan gaji yang layak sehingga mereka tidak akan merasa was-was dalam memenuhi kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarganya. Dan ketika tunjangan dan gaji mencukupi, ia tidak akan tergoda berlaku curang.
Lalu pemerintahan Islam juga akan membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Kemudian mengenai pembangunan karakter manusia dibina di dalam keluarga yang Islami, masyarakat yang menjalankan amar ma’ruf-nahi mungkar, serta adanya pelaksanaan hukum sanksi oleh Negara sehingga menihilkan terjadinya kecurangan dalam melaksanakan amanah.
Selanjutnya mengenai pengangkatan pejabat atau pemimpin ada syarat yang ditentukan yaitu berupa ketakwaaan, selain syarat profesionalitasnya. Dengan ketakwaan ini, seorang pejabat atau pemimpin akan terjaga dari apa yang diharamkan oleh Allah.
Dengan takwa ini pula ia menjalankan tugasnya dengan amanah dan bertanggung jawab. Maka dari itu dapat dipastikan bahwa sistem birokrasi yang bersih serta para pejabat yang amanah dan bertanggung jawab hanya ada dalam sistem Islam. Wallahu’alam bisshawwab.[]
Comment